Aku setia menemani saat perusahaan tempat Bang Leon bekerja bangkrut. Hingga akhirnya, dia pun dipecat. Berbulan-bulan dia menganggur hingga akulah yang harus banting tulang mencari uang. Rela menjadi buruh cuci, juga berjualan donat keliling hanya agar kami tetap bertahan meski dalam keadaan sulit.
Saat itu Bang Leon begitu kesulitan mendapatkan pekerjaan baru. Sementara, tawaran pekerjaan lain seperti menjadi tukang bangunan atau ojek ditolaknya hanya karena gengsi. Aku pun tak pernah mempermasalahkan itu. Merasa wajar karena dia belum terbiasa dengan pekerjaan itu semua.
Suatu hari, aku diterima di perusahaan besar dengan gaji yang lumayan. Meskipun begitu, aku dengan sukarela mengundurkan diri hanya karena dia cemburu dengan atasan di perusahaan itu. Padahal, kami tidak ada hubungan apa pun. Meskipun, kuakui pria itu memang baik dan sering membantu.
Keadaan ekonomi kami mulai bangkit dari keterpurukan ketika dia diterima kembali di sebuah perusahaan sebagai staf keuangan. Akan tetapi, ternyata itu malah membuatnya lupa diri dan lupa dengan semua perjuangan kami saat susah dulu.
🌺🌺🌺
Aku berjalan lesu sambil sesekali menarik napas panjang. Bohong jika dada ini tidak sesak. Meskipun, rasa cinta mulai terkikis sejak mengetahui pengkhianatannya, tapi rasa kecewa yang begitu besar ini sulit ditampik. Aku merasa semua pengorbanan sia-sia. Semua itu sama sekali tak berarti di mata Bang Leon.
Senyumku mengembang melihat satu-satunya alasan yang menjadi kekuatanku menghadapi ujian ini. Dia masih tertidur dengan pulasnya.
Levi Alvaro Pradipta.
Buah hati yang baru dianugerahkan pada kami di usia pernikahan kesepuluh. Jika tidak teringat bayi berusia enam bulan ini, mungkin saja aku sudah mengamuk seperti orang kesetanan. Akan tetapi, aku tidak boleh seperti itu.
Mental ini harus kuat demi putraku satu-satunya. Tidak boleh lemah dan harus tetap waras atau Alva akan menjadi korban. Saat memeriksa anak kami yang demam, dokter berkata aku tidak boleh stres saat menyusui. Stres saat menyusui bisa mempengaruhi produksi hormon oksitosin yang bisa mengganggu kelancaran ASI.
Semoga saja aku bisa tetap kuat dan tegar. Meskipun, semua ini sangat menyakitkan.
Aku naik ke ranjang, berbaring dengan perasaan yang campur aduk. Sakit, kecewa, dan sedih, tapi tetap harus berpura-pura kuat. Kuseka bulir bening di sudut mata saat teringat betapa besar perjuangan untuk melahirkan bayi ini. Bahkan, aku sempat mengalami kondisi kritis.
Apakah Bang Leon tidak ingat dengan kejadian itu?
"Maafkan mama, Sayang. Mama janji kamu enggak akan pernah kekurangan kasih sayang biarpun Papa enggak tinggal sama kita lagi," lirihku, lalu mencium kepalanya.
Bayi dengan pipi gembil itu menggeliat. Bibirnya mengerucut, tapi kembali tertidur tanpa terganggu isakan yang susah payah kuredam.
Aku bisa berpura-pura kuat di hadapan pengkhianat itu, tapi tidak saat bersama Alva. Rasanya masih tidak percaya Bang Leon tega berkhianat setelah kelahiran bayi yang begitu kami tunggu-tunggu sekian tahun lamanya.
Apa alasannya? Apa aku kurang menarik dan tidak cantik lagi setelah melahirkan?
Aku beranjak turun dari ranjang. Berjalan mendekati meja rias, lalu berdiri mematung memandangi diri sendiri di cermin. Aku berputar ke kiri-kanan untuk menelisik penampilan.
Tidak ada yang kurang. Tubuh ini masih sama langsing dan seksinya seperti sebelum melahirkan. Aku juga selalu memberikan pelayanan terbaik saat kami memadu kasih. Bahkan aku tak peduli dengan diri sendiri asalkan dia terpuaskan dan merasa senang. Lantas, kenapa Bang Leon masih berkhianat?
Kutarik ikatan rambut, lalu menyisir rambut hitam panjang ini dengan jemari sembari tersenyum pada pantulan diri sendiri.
Akan kubuat kamu menyesal karena telah menyia-nyiakanku, Bang. Aku yakin, tidak akan ada wanita yang sabar dan bisa menerima kekuranganmu seperti yang sudah kulakukan selama ini. Kita lihat saja ... akan bertahan berapa lama pernikahan keduamu ini.
Tangisan kecil Alva menyadarkanku dari lamunan. Secepatnya kuhampiri dan memberinya ASI hingga dia tertidur kembali. Baru saja aku ikut terlelap sebentar, ketukan di pintu membuat mata ini kembali terbuka.
Kuayunkan kaki dengan santai menuju pintu, kemudian mengerling malas melihat Bang Leon sudah berdiri tepat di hadapan sambil tersenyum. Senyuman yang terlihat memuakkan di mataku.
Apa dia pikir senyumnya kali ini akan membuatku klepek-klepek? Eeww, mimpi!
"Ada apa?" tanyaku dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Kita harus bicara." Dia hendak masuk, tapi dengan cepat tanganku menahan tubuhnya itu tepat di dada.
"Mau bicara apa lagi? Kurasa semuanya sudah jelas."
"Belum. Kita masih harus bicara dari hati ke hati."
"Memangnya Abang masih punya hati?" sindirku dengan senyuman miring.
"Lusi," tegurnya pelan.
"Sudahlah, Bang. Aku ngantuk. Kalau masih ada yang mau didiskusikan, besok saja. Aku lelah dan butuh istirahat."
"Aku maunya sekarang, Dek." Bang Leon menahan pintu yang hendak kututup. Dia masuk begitu saja dengan sedikit menyenggol bahu ini hingga aku terhuyung sedikit.
"Aku enggak mau berdebat lagi, Bang. Alva baru saja kususui. Abang tega ganggu tidurnya?" kataku sembari berjalan mendekat.
Bang Leon menoleh ke arah ranjang. Dia mendekat, lalu mengusap dan mengecup kepala Alva. Hatiku berdesir perih melihatnya. Hingga tanpa sadar mengepalkan tangan dengan kuat demi mengendalikan emosi dalam dada.
Ke mana hati dan perasaannya saat sedang berselingkuh? Apa dia tidak ingat sama sekali pada kami yang menunggu di rumah?
Kuat, Lusi. Kamu pasti bisa!
Aku menguatkan diri sendiri yang hampir terenyuh melihat kejadian tadi. Alva dan aku pasti baik-baik saja tanpa pria itu.
"Aku bukan mau bertengkar. Aku cuma mau bicara empat mata sama kamu," katanya sembari berjalan menuju sofa, lalu duduk.
"Kita bicara di tempat lain," usulku dan langsung pergi keluar tanpa menunggu respon darinya.
Aku berjalan lebih dulu menuju balkon yang ada di ujung lantai ini. Berdiri tertegun memandangi kerlip bintang sembari menghela napas pelan. Aku menoleh saat menyadari pria yang pernah kuperjuangkan itu sudah berdiri di samping.
"Oke, bicaralah sekarang." Aku membuang muka dan kembali menatap langit malam dengan kedua tangan dilipat di dada.
Bukannya bicara, Bang Leon malah mundur, dan ternyata dia memilih duduk di kursi rotan.
"Kemarilah!" Dia menunjuk kursi satu lagi dengan matanya supaya aku ikut duduk di sana.
Aku memilih sedikit menjauh. Berdiri bersandar besi pembatas balkon ini sembari menatapnya santai.
"Silakan bicara!"
Bang Leon terdiam memandangku. Kubalas tatapan itu dengan berani hingga dia terlihat menghela napas berat, lalu bersandar lesu.
"Apa kamu masih mencintaiku?"
What?
Rasanya aku ingin terbahak saat ini juga mendengar pertanyaan konyol itu. Apa dia pikir aku akan terus dibutakan cinta saat hatinya telah mendua? Big no!
"Kenapa bertanya begitu?"
"Karena kamu terlihat biasa saja saat mendengar kabar pernikahanku dengan Mira," ucapnya dengan tatapan sendu.
"Jadi, Abang ingin aku bersikap gimana?" Aku tertawa hambar. "Oh, aku tahu!" seruku dengan telunjuk kanan mengarah ke atas.
Detik berikutnya, raut wajahku telah berubah sendu. Tetes demi tetes air mata mulai luruh membasahi pipi.
"Kenapa, Bang? Kenapa Abang tega mengkhianatiku? Apa salahku, Bang? Apa kekuranganku?" lirihku terisak dan menunduk. "Apa selama ini aku pernah membuat kesalahan besar hingga membuat Abang berpaling, hm? Katakan apa kesalahanku itu, Bang, biar kuperbaiki segera. Tapi kumohon ... kembalilah padaku dan lepaskan wanita itu. Aku enggak mau dimadu. Aku enggak sanggup." Wajahku semakin tertunduk dengan bahu berguncang naik turun.
"Aku mencintaimu, Bang. Aku enggak mau kehilangan Abang. Tapi aku juga enggak sanggup kalau harus berbagi." Aku kini berlutut dengan isak tangis yang semakin terdengar jelas.
"Apa Abang sudah lupa dengan semua perjuangan kita dulu? Aku yang setia menemani dari nol. Tapi saat sukses ... Abang malah berpaling pada wanita lain. Abang jahat! Kamu tega, Bang. Kamu tega!" Aku menatapnya dengan berlinangan air mata.
"Dek ...." Bang Leon segera bangkit dari tempat duduk. Dia berjalan mendekat, lalu ikut berjongkok sembari memegangi kedua bahuku. "Maafkan aku, Dek. Maaf. Aku tahu ini menyakitimu. Tapi aku sudah telanjur mencintai Mira. Kami juga sudah menikah. Aku mencintai kalian berdua, Dek. Aku ...." Perkataan Bang Leon itu terhenti seketika saat mendengarku tiba-tiba tertawa kencang.
"Dek?" Dia menatapku bingung.
Aku masih tergelak sembari sesekali menggeleng tak percaya melihat raut wajahnya yang kebingungan.
"Aduh, Bang. Maaf," ucapku sembari berusaha meredam tawa dan menghapus air mata. "Aku cuma bercanda tadi."
"Maksudnya?" Kening pria berkulit sawo matang ini semakin berkerut. Bola matanya pun bergerak-gerak gelisah menatapku.
"Apa aktingku tadi sangat bagus, Bang?" Aku tersenyum miring.
🌸🌸🌸
"Apa aktingku tadi sangat bagus, Bang?" Aku tersenyum miring sembari mengedipkan sebelah mata."Akting? Maksudmu?""Yaa akting, Bang. Pura-pura. Masa gitu aja enggak ngerti." Aku terkekeh dan duduk di lantai sembari menghapus sisa-sisa air mata."Jadi, yang tadi itu beneran cuma bohongan?""Ya iyalah, Bang. Masa iya aku harus nangis mohon-mohon cuma gara-gara kehilangan Abang. Tadi itu, aku cuma praktekin adegan yang ada di sinetron kalau tahu suaminya nikah lagi atau selingkuh."Bang Leon jatuh terduduk. Tatapan itu terlihat kecewa. Raut wajahnya seakan tak percaya kalau semua yang kulakukan tadi hanya sebatas pura-pura.Aku memasang raut wajah santai, lalu berdiri kembali."Ckckck, laki-laki di dunia ini enggak cuma kamu, Bang. Masih banyak di luaran sana yang pastinya mau menerimaku dengan tulus dan setia. Toh, aku juga masih seksi dan cantik biarpun sudah melahirkan Alva," ucapku untuk memanas-manasinya."Candaanmu itu enggak lucu, Dek." Dia menatapku tajam."Masa? Buatku lucu, tu
Bang Leon sempat terdiam memandangku, tapi hanya sebentar."Ooh ...." Bang Leon tersenyum mengejek sembari mengangguk-angguk. "Jangan-jangan, kalian ini memang ada hubungan spesial, ya? Kamu ngotot minta cerai begini karena mau nikah sama duda itu, 'kan? Ngaku aja!" sergahnya sembari mengikis jarak di antara kami. Sorot penuh amarah dan cemburu itu terlihat jelas di matanya."Jangan munafik kamu, Dek! Selama ini, kamu bersikeras kalau kalian enggak ada hubungan apa-apa. Tapi kenyataannya semua itu bohong, 'kan? Kalian diam-diam menusukku dari belak—"Wajah Bang Leon berpaling saat tamparan keras berhasil mendarat di pipi kanan. Saking kerasnya sampai telapak tanganku terasa panas dan bergetar. Ini pertama kalinya aku memukul pria yang saat ini masih berstatus suami."Jaga bicaramu, Bang!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan. "Jangan samakan aku denganmu yang gampang mengobral cinta! Aku bukan Abang yang dengan mudahnya mengingkari janji suci pernikahan! Tega sekali Abang memfitnahku b
Pagi Hari aku sudah rapi, begitu juga dengan Alva. Kuciumi wajahnya sambil bermain di atas ranjang. Sengaja tak turun lebih dulu. Biarkan saja istri barunya itu yang sibuk berkutat di dapur.Pukul setengah tujuh pagi, aku baru turun. Aku melongo tak percaya saat melihat suasana rumah masih sepi. Kamar pengantin baru pun masih tertutup rapat. Kulihat Bang Leon masih tertidur pulas di sofa dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Bahkan, televisi pun dibiarkan menyala.Kayaknya asyik, nih, dikerjain. Kalau aku masukin garam ke mulutnya pasti seru! Tapi jangan, deh. Kasihan juga. Pasti Bang Leon baru bisa tidur menjelang pagi. Sukurin!Kubuka semua tirai yang masih tertutup rapat, lalu mendudukkan Alva di karpet di depan televisi. Mengambilkannya banyak mainan dan memutar acara kartun. Biasanya, dia akan tenang jika menonton acara kesukaan."Main yang anteng, ya, Sayang. Mama mau siapin sarapan dulu." Kukecup kepalanya, lalu pergi ke dapur.Aku sibuk menyiapkan bumbu nasi goreng sambil sese
Aku masih berada di kamar menyusui Alva. Buah cintaku bersama Bang Leon yang sama sekali dia tak ingat bagaimana perjuangan kami agar Alva terlahir selamat ke dunia ini. Begitu pentingnya istri baru itu sampai-sampai setiap perkataannya seolah tak peduli sedikit pun dengan perasaanku.Bukankah aku Lusi? Wanita yang tegar dan kuat meski dikhianati?Namun, bulir bening yang susah payah ditahan ini masih tetap luruh juga. Aku tak pernah terpikirkan jika pernikahan kami akan mengalami ujian seberat ini. Tak pernah menyangka akan hadir sosok wanita lain di rumah tangga kami. Hati ini sakit membayangkan bayi yang tidak berdosa ini sebentar lagi akan mendapatkan kasih sayang yang pincang.Aku merasa begitu jahat, tapi ini juga demi kesehatan mental. Diriku bukanlah wanita super sabar di luaran sana yang rela membagi cinta dan keringat suaminya. Aku hanya ingin tetap waras supaya bisa membesarkan Alva tanpa derita dan luka. Tidak ingin lumpuh karena luka itu hingga akhirnya mati perlahan.Kuu
Usai dimandikan, Alva tertidur pulas. Kubuka kotak ponsel baru, lalu memindahkan kartu dan semua nomor penting dari ponsel lama. Ponsel yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berganti. Tak hanya RAM yang minim, tapi layarnya yang sudah retak di sana-sini terkadang cukup menyulitkanku.Jauh berbeda dengan Bang Leon. Dalam setahun ini, dia sudah tiga kali mengganti ponsel. Meski aku mengingatkan agar jangan terlalu menghamburkan uang, tapi dia selalu menganggap enteng semua itu. Padahal, tak selamanya hidup akan enak terus seperti sekarang.Dulu, kami pernah berada di titik terendah. Sekarang keadaan jauh lebih baik, tapi bukan berarti selamanya akan terus seperti ini karena roda kehidupan berputar. Meskipun, aku berdoa kami tak akan mengalami kepahitan itu lagi.Terbayang kenangan dulu, pagi-pagi aku berkeliling jualan donat. Selesai berjualan, aku pergi menjadi buruh cuci. Terkadang jualan jajanan anak-anak juga di depan rumah. Sementara, Bang Leon sendiri selalu murung dan uring-urin
Aku tengah menyiapkan surat-surat kelengkapan untuk mengajukan proses perceraian. Selain membeli ponsel baru, sengaja tadi siang menyempatkan diri untuk memfotokopi beberapa berkas. Rencananya, besok pagi aku baru akan mengurus ini ke pengadilan agama.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan fokusku. Memang pintu kamar ini tadi sengaja dikunci. Setelah merapikan kembali surat-surat tersebut dan menyimpannya di lemari, segera kuayunkan kaki menuju pintu.Bang Leon sudah berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan yang terlihat gelisah dan gusar."Ada apa?""Ada yang perlu kubicarakan," ujarnya pelan."Oh, iya. Aku lupa. Baiklah. Abang duluan saja turun. Sebentar lagi kususul."Bang Leon mengangguk pelan, lalu berbalik dan pergi. Sesaat sebelum menuruni tangga, dia kembali menoleh. Memandang dengan tatapan yang sulit kuartikan, lalu kembali melanjutkan langkahnya."Ayo, Sayang! Kita turun dulu temui papamu." Aku menggendong Alva yang sedang bermain di atas ranjang dengan bola-bola kecil
Alva merengek melihatku terisak sembari menggendongnya. Kubaringkan dia perlahan dan segera menyusuinya. Aku sudah mencoba mengontrol perasaan, tapi air mata ini tidak bisa diajak kompromi.Aku pernah mendambakan keluarga yang harmonis seperti Ibu dan Ayah. Mereka tetap setia sampai maut memisahkan, tapi aku? Aku gagal meraih impian itu. Alva harus kehilangan papanya di usia yang masih hitungan bulan."Maafin mama, Nak." Kukecup kepalanya lembut. "Bukan mama enggak sayang, tapi mama ingin merawat dan menjagamu dengan penuh senyuman, bukan tangisan. Mama akan terus terluka jika bertahan," lirihku seraya mengucek mata yang buram karena air mata."Saat kamu besar nanti, kuharap kamu bisa mengerti keputusan mama ini. Belajarlah dari kesalahan papamu, Nak. Belajarlah untuk memahami bahwa kesetiaan itu penting."Aku menyeka air mata saat menyadari ponsel bergetar. Nanny memanggil.Dia memang sahabat terbaik. Selalu tahu saat-saat di mana aku butuh sandaran."Assalamu'alaikum," sapanya setel
Setelah memasangkan tulisan 'rumah dijual' di gerbang, aku kembali ke dalam. Memasang iklan online supaya rumah ini bisa segera terjual. Setelah uangnya ada, aku bisa mencari rumah ukuran kecil yang lebih murah, atau bisa menyewa dulu jika rumah baru belum ada.Aku mengambil foto bersama Alva. Mempostingnya dengan caption 'sekuat apa pun kita menjaga dan menggenggam, yang harusnya pergi akan tetap pergi. Selamat datang masa depan!'Banyak komentar dari teman yang tak jarang bertegur sapa di komen. Terkadang, membaca komen mereka bisa memberikan semangat tersendiri.Bang Leon sendiri tak tahu kalau aku masih memiliki akun facebook. Dulu, dia memintaku menghapus akun karena tak suka saat banyak teman pria yang ikut berkomentar jika memposting foto dan status.Kini, aku jadi punya banyak waktu santai. Aku hanya membantu mengepel dan menyapu saja karena Alva sering bermain di lantai. Untuk pekerjaan lain, biarkan saja Mira yang mengerjakan nanti. Meskipun, sebenarnya mata dan tangan ini g