Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Kini, pernikahanku dengan Mas William sudah menginjak hampir dua tahun. Alva juga sudah pandai bicara dan berjalan lancar bahkan berlari. Keinginan kami untuk memberikan adik pada Alva pun terwujud. Kini, dalam rahimku tumbuh janin yang usianya sekitar enam minggu.Syukurlah aku tak mengalami morning sickness yang parah seperti saat mengandung Alva dulu. Meskipun begitu, Mas William tetap begitu protektif. Dia juga menugaskan seorang wanita paruh baya untuk mengerjakan pekerjaan rumah.Tak hanya itu, kini penampilanku telah berubah drastis. Semua dres pendek sudah berganti dengan setelan gamis dan khimar setelah aku memutuskan untuk hijrah. Syukurlah Mas William juga mendukung penuh, dan selalu menyemangatiku untuk berubah menjadi lebih baik sedikit demi sedikit.Sementara, Bang Leon sendiri memilih hidup di kampung. Awalnya, dia sempat menolak dan bersikeras tinggal di kota ini. Akan tetapi, sikap keras dan tegas Bapak membuat dia akhirnya menga
"Mas," sapanya dengan senyuman manis.Indira ....Entah kenapa. Sebagai wanita yang pernah dikhianati, instingku mengatakan ini bukan pertanda baik. Mantan istri Mas William yang bahkan menolak hadir di acara pernikahan kami, kini tahu-tahu hadir kembali setelah hampir dua tahun kami menikah.Ah, semoga saja dugaan ini salah."Papa." panggilan dan pelukan Alex mengembalikan kesadaran Mas William yang sempat tertegun sejenak.Aku sangat yakin dia juga sama terkejutnya melihat kehadiran Indira yang tiba-tiba ada di hadapan kami."Aku rindu Papa. Apa Papa enggak rindu padaku, Pah?""Tentu saja papa rindu." Mas William membalas pelukannya erat seraya mengecup kepala anak berusia sekitar sembilan tahun itu. "Kamu baik-baik saja 'kan, hm?" Mas William mengurai pelukan. Menangkup lembut kedua pipi Alex yang tengah tersenyum senang."Aku baik-baik saja, Pah.""Syukurlah." Mas William kembali memeluk seraya mengusap kepalanya dengan lembut.Aku menunduk ketika Alva menarik-narik jemariku. Dari
"Jalan, Mas," titahku saat melihat Mas William masih diam dan menatap ke sini melalui spion.Mas William mengangguk dan mulai melajukan mobilnya keluar halaman. Lagu anak-anak kesukaan Alva mulai diputar. Membuat aku dan Mas William ikut bersenandung kecil mengikuti dia yang bernyanyi sambil bertepuk tangan."Matiin lagunya, Pah. Aku mau tidur," pinta Alex."Ya sudah, tidur saja. Papa kecilkan volumenya.""Tapi matiin lagunya, Pah. Berisik! Aku enggak bisa tidur," pinta Alex lagi dengan nada bicara kesal."Iya, Mas. Matikan saja. Alex itu kalau tidur emang enggak bisa kalau berisik atau ada suara sedikit pun." Indira ikut membuka suara."Danan, Pah. Atu mau nani." Alva mulai protes saat musik dimatikan. "Mamaaa." Alva merengek padaku."Nanti saja dengarin lagunya, ya. Kakak Alex mau bobo. Kasihan," bujukku lembut seraya mengu
"Mas Wil."Aku dan Mas William pun menoleh mendengar suara Indira."Kenapa?""Alex haus katanya.""Ya sudah. Kalian tunggu di sini dengan Lusi dan Alva. Biar aku yang beli ke stand minuman.""Aku ikut, Pah." Alex langsung merangkul lengan Mas William dan pergi bersamanya.Sesaat sebelum menjauh, Alex sempat menoleh dan melemparkan senyuman mengejek pada Alva, tapi putraku yang belum mengerti ini malah balas tersenyum ceria dan melambaikan tangan."Apa kamu bahagia menikah dengan Mas William?" tanya Indira yang mengambil posisi duduk di sampingku."Wanita mana yang enggak akan bahagia memiliki suami sebaik Mas William? Hanya wanita bodoh yang rela menyia-nyiakan pria sesempurna dirinya.""Kamu nyindir aku?"Aku menoleh. Indira menatapku dengan dahi berkerut dan tatapan tajamnya."Enggak," sahutku santai. "Kenapa kamu bisa merasa tersindir?""Cih, kamu belum tahu saja Mas William itu seperti apa." Indira tersenyum mengejek."Oh, ya? Tapi dia sangat sempurna di mataku sebagai seorang sua
"Alex," tegur Indira lembut.Entah kenapa aku merasa jengah. Melihat sikap lembutnya itu seolah hanya topeng yang digunakan di depan Mas William dan Alex."Tatak tenapa, Ma?" tanya Alva yang kaget mendengar suara kerasnya."Enggak apa-apa, Sayang." Aku tersenyum seraya mengusap kepalanya."Jaga cara bicaramu, Alex! Papa sudah peringatkan supaya jaga sopan santunmu apalagi ini di tempat umum. Paham kamu?" tegas Mas William, lalu melemparkan tatapan tajam pada Indira yang berada di belakang Alex.Alex langsung memalingkan wajahnya yang cemberut itu."Sudah. Jangan cemberut begitu. Nanti kita jalan-jalan lagi lain kali. Ayo!" ajak Mas William seraya meraih tangan Alex dan menuntunnya pergi.Namun, masih dengan wajah kesalnya Alex langsung menepis tangan Mas William, lalu berjalan cepat meninggalkan kami."Al
Kami bertiga tengah duduk di ruang tengah dan membantu Alva membuka paket kiriman dari Bang Leon. Dia terlihat senang melihat kiriman mainan baru dan beberapa setel pakaian. Tak hanya itu, Bang Leon juga rutin mengirimkan nafkah untuk Alva walaupun jumlahnya tak seberapa.Namun, kuhargai sikap tanggung jawabnya itu. Meskipun, aku dan Mas William sempat menyarankan dia supaya tidak perlu pusing memikirkan kebutuhan Alva lagi. Meminta fokus saja untuk biaya pengobatan Bapak yang terkena penyakit lambung dan paru-paru, tapi dia menolak."Suka?" tanyaku seraya mengukur pakaian baru kiriman Bang Leon di tubuh Alva."Cuka, Ma. Badus!" Alva tersenyum lebar. "Atu cuka mainan ini." Dia mengambil mainan robot dari dalam kotak.Aku tersenyum seraya mengusap kepalanya."Leon video call, Sayang." Mas William menyerahkan ponselku yang sedari tadi tengah diotak-atiknya."Papa Leon telepon. Sini bicara." Alva langsung duduk di pangkuanku sambil ikut memegang ponsel di mana wajah Bang Leon terpampang
"Ini kamarnya." Kubuka pintu kamar yang pernah Mira tempati dulu.Alex masuk tanpa sepatah kata seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar."Kalau kamu perlu sesuatu atau ada yang mau diganti dari kamar ini, bilang aja sama mama, ya," ucapku seraya mengusap kepalanya dengan lembut.Namun, tangannya yang refleks menepis dengan kasar itu sedikit membuatku kaget."Jangan sok baik dan jangan menyebut dirimu mama! Kamu bukan mamaku!" tukasnya dengan sorot mata penuh kebencian.Entah kenapa Alex terlihat
Setiap harinya aku semakin gencar mendekati Alex, tapi belum ada perubahan sedikit pun. Bahkan, dia malah semakin berani membentak dan berteriak kasar jika Mas William sedang tidak ada.Apa aku membalasnya?Tentu saja tidak. Jika mengikuti ego dan nafsu, bisa saja aku balas memarahinya. Terlebih lagi mengingat kata-kata kasarnya yang selalu mencemooh. Akan tetapi, semua itu tidak akan berguna. Anggapan Alex tentang mama tiri yang jahat akan semakin tertanam di benaknya, dan aku tidak mau hal itu terjadi.Alex harus tahu bahwa tak semua papa atau mama tiri itu jahat dan kasar. Meskipun, memang di luaran sana banyak kejadian seperti itu, tapi itu tidak akan kulakukan. Mencintai Mas William berarti harus mencintai Alex juga bagaimanapun sikapnya. Aku yakin, suatu hari nanti anak laki-laki yang hobi bermain game online itu akan mulai menerima kehadiranku.Sejak Alex tinggal di sini, Indira pun jadi lebih sering berkunjung. Meskipun, sejujurnya aku merasa tak nyaman dan terganggu, tapi sem