"M-Maksudmu?" Ditrian meletakkan cangkirnya dengan gugup.
"Anda tidak bisa menyembunyikannya dari saya, Yang Mulia."
"Apa ... sejelas itu?"
Ikiles mengangguk.
"Saya telah mengenal Anda dari kecil. Dan ... Direwolf yang sudah cinta mati sangat bisa dikenali. Apa Anda benar-benar mencintai manusia itu?"
Ditrian hanya bisa mengangguk pelan.
"Padahal Anda tahu konsekuensinya?"
Sesaat Ditrian hening.
"Apa kau bisa mengendalikan perasaan cinta ... wahai Elf yang bijak?"
Ikiles juga nampak tak bisa menjawab. "Manusia itu berumur pendek. Wanita itu akan menua lebih dahulu ... lalu mati. Lalu Anda akan tetap mencintainya dalam kesendirian."
Terdengar pedih. Ditrian juga tidak bisa berkata apa-apa.
"Direwolf adalah satu-satunya mahluk yang akan setia pada seorang saja sampai mati."
"Lalu ... apa kau pikir aku bisa berpaling darinya?" Ikiles hanya bisa mengulum bibirnya. "Aku sudah mencoba ... dan aku tak bisa.
"Kau sudah paham cara menggunakannya 'kan?"Sheira mengangguk. Ia sudah memegang sebuah kantung kain dari Master Ikiles."Terimakasih, Master Ikiles. Aku tidak akan melupakan perbuatanmu ini."Ikiles tersenyum simpul. "Pesanku padamu, jagalah baik-baik rajaku. Jangan khianati dia. Jika kau melakukannya, aku akan tahu. Karena angin akan mengatakannya padaku. Dan jika itu terjadi ... lawanmu adalah aku.""Kau tak perlu khawatir soal itu, Master. Aku tidak punya siapapun untuk dikhianati. Dan ... dewa yang memintaku untuk menjadikannya sebagai kaisar benua ini.""Bukan soal itu ...."Sheira mengernyit bingung. "Lalu?"Belum sempat Ikiles menjawab, rombongan pedagang alias pengawal di bawah perintah Raja Ditrian datang ke pelataran istana tua itu.Sheira perlahan menoleh pada kedatangan mereka."Selamat pagi, Master Iki-," langkah Ditrian terhenti. "... les."Jantung pria itu berdegup sangat cepat. Waktu terasa berjal
"... Ditrian ...," panggilnya lagi.Pria itu langsung bangkit dari tidurnya. Telinga Direwolf-nya mencuat ingin memastikan suara itu. Benar-benar ada atau halusinasinya saja.Ia kenal suaranya. Suara Sheira. Beberapa ksatria lain juga ada yang terbangun. Ditrian segera menghampiri tenda kecil nan kokoh itu. Ia menyibak pintu kainnya dan mendapati Sheira yang masih terbungkus selimut kulit binatang."Sheira?!" pekiknya panik.Tubuhnya berguncang hebat sampai bisa menggetarkan tumpukan selimutnya. Ditrian langsung memeriksa baik-baik istrinya itu. Wajah putih Sheira terkubur di antara kain yang tebal, hanya menyisakan kedua mata peraknya."Kau tidak apa-apa?" cem
"Ini punyaku!""Tidak! Ini punyaku!""Punyaku!"Dua bocah laki-laki Direwolf tengah berebut sebuah kantung di taman istana."Punyamu kan sudah habis! Ini punyaku!""Tapi ini untuk ibuku!""Ibumu sudah mati, Ditrian! Untuk apa diberi kue?!"Mendengar itu, Ditrian melepas kantung kain dan membuat bocah tengil itu jatuh terjerembab."Akh! Sakit!"Mata Ditrian berkaca. "Ibuku masih ada! Berani-beraninya kau bilang begitu! Kupukul kau!"Seketika Ditrian menindih tubuh bocah kurus itu, lalu berusaha memukuli kepalanya bertubi-tubi. Tentu tangan bocah itu berusaha melindungi kepala Direwolf dan telinganya."Aduh! Ampun! Sakit! Ayah! Tolong aku!" pekik bocah itu. Ia mulai menangis dan meraung.Dua orang Direwolf dewasa segera menghampiri mereka."Ditrian hentikan!" seru salah satunya.Mendengar suara yang memanggil namanya, Ditrian langsung menoleh, ia buru-buru bangkit meski masih kesal pada a
Duke Gidean von Monrad yang gemuk dan Duchess Anna von Monrad yang selalu memakai perhiasan dengan berlebihan, saling menatap."Pernikahan?" tanya Duchess Anna.Grand Duke Everon mengangguk."Apakah Yang Mulia Raja yang meminta Grand Duke untuk membahas pernikahan?" tanya Duke Gidean.Everon hening sejenak, ia menghela."Sebenarnya, aku belum membicarakan ini dengan Yang Mulia.""Lalu?"Evelina ikut bingung. Matanya terlihat sembab meski sudah ditutupi riasan."Aku mengerti Duke Gidean memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang kuat. Itu adalah hal yang akan dibutuhkan oleh Yang Mulia Raja. Jika semua kekuatan bangsawan bersatu, kerajaan ini akan melangkah menuju masa depan yang lebih baik.""Saya sangat memahami itu, Yang Mulia Grand Duke. Pertunangan Yang Mulia Raja dengan anak kami, Evelina, pasti pada akhirnya memiliki tujuan politik.""Aku senang jika Duke Gidean paham. Tapi ... ada satu masalah.""Apa
Ditrian tidak pernah melihat padang rumput seluas itu. Hamparan rumput hijau yang agak basah, dihiasi bunga-bunga kuning kecil yang bermekaran. Langit biru cerah menaunginya. Awan-awan melayang lembut di atas sana. Terlihat tak terbatas hingga ujung horison. Angin sepoi-sepoi menyapu kulit pipinya. Di atas bukit itu, ada sebuah pohon yang sangat besar dan menjulang tinggi. Daun-daunnya lebat, hingga pohon itu membentuk jamur raksasa di antah berantah. Ygritte, pohon kehidupan. Begitulah yang diyakini Ditrian. Sumber kehidupan di dunia, pohon para dewa. Itu yang digambarkan di kitab suci kuno. Dari kejauhan, Ditrian bisa melihat seseorang berdiri di samping batang pohonnya yang besar. Seseorang ... yang tidak begitu asing baginya. Ia mulai melangkah mendekati pria itu. Dekat ... mulai dekat. Dan semakin jelas pula wajahnya. "R-Reghar?!" Reghar berdiri menoleh pada Ditrian. Pria itu tersenyum. Ia mengenakan baju zirah saat pertam
Mungkin beberapa jam mereka memutari kota. Tidak ada penginapan yang benar-benar layak. Kalaupun ada, sudah pasti penuh. Mereka tidak mungkin memaksa pemilik penginapan untuk mengusir semua tamu. Bisa ketahuan. Hari hampir gelap. Ditrian ngotot, tidak mau kalau Sheira harus tidur di tempat yang tidak layak. Meskipun Sheira sudah bilang tidak apa-apa. "Haaaah .... Itu yang terakhir Yang Mu-, maksudku Tuan Bermount. Sudah penuh juga," ucap Sir George sambil menggaruk kepala. Ia memanggil Ditrian dengan Tuan Bermount, dan Sheira dengan Alina sebagai nama samaran. Mereka sudah turun dari kuda-kudanya dan berjalan kaki. Seharusnya kuda-kuda itu sudah beristirahat dari tadi. Ditrian bersedekap, agak berpikir. Ia mengingat-ingat penginapan yang sudah mereka datangi. Dia tidak mungkin membiarkan Sheira berada di tempat seperti itu. Lebih baik berkemah lagi saja di tenda. "Ditri- ah! Tuan Bermount. Mungkin ... kita bisa menemui temanku di kota
"Madam! Hentikan!" Sheira langsung menyambar tangan Madam Cherry dan membuat tubuhnya berhenti bersinar. "Dengarkan aku dulu! Kumohon! Mereka bukan musuhmu!"Dengan susah payah Sheira membujuk dan membawanya duduk ke sofa. Madam Cherry menangis dan terlihat sangat sedih. Sheira berusaha menjelaskan padanya bahwa ini semua ulah kekaisaran. Mulai dari Shana yang diberi ramuan sihir, tentang Pangeran Alfons, hingga nubuat para dewa di mimpinya.Suasana jauh lebih tenang."Aku ... aku belum bisa terima .... Pria itu sudah membunuh Reghar," tunjuk Madam Cherry pada si raja Direwolf. Ditrian masih berdiri di tempatnya, tak mengatakan sepatah katapun untuk membela diri."Aku tahu, Madam. Aku juga merasakannya, Reghar adalah kakakku. Tapi dia sendiri yang menginginkan ini. Ia ingin bersama Shana di nirwana. Mereka sudah bertemu. Mereka sudah bahagia di atas sana."Sekilas, wajah Madam Cherry terlihat sedikit sungkan, tapi tertutupi dengan air matanya.
"Reghar?" tanya Ditrian bingung.Mungkinkah ... di dalam kotak itu ada potongan tubuh kakaknya? Jarinya mungkin? Atau bola mata yang sudah diawetkan? Membayangkannya saja membuat Ditrian jijik.Sheira memutar kotak itu ke hadapan wajah sang raja.Sebuah cincin yang sangat sederhana. Cincin emas kecil yang biasa saja. Tidak ada ukiran istimewa di sana. Hanya ada sebuah batu merah delima yang kecil sebagai matanya.Alis Ditrian mengerut."Itu ...?""Jimat Magi-ku! Namanya Reghar. Ini ... pemberian Reghar."Sheira selesai menunjukkannya pada Ditrian. Kini cincin itu sudah menghadap padanya lagi. "Aku merindukanmu. Sudah waktunya. Ditrian ... bisakah kau menutup semua pintu dan jendela?"Tanpa ia bertanya, Ditrian menghampiri setiap jendela yang ada. Menutup tirai dan bingkainya rapat-rapat. Pintu juga ia kunci. Tak apa disuruh-suruh. Rasa penasarannya jauh lebih besar.Sheira menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian ia memung