"Aah! Tolong jangan sakiti saya!"
Perlahan Cassandra mendongak menatap sang pemilik sepatu mengkilat itu. Seorang laki-laki tampan berambut kepirangan, berdiri menatapnya tanpa ekspresi. Cassandra semakin gemetar dan bertanya dalam hati tentang laki-laki di depannya itu. Mungkinkah dia mafia yang hendak membelinya? Kembali rasa takut menggelayuti Cassandra. "Masuklah!" titah laki-laki itu dengan suara dingin. Dengan ragu, Cassandra bangkit dan menoleh ke arah dua orang preman tadi yang sudah kabur entah ke mana. Cassandra masih berdiri kaku di tempatnya. Menatap punggung tegap di balik jas mahal itu memasuki mobil. Laki-laki paruh baya yang menjadi sopir itu, membuka pintu belakang sebelah kiri untuk Cassandra. "Masuklah, Nona. Sudah malam!" pintanya. Cassandra justru mematung di tempat. Hatinya berkecamuk antara butuh bantuan dan ketakutan. Sampai pada akhirnya, terdengar decakan kesal dari laki-laki muda tampan yang sudah kembali duduk di jok belakang. "Kamu mau berdiri terus di situ, lalu dijual orang, atau ikut kami? Cepatlah, jangan buang waktu saya!" Suara baritone itu menginterupsi sejenak ketakutan Cassandra. Dengan ragu, dia memasuki mobil mewah pabrikan Italia itu. Beberapa saat kemudian, mobil berwarna hitam itu pun meninggalkan lokasi. Sejenak, suasana kaku menyelimuti ketiga orang di dalam sedan mewah itu. Sang sopir melirik center mirror dan melihat sekilas Cassandra yang duduk gelisah. "Anda tinggal di mana, Nona?" tanya sang sopir memecah keheningan. Cassandra langsung mendongak dan menjawab gugup, "Saya, saya ... saya tinggal di Distrik Piazzetta!" Sopir itu beralih melirik laki-laki yang duduk di samping Cassandra. Tatapan laki-laki itu datar ke luar kaca jendela mobil. Rupanya, pemandangan malam Kota Milan lebih menarik penglihatan laki-laki tampan itu, daripada gadis asing dengan pakaian minim di sebelahnya. "Tuan Andrian. Bagaimana ini?" Sopir pun meminta persetujuan. Andrian, nama laki-laki itu melirik sang sopir sekilas, lalu kembali menatap ke luar sana. "Bagaimana lagi? Antarkan dia pulang lebih dulu!" sahutnya dingin. Cassandra langsung menoleh. "Ah, tidak ... tidak! Saya tidak mau pulang, Pak, Tuan. Saya mohon, jangan antar saya pulang, Pak. Say--" "Tapi kami tidak bisa membawamu ikut kami, Nona. Kami harus ke luar kota!" Cassandra mulai menangis. Membayangkan sesampai di apartment sederhananya, dia langsung ditodong sang ayah yang sedang mabuk. Ayahnya yang seorang pengangguran itu selalu menghabiskan waktu dengan minum alkohol dan berjudi. Semenjak sang ibu meninggal, Cassandra semakin dijadikan sapi perah untuk memenuhi kebutuhan ayahnya yang tidak tahu diri itu. Cassandra diwajibkan membayar hutang ayahnya setiap minggu paling sedikit 500 Euro. Mulanya, Cassandra bekerja part time di cafe dekat kampus. Namun, semenjak ayahnya gemar berjudi, terpaksa Cassandra berhenti kuliah. Dia memilih bekerja di club malam yang lebih banyak menghasilkan uang. Tidak jarang, Cassandra harus menemani pria-pria hidung belang minum beer sampai pagi. Meskipun pekerjaan asli Cassandra seorang penari erotis, tetapi, lagi-lagi demi uang, dia rela melakukan apa pun. Asalkan tidak mendapat kemarahan dan pukulan dari sang ayah. "Tolong saya, Pak. Daripada Anda antar saya pulang, buang saja saya di sungai itu. Lebih baik saya mati! Saya tidak mau dipukul ayah, kalau pulang tidak membawa uang. Saya takut jika pulang, mereka akan mendatangi apartemen saya dan mengantarkan pada pria hidung belang itu!" Cassandra mengusap-usap kedua belah pipinya yang basah. Andrian melirik Cassandra sekilas. "Banyak cerita seperti itu dari gadis-gadis yang ingin membuat kejahatan, Nona. Apa alasan kami untuk percaya padamu?" sahutnya sinis. Cassandra meraih tangan Andrian, tetapi Andrian segera menariknya kembali. Cassandra menangkupkan telapak tangan di depan dada dengan air mata terus menetes. Tatapannya sayu penuh permohonan. "Jika Anda tidak percaya, besok serahkan saya ke kantor polisi. Tapi jika Anda beri saya kesempatan, saya akan ikut Anda dan bekerja di rumah Anda. Saya lebih baik bekerja sebagai pembantu, daripada dijual kepada laki-laki bandit itu!" ucap Cassandra sambil terus menangis. Pak Sopir dan Andrian bertatapan sekilas melalui center mirror. Bersamaan dengan itu, terdengar tarikan napas lelah dari mulut Andrian. "Baiklah, kamu boleh ikut kami. Kebetulan, besok malam di villa kami akan ada pesta. Tapi saya tidak ingin melihatmu memakai pakaian kurang bahan seperti itu. Keluarga saya sangat terhormat. Jangan bikin malu saya!" Kembali Andrian berkata menyakitkan. Cassandra mengangguk tanpa ragu. Tidak apa-apa bekerja di rumah laki-laki dingin ini daripada dijual kepada mafia, pikirnya. Cassandra menunduk, menatap sepasang paha mulusnya yang terbalut stocking tipis. Pekerjaan sebagai wanita penghibur memang bukan pilihannya. Selama itu pula, Cassandra sibuk dengan perang batin. Tetapi itulah jalan hidup yang tidak adil. Terpaksa harus Cassandra jalani tanpa ada pilihan lain. Mobil pun terus melaju semakin jauh keluar dari Distrik La Piazzetta. Tidak terasa, mobil berhenti di pekarangan villa mewah di tengah taman yang luas. Dua orang pengawal langsung menyambut kedatangan Andrian di waktu dini hari itu. Andrian menoleh pada Cassandra yang berdiri canggung di belakangnya. Gadis itu menatap takjub bangunan megah di depan matanya. Belum pernah selama 20 tahun hidupnya, Cassandra menginjakkan kaki di tempat seindah itu. "Masuklah! Di dalam ada pelayan yang akan mengantar ke kamarmu!" ucap Andrian tegas. Cassandra mengekori langkah Andrian sampai di dekat tangga lingkar. Dengan suara tegas, laki-laki itu memanggil pelayan yang langsung berjalan tergopoh-gopoh menghampiri mereka. "Tolong, antar Nona ini ke kamar tamu!" titah Andrian, kemudian menoleh pada Cassandra. "Ikutlah dengannya, besok kita bicara!" lanjutnya kemudian berlalu. Cassandra mengangguk kaku sambil memilin jarinya. Dia tersenyum canggung pada seorang pelayan paruh baya yang terlihat mengantuk itu. "Mari Nona, ikut saya! Anda mungkin gadis yang istimewa, Nona. Di antara pacar Tuan Andrian, Andalah yang tidak diajak masuk ke kamarnya!" ART itu lantas terkekeh. "Sa-saya, bu--" "Ah, iya, Tuan Besar pasti akan sangat senang melihat Tuan Muda pulang membawa calon istri. Akhirnya, setelah sekian lama, Tuan Muda menemukannya." Di sebelahnya, Cassandra hanya bisa mematung mendengar ucapan beruntun ART itu. Dia menggaruk pelipisnya bingung. Calon istri? ****Kekesalan Cassandra berlanjut sampai malam. Meskipun Andrian sudah merayunya, tetapi Cassandra tidak peduli. Dia menatap tak minat pada beberapa paper bag berisi baju-baju couple, tas, dan sepatu baru. "Siapa yang akan menikah, Andrian? Dokter Ariana Federica itu selingkuhanmu juga? Awas, kalau sampai benar, kamu akan aku usir dari Italia. Aku ingin lihat, kamu pergi tanpa uang sepeser pun."Alis Andrian naik sebelah. "Aku yakin kamu tidak serius. Sudahlah, daripada berdebat, lebih baik kita ...""Dalam mimpi!" Cassandra justru menarik selimut dan membungkus tubuh seperti kepompong.Andrian tidak tinggal diam. Dia ikut menyelusup dalam selimut itu dan memeluk erat tubuh Cassandra dari belakang. Terdengar hembusan napas kesal berkali-kali dari bibir Cassandra."Dokter Ariana akan menikah tiga hari lagi di Gereja Santa Margherita." Andrian memainkan rambut Cassandra.Seketika, Cassandra membalikkan badan menatap dalam manik kebiruan Andrian. Kening wanita itu mengernyit. Berusaha mengi
Kehangatan kembali mewarnai rumah tangga Andrian dan Cassandra. Kebahagiaan mereka semakin lengkap, semenjak kelahiran si bungsu Antonio Cesare Petruzzelli. Hari ini, Cassandra mengajak ketiga anaknya ke kantor La Stampa. Dia ingin memberi kejutan ulang tahun untuk Andrian yang ke-30. Cassandra tersenyum pada Emillia dan Davidde yang turun lebih dahulu dari mobil, dibantu sopir. Lantas, Cassandra menurunkan Cesare dan membaringkan bayi berusia tujuh bulan itu di dalam stroller. Kedatangan istri bosnya, disambut antusias oleh sahabat-sahabat Cassandra. Angelica tampak bersemangat menggendong Davidde. Bocah berusia 2,5 tahun itu sesekali berceloteh lucu ala bahasanya sendiri. Lusiana memeluk Cassandra, menumpahkan rindu. Mereka terakhir bertemu dua bulan lalu, ketika Andrian dan Cassandra menjalani pemberkatan pernikahan ketiga, setelah pembaptisan Cesare. “Nyonya Bos, kamu semakin cantik saja!” Angelica ikut bahagia melihat wajah segar Cassandra yang tanpa beban. Dia juga tahu, And
Andrian menggenggam jemari tangan Cassandra di atas makam Antonio. Sebelah tangannya mengusap batu nisan Antonio. Ada rasa sedih mendalam kehilangan sosok sahabat meskipun sempat menjadi saingannya. "Aku datang padamu untuk meminta kembali Cassandra. Aku yakin, kamu tidak mungkin marah padaku. Aku janji akan menjaganya dengan nyawaku. Damailah di sana, Antonio. Terima kasih sudah menjaga mereka dengan baik." Andrian tersenyum samar, kemudian menatap Cassandra yang duduk di seberangnya. "Ayo, kita pulang!" ajak Cassandra. Cassandra tidak ingin terus menerus bersedih karena kehilangan Antonio. Dia harus bisa menghargai perasaan Andrian, setelah berani berdamai dan memutuskan menerima kembali laki-laki itu. Andrian mengangguk menuruti permintaan Cassandra. Tangannya tidak lepas dari jemari tangan Cassandra hingga memasuki mobil. Sejenak, keduanya terdiam di dalam mobil dengan pandangan sama-sama tertuju pada makam Antonio di sana. "Aku tahu kamu sedih dengan kepergian Antonio. Aku j
Andrian mengerang kesakitan. Luka bekas operasi yang masih basah itu, terasa sangat nyeri. Rupanya, Cassandra mendorong dengan kuat, tepat di perban itu. Cassandra termangu melihat Andrian kesakitan sambil memegangi dadanya. "Kenapa berhenti? Lakukanlah, Amore!" pinta Andrian pasrah. Tatapannya nanar pada Cassandra. Tidak ada kemarahan sedikit pun di sana. Bella segera mendekati Cassandra. Mencegah wanita itu berbuat yang lebih brutal. Bella maklum, kondisi Cassandra benar-benar jatuh sehingga bisa saja bertindak di luar kendali. Angelica sigap memanggil perawat. Tidak lama kemudian, seorang perawat memasuki ruang perawatan Andrian. "Kenapa luka Anda bisa mengeluarkan darah?" tanya perawat sembari melepas perban di dada Andrian. Andrian menggeleng pelan. "Maaf, saya tidak sengaja menyenggol perbannya!" jawabnya berbohong. Mata Andrian terpejam sambil menggigit bibir menahan sakit. Sedangkan Cassandra tampak ketakutan di dekat Bella. Wajahnya pucat penuh sesal. Darah mere
"Lepaskan saya, Bunda! Saya harus ikut mereka!" Cassandra kembali memberontak. Di antara isak tangis, Cassandra meringis menahan kram di perutnya. Wanita itu memegangi perut yang terasa tidak nyaman. Bella dan Bunda Stefania segera memanggil sopir untuk membawa Cassandra ke rumah sakit. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan USG, Cassandra dibawa ke ruang perawatan. Dia masih menangis. Tidak menyangka, hari bahagianya berubah kelam. Cassandra juga belum tahu nasib Andrian dan Antonio di ruang operasi. Bella yang mendorong kursi roda, tiba-tiba menghentikan langkah. Terdengar suara seseorang sedang berbicara di telepon. Setelah menyadari sesuatu, Cassandra mendongak menatap Bella. Air mata kembali menetes membasahi pipi Cassandra, mendengar suara yang dikenalnya itu. Bella hendak kembali mendorong kursi roda, tetapi Cassandra mencegahnya. "Tunggu sebentar, Bella! Tolong antar aku ke tempat pengawal itu!" Bella tampak ragu, tetapi Cassandra terus memaksa. Tidak ada pilihan lai
Mendengar jawaban Cassandra, Antonio hanya bisa mengangguk. Meskipun dia tahu, wanita itu tidak melihatnya. Cassandra kembali meneruskan langkah. Di ruang bawah tampak sepi, mungkin anak-anak sedang dimandikan oleh Nanny. Cassandra juga tidak melihat keberadaan Andrian dan mobil laki-laki itu. Tiba-tiba ada perasaan aneh menghinggapi Cassandra. Dia memaki diri sendiri yang terlalu munafik karena kepergian Andrian membuatnya merasa kehilangan. "Aku pulang dulu. Kamu juga segera kembali ke atas. Hati-hati naik turun tangga!" ucap Antonio begitu mereka sampai di lantai bawah. Cassandra mendongak menatap manik Antonio lalu mengangguk samar. Antonio tersenyum, kemudian mencium bibir Cassandra sekilas, sebelum memutuskan berlalu dari hadapan kekasihnya itu. "Ciao Amore. Hati-hati di jalan!'' ucap Cassandra mengikuti langkah Antonio sampai di depan pintu. Antonio tersenyum, sebelum memasuki mobil. Segera, Alfa Romeo Quadrifoglio itu pun meninggalkan car port rumah megah Andrian. Sesampai