Home / Fantasi / KSATRIA API PHOENIX / Bab 6: Mengungkap Kebenaran — Bayangan Istana dan Sengketa Dalam Diri

Share

Bab 6: Mengungkap Kebenaran — Bayangan Istana dan Sengketa Dalam Diri

Author: Kawanlama
last update Last Updated: 2023-04-08 23:41:33

Kabut pagi yang menutupi Kota Bastion semakin menebal ketika Ezio, Ryu, dan Mira melangkah pelan menyusuri lorong-lorong sempit distrik pedagang. Bau rempah, asap tembakau, dan aroma makanan campur jadi satu membaur menjadi latar belakang yang memekakkan indera. Namun bagi Ezio, setiap aroma, suara, dan gerak-gerik orang-orang di sekitar adalah petunjuk rahasia—jejak langkah yang mengarah ke jaringan informasi bawah tanah.

Mira berjalan di depan, matanya tetap waspada, membaca wajah dan gerak-gerik warga yang berlalu-lalang. Ia menghindari kontak mata yang berlebihan, tahu betul bahwa di tempat seperti ini setiap orang bisa menjadi mata atau telinga bagi kaisar atau pemberontak.

"Kalau kita tidak berhati-hati, satu kata salah bisa berujung pada kematian," ujar Mira pelan, suaranya nyaris hanya angin yang bergesekan dengan reruntuhan tembok tua.

Dalam keheningan itu, mereka tiba di sebuah gerbang besi karatan yang tersembunyi di ujung pasar gelap. Kito, pria yang mereka temui sebelumnya, muncul dari balik bayang-bayang. Wajahnya penuh guratan dan mata yang sudah terlalu sering melihat tipu daya.

"Aku membawa sesuatu yang kau cari," bisiknya. Dari balik jubahnya, ia keluarkan setumpuk dokumen lusuh dan gulungan peta kecil. "Ini bukan hanya peta lorong rahasia, tapi juga catatan suara, pengawasan, dan operasi rahasia para pejabat istana."

Ezio merasakan dingin menusuk dari dalam. Semua itu bukan hanya sekadar kunci membuka pintu istana, tapi juga membuka luka lama yang tak pernah sembuh — pengkhianatan, tipu muslihat, dan kerakusan kekuasaan.

Namun di balik itu, tercium juga jebakan. "Banyak informasi palsu, jebakan yang dipasang agar kita saling curiga," kata Kito sambil menatap serius. "Kau harus pandai memilah mana yang benar dan mana yang jebakan."

Ezio menggenggam gulungan peta itu dengan erat. Bayang-bayang masa lalu melintas: wajah saudara angkatnya, Kaisar yang pernah ia anggap pelindung, kini menjadi sumber luka menganga.

"Bisakah aku benar-benar mempercayai siapa-siapa?" Ezio bergumam dalam hati. Pertanyaan itu menggantung berat, seolah kabut Bastion yang menyelimuti pikiran dan jiwanya.

Ryu berdiri di sampingnya dan menepuk bahunya halus. “Kita harus hadapi ini dengan kepala dingin. Balas dendam memang menggoda, tapi jika kita tersesat dalam dendam, kita jadi apa bedanya dengan musuh?”

Ezio mengangguk perlahan, tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar pertarungan pedang dan sihir, tapi juga ujian jiwa dan hati.

Langit hari itu mulai memerah, tanda senja mendekat, namun dalam diri Ezio ada nyala api yang mulai menyala — api pengetahuan, harapan, dan niat untuk membongkar setiap kebusukan yang berselimut emas di balik tembok istana.

__________

Setelah menerima gulungan dokumen dan peta dari Kito, Ezio kembali ke tempat persembunyian mereka yang tersembunyi di sudut gelap Bastion. Di sebuah ruangan kecil yang remang, dinding-dindingnya dipenuhi dengan lukisan-lukisan usang dan alat-alat sederhana, ketiganya duduk melingkar sambil membongkar isi dokumen yang sangat berharga namun sekaligus menyiksa jiwa.

Ezio memegang gulungan peta dengan tangan gemetar, matanya menatap isi yang tertulis dan gambaran lorong-lorong rahasia. Tapi pikirannya melayang, tenggelam dalam gelombang keraguan dan amarah. Ia terdengar berbicara pelan, suaranya nyaris terdengar hanya oleh Ryu dan Mira.

“Aku merasa seperti berjalan di atas tali tipis yang membentang di atas jurang. Jika salah langkah, bukan hanya aku yang jatuh, tapi juga harapan semua orang yang percaya padaku,” kata Ezio sambil mengusap pelipisnya. “Semakin aku menyelidiki lebih dalam, aku makin merasa tak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang tipu daya.”

Mira menatap Ezio dengan penuh empati. “Kebenaran memang seringkali berlapis-lapis, dan tidak selalu sejelas yang kita harapkan. Di istana, wajah sahabat bisa jadi penyamaran seorang pengkhianat. Kita harus pandai melihat di balik topeng mereka.”

Ryu menambahkan dengan nada tegas, “Aku tahu perasaanmu, Ezio. Dendam bisa membakar jiwa kita hingga tak lagi bisa berpikir jernih. Tapi balas dendam tanpa kendali hanya membuat kita terjebak dalam lingkaran kebencian tak berujung. Aku dulu juga pernah di sana, terperangkap dalam amarah yang melumpuhkan.”

Ezio menunduk sementara sejenak keheningan menyelimuti. Korban-korban yang pernah ia lihat, penderitaan yang dirasakan rakyat, dan bayangan Agra Diaz yang terus menghantuinya mengaduk-aduk isi hatinya.

“Bagaimana aku bisa yakin bahwa aku tidak akan berubah jadi seperti mereka? Musuh yang selama ini kucerca?” tanya Ezio lirih, nyaris berlinang air mata. “Aku ingin melindungi, tapi aku juga ingin membalas. Kapan kedua hati ini bisa bersatu?”

Mira duduk lebih dekat, menyentuh lengan Ezio dengan lembut. “Api dalam dirimu, Ezio, adalah karunia sekaligus ujian. Ia akan membimbingmu selama kau tidak membiarkannya menjadi api amarah yang membakar segalanya. Aku pernah belajar, bahwa kadang kekuatan terbesar datang dari kelembutan dan pengampunan.”

Ryu mengangguk setaia. “Dan bukan hal mudah membawa dua hati itu dalam satu diri. Aku percaya, kekuatan sejati bukan tentang seberapa keras kita bertarung, tapi seberapa besar kita mampu menjaga diri agar tetap manusiawi meskipun dikelilingi oleh kegelapan.”

Ezio menghela nafas panjang, merasa sedikit ringan oleh dorongan sahabat-sahabatnya. Namun bayang-bayang peperangan batin itu masih menggerogoti dirinya. Malam-malamnya penuh mimpi buruk, suara sanjung dan hinaan, janji dan pengkhianatan berjatuhan dalam pikirannya.

Dalam satu momen saat meditasi di bawah cahaya lilin redup, ia merasakan kehadiran Phoenix lebih jelas dari sebelumnya. Suara lembut dan membakar itu bergema dalam hatinya:

*"Jangan biarkan amarah membutakan matamu, Ezio. Api sejati adalah nyala yang menerangi jalur keadilan, bukan bara yang membakar tanpa arah. Gunakan kekuatanmu bukan untuk membalas luka, tapi untuk menyembuhkan dunia yang retak."*

Setelah bermenung panjang, Ezio mengangkat kepalanya dan menatap mata Ryu dan Mira. “Aku siap berjuang bukan untuk balas dendam, tapi untuk membangun keadilan yang sesungguhnya. Namun aku membutuhkan kalian berdua untuk mengingatkanku jika aku mulai tersesat.”

Ryu tersenyum hangat, “Itulah yang disebut persahabatan sejati.”

Mira mengangguk, “Kita akan berjalan bersama melalui gelap dan terang. Kau tidak sendiri.”

Hari-hari berikutnya, Ezio semakin dalam menyerap ilmu dan strategi dari Mira di bidang sihir perlindungan dan komunikasi rahasia, sementara Ryu terus mengasah ketangguhan fisik dan kepekaan Ezio dalam menyelami pola pertempuran dan politik.

Setiap malam, pergulatan batin itu terus bergolak, tapi semakin kuat ia berdiri tegak di antara bayangan kekuasaan yang gelap, dengan api yang menyala di dadanya sebagai kompas dan pelita.

Dalam usaha mereka membongkar jaringan intrik di istana, ketiganya mulai menerima undangan rahasia dari sejumlah pejabat pembelot yang merindukan perubahan, tapi juga menyadari bahwa setiap langkah bisa berakhir dengan jebakan mematikan.

Pertarungan sesungguhnya telah dimulai — bukan di medan pertempuran terbuka, melainkan di antara tipu daya dan hati yang retak, di mana Ezio harus membuktikan bahwa ia bukan hanya warisan Agra Diaz yang penghancur, melainkan api pembawa harapan yang tak akan pernah padam.

_______

Malam semakin pekat saat Ezio, Ryu, dan Mira memasuki sebuah rumah makan kecil yang tersembunyi di sudut kota Bastion. Lampu minyak yang temaram menggantung di langit-langit kayu, menciptakan suasana penuh rahasia dan waspada di antara para pengunjung yang duduk berkelompok. Ruangan itu berisi deretan meja-meja kecil, suara bisik-bisik dan tawa pelan bergema tipis di udara. Tempat ini bukan sekadar rumah makan, melainkan salah satu titik pertemuan bawah tanah para pemberontak dan pengkhianat yang merindukan tanggalnya kekuasaan kaisar.

Ezio duduk bersebelahan dengan Ryu dan Mira, menatap sosok-sosok yang duduk saling berhadapan, mengenakan jubah gelap atau baju lusuh, dari mantan pejabat hingga mantan tentara yang kecewa. Mereka membicarakan rencana untuk melemahkan pengaruh kaisar dan merebut kembali tanah yang telah dianeksasi dengan intrik dan tirani.

Seorang pria tua berjubah hitam berdiri dan bersuara dengan ketegasan. “Kita tak hanya melawan pasukan terbuka. Jaringan mata-mata kaisar sudah menembus hampir setiap lapisan kota.” Ia menunjuk sebuah daftar nama yang tersebar di atas meja. “Beberapa anggota kita sudah terpapar, dan informasi bocor menyebabkan operasi yang seharusnya berjalan mulus malah gagal.”

Ezio merasakan ketegangan menyebar di ruangan itu. Suasana bagaikan ladang ranjau yang siap meledak jika satu saja langkah salah.

Di sudut ruangan, seorang wanita dengan mata tajam dan jubah kelabu berbicara dengan suara lembut, namun penuh kewaspadaan. “Kami telah mengidentifikasi beberapa pejabat dalam istana yang juga mendukung perubahan. Namun mereka butuh perlindungan dan bukti yang kuat. Jika sekali saja pihak kaisar mendapati permainan kami, semuanya bisa jatuh.”

Mira mengangguk, “Ini pekerjaan kita—menyusun bukti melalui pengintaian dan pengumpulan dokumen.”

Ryu menambahkan, “Tapi kita harus waspada juga terhadap makelar informasi. Dalam jaringan ini, terkadang ada pengkhianat yang berjalan di antara kita sendiri.”

Ezio menyadari bahwa dirinya dan kedua sahabatnya kini terjebak dalam permainan berbahaya antara kepercayaan dan pengkhianatan, antara pembela dan pengintai.

Dalam pembicaraan itu juga terselip rencana kecil untuk menyusup ke dalam istana melalui lorong rahasia yang tertera di peta Kito. Namun untuk melakukannya, mereka memerlukan alibi kuat dan bantuan dari dalam.

Seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka di wajah angkat bicara, “Aku bisa membantu, tapi hanya jika kalian dapat menjamin keamanan keluargaku. Kaisar tak segan menghabisi siapa pun yang mencoba menggagalkan rencananya.”

Dialog berputar antara janji dan kecurigaan, membentuk jaringan negosiasi yang penuh ketegangan. Ezio merasakan tekanan yang semakin berat mencekam dada, namun ia tahu, inilah langkah nyata pertama menuju perubahan besar.

Ketika pertemuan mulai bubar, Mira meraih tangan Ezio, menatap serius. “Ini baru permulaan, Ezio. Kita harus siap menghadapi pengkhianatan dalam bentuk apa pun — dari luar maupun dalam.”

Ryu menyusun rencana lanjutan dengan cepat, “Kita akan membagi tugas: sebagian untuk pengintaian, sebagian lagi untuk penggalangan dukungan di distrik lain. Kita perlu lebih banyak sekutu.”

Ezio menatap wajah mereka berdua, dengan api semangat dan kewaspadaan yang semakin menyala di matanya. “Aku siap. Api dalam dadaku tak akan padam oleh kegelapan ini.”

Namun di luar sana, di balik tirai istana, mata-mata kaisar mengirim laporan terbaru ke meja penguasa dengan nada waspada. “Mereka semakin berani. Bocah bermata api tidak hanya tumbuh menjadi ancaman fisik, tapi juga simbol harapan yang membakar jiwa rakyat. Kita harus segera bertindak.”

Malam itu, di tengah kebisingan kota Bastion, perang nyata mulai bergulir — bukan hanya perang pedang, tapi juga perang fikiran, intrik, dan keberanian.

___________

Malam Bastion berlabuh dalam hening yang penuh waspada. Dalam rumah tua yang tersembunyi di balik lorong-lorong sempit distrik kota, Ezio, Ryu, dan Mira duduk mengelilingi meja kecil yang remang diterangi lilin. Suasana terasa hangat di tengah dinginnya malam, namun ketegangan tetap menyelimuti udara, seperti pedang yang diasah di atas batu bata.

Mira menuangkan teh hangat ke dalam cangkir-cangkir kecil, kemudian mengangkat tatapannya yang tajam ke arah sahabatnya. "Besok adalah hari yang penting. Kita harus mulai bergerak, menjalankan rencana dengan hati-hati. Semua yang kita dapatkan dari penelitian dan pertemuan tadi malam harus diuji dalam tindakan nyata."

Ryu menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya mengilap penuh semangat sekaligus kewaspadaan. "Pertaruhan tidak hanya nyawa kita, tapi juga masa depan rakyat yang menanti pembebasan. Setiap langkah harus terukur, tapi tidak boleh ragu."

Ezio mengangguk, meneguhkan tekadnya hingga terasa seperti kobaran api di dalam dadanya. Ia menyentuh kalung kecil pemberian Master Kalen yang bersarang di lehernya dan menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu sulit menjaga keseimbangan antara balas dendam dan keadilan. Tapi aku yakin, dengan kalian di sisi, dan suara Phoenix yang membimbing, aku bisa menyalurkan api ini menjadi kekuatan yang benar."

Sementara itu, dalam keheningan yang mengiringi diskusi mereka, suara angin malam berdesir mengusik jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma lembut tanah basah dan dedaunan. Di luar, cahaya rembulan memantul dari atap-atap rumah batu, dan bayang-bayang pepohonan menari perlahan mengikuti hembusan angin.

Ryu berdiri, mengambil peta yang telah dilipat dan menyebarkannya kembali di atas meja. Ia menunjuk pada beberapa titik penting, "Kita akan membagi tugas. Aku dan Ezio akan menyusup ke dalam istana melalui lorong rahasia yang Kito berikan. Mira, kau akan mengatur kontak di sisi luar untuk memastikan logistik dan komunikasi tetap lancar."

Mira menatap peta lalu mengangguk, "Aku juga akan menjaga agar informasi tidak bocor. Kita tidak boleh lengah—pengkhianatan bisa datang kapan saja dari pihak yang paling tak terduga."

Ezio membenarkan rencana itu dengan suara tegas. "Hal ini harus dilakukan dengan rapi. Tidak ada ruang untuk kesalahan."

Ketiganya sadar bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah sekadar perlawanan fisik, melainkan peperangan pikiran serta strategi yang rumit. Setiap gerakan harus diperhitungkan dengan cermat agar api yang mereka nyalakan tidak menjadi bara yang membakar mereka sendiri.

Setelah beberapa saat, ketiganya berdiri, mempersiapkan diri untuk malam yang bisa jadi merupakan malam terberat dalam hidup mereka. Ezio mengepalkan tangan, memosisikan dirinya sebagai pemegang harapan kegelapan yang meredup selama bertahun-tahun di Bastion.

"Saat kita berjalan ke dalam bayang-bayang, jangan lupakan apa yang membuat kita berbeda. Kita bukan hanya pejuang berpedang dan sihir. Kita pembawa harapan, api yang menuntun di tengah kegelapan yang mencekam," ucap Ezio dengan pandangan yang menyala api kepercayaan diri.

Ryu tersenyum penuh dukungan. "Persatuan adalah kekuatan kita. Di sini kita mulai menulis sejarah baru — sejarah perlawanan terhadap tirani dan kebohongan."

Mira menambahkan, "Jika kita bisa menjaga hati dan pikiran tetap jernih, tidak ada bayang-bayang yang terlalu gelap untuk kita terangi. Kita akan menjadi cahaya bagi mereka yang terlupakan."

Di luar rumah tua itu, lampu jalan mulai redup menyiarkan bayang-bayang panjang para pejalan malam, sementara suara langit malam yang senyap menjadi saksi keheningan yang pecah oleh ketegangan.

Mata-mata kaisar masih berkeliaran, dengan niat gelap mengintai setiap gerakan dan kata yang terucap. Namun api kecil yang dibawa Ezio dan sahabatnya mulai menjalar diam-diam, memanaskan hati para penindas dan mengusik kekuasaan yang rapuh.

Ezio menatap langit yang diselimuti awan tipis, membiarkan namanya bergema dalam bisikan surya yang hanya didengar oleh Phoenix dan jiwanya sendiri.

"Ini janji terakhirku sebelum fajar menyingsing. Aku akan menjaga api ini tetap hidup, bukan hanya untuk membalas luka lama, tapi untuk menciptakan dunia baru yang adil dan penuh harapan."

Suara Phoenix bergema lembut namun tegas di dalam hatinya, "Api sejati adalah cahaya abadi, Ezio. Jangan biarkan gelap membisumu."

Di bawah langit malam yang luas, mereka bertiga bersiap menghadapi pertempuran nyata yang akan mengukir nasib Bastion, dan sekaligus masa depan seorang pemuda yang membawa nyala harapan telah lama pudar.

Malam itu menjadi saksi berdirinya aliansi yang tidak hanya berniat memadamkan kebatilan, tapi juga membangun kembali cahaya yang hampir padam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KSATRIA API PHOENIX   Bab 8: Bayangan Masa Lalu — Pertarungan Emosi dan Pengkhianatan Tersembunyi

    Di balik bayang-bayang lorong istana yang gelap, kilatan pedang dan semburat api menyala-nyala membelah kesunyian. Angin dingin malam menyelinap melewati celah-celah batu, membawa aroma pengkhianatan yang sudah lama tersembunyi. Dalam sorot api merah membara, sosok yang selama ini menjadi bayangan dalam ingatan Ezio akhirnya muncul nyata. Perlahan, ia melepas tudung yang menutupi kepalanya—wajah itu terpampang jelas, mematahkan ketenangan malam dan membakar kenangan lama yang bersembunyi dalam dada Ezio.“Aku… tidak pernah pergi, Ezio,” suara itu pecah dengan deru yang sarat luka dan kerinduan, bergema seperti alunan api yang belum padam.Detak jantung Ezio tercekat, dadanya memburu bukan hanya karena bahaya yang belum selesai, tapi juga karena perasaan yang bertolak belakang mengaduk-aduk batinnya. Wajah itu bukan hanya sekadar musuh atau sekutu; ia adalah masa lalu yang pernah ia cintai sekaligus derita yang belum terobati. Senyum yang pernah terpancar kini sirna, digantikan bayang-

  • KSATRIA API PHOENIX   Bab 7: Pertempuran Bayangan — Ujian Keberanian dan Kepercayaan

    Gelapnya malam Bastion terasa semakin pekat saat Ezio, Ryu, dan Mira melangkah pelan menyusuri lorong-lorong rahasia di bawah kota. Udara lembap merayap masuk ke dalam pakaian mereka, bedebar rasanya di dada ketika mendengar setiap gemerisik kecil, desiran angin yang menembus celah-celah batu, dan detak jantung yang berdentum di telinga.Ezio mengatur napas. Setiap langkah dirayapinya dengan hati-hati, meyakinkan seluruh indra tetap waspada. Di salah satu sudut gelap, ia mengambil waktu sejenak untuk menenangkan pikiran. Bayangan Phoenix bersinar samar dalam pikirannya — makhluk api yang menjadi pelindung rohnya. “Api ini bukan hanya kekuatan atau balas dendam,” bisik Phoenix dalam batinnya, “tapi cahaya yang harus menerangi yang gelap dan beku.”Ryu mendekat, matanya menyaring setiap sudut lorong yang mereka lalui, terus waspada pada kemungkinan pengintai atau jebakan. “Setiap langkah kita harus senyap. Musuh paling berbahaya di dalam istana bukan cuma pedang tajam, tapi juga dengki

  • KSATRIA API PHOENIX   Bab 6: Mengungkap Kebenaran — Bayangan Istana dan Sengketa Dalam Diri

    Kabut pagi yang menutupi Kota Bastion semakin menebal ketika Ezio, Ryu, dan Mira melangkah pelan menyusuri lorong-lorong sempit distrik pedagang. Bau rempah, asap tembakau, dan aroma makanan campur jadi satu membaur menjadi latar belakang yang memekakkan indera. Namun bagi Ezio, setiap aroma, suara, dan gerak-gerik orang-orang di sekitar adalah petunjuk rahasia—jejak langkah yang mengarah ke jaringan informasi bawah tanah. Mira berjalan di depan, matanya tetap waspada, membaca wajah dan gerak-gerik warga yang berlalu-lalang. Ia menghindari kontak mata yang berlebihan, tahu betul bahwa di tempat seperti ini setiap orang bisa menjadi mata atau telinga bagi kaisar atau pemberontak. "Kalau kita tidak berhati-hati, satu kata salah bisa berujung pada kematian," ujar Mira pelan, suaranya nyaris hanya angin yang bergesekan dengan reruntuhan tembok tua. Dalam keheningan itu, mereka tiba di sebuah gerbang besi karatan yang tersembunyi di ujung pasar gelap. Kito, pria yang mereka temui sebelum

  • KSATRIA API PHOENIX   Bab 5: Jejak ke Kota Bastion — Awal Persaudaraan

    Kabut pagi menyelimuti lembah dengan lembut, membalut pepohonan dan bebatuan dalam selimut putih yang pekat. Langkah Ezio dan Ryu terhenti sesaat di puncak bukit kecil, mengamati hamparan lembah yang terbentang di bawah mereka. Dari kejauhan, puncak-puncak Gunung Bastion menjulang tinggi, membatasi cakrawala dengan bayangan megah yang menantang. Udara dingin menusuk kulit, menyibak jubah dan kerudung yang menutupi tubuh mereka. Namun, di dalam dada Ezio, api kecil dari Phoenix berdenyut kian kuat, memberikan kehangatan yang tak tergantikan oleh apapun. Ia menghela nafas panjang, merasakan ketegangan bercampur dengan harapan mulai mengisi hati mudanya. Ryu menepuk pundak Ezio, mengalihkan lamunannya. “Lembah ini adalah benteng terakhir sebelum kita menyentuh tembok bastion, Ezio. Di sanalah pertempuran sesungguhnya dimulai — bukan hanya melawan musuh luar, tapi juga melawan keraguan dan ketakutan dalam diri kita sendiri.” Ezio mengangguk pelan, menatap jauh ke depan. Ia sadar, melewa

  • KSATRIA API PHOENIX   Bab 4: Awal Balas Dendam — Menginjak Dunia Baru

    Pagi itu, embun masih menyelimuti dedaunan dan rumput liar di sepanjang jalan setapak. Cahaya matahari perlahan menembus celah-celah pepohonan, menciptakan pola bercahaya di tanah yang berhiaskan jejak kaki Ezio. Setiap langkahnya terasa berat sekaligus penuh harapan. Di balik tatapan matanya yang bertabur kilauan api, tersembunyi pergulatan batin antara kerinduan akan masa lalu dan tekad menatap masa depan yang penuh tantangan. Desa kecil tempatnya dilahirkan kini tinggal kenangan hangat yang membekas dalam hati, tapi dunia yang lebih luas menganga lebar, penuh misteri dan bahaya tak terduga. Sendirian di tengah hutan luas yang belum pernah ia jelajahi tanpa pendamping, Ezio belajar mengandalkan indera tajam dan perasaan yang mulai terbuka terhadap kekuatan spiritual di dalam dirinya. Setiap hembusan angin membawa bisikan yang tak kasat mata, memanggilnya untuk waspada, untuk melangkah dengan hati-hati. Burung-burung yang bernyanyi di atas kepakan sayapnya seolah memberikan semangat

  • KSATRIA API PHOENIX   Bab 3: Masa Kecil Ezio — Menumbuhkan Api Dalam Diri

    Ezio mulai merasakan kekuatan dalam dirinya semakin kuat selama beberapa bulan setelah kelahirannya. Di siang yang cerah, saat ia bermain di ladang bersama anak-anak desa, tanpa sengaja ia membuat sebuah cahaya merah kecil terbang dari ujung jarinya. Anak-anak lain menatapnya dengan heran dan sedikit takut. Ezio sendiri merasa campuran antara kagum dan takut akan apa yang baru saja terjadi. Ia belum sepenuhnya mengerti dari mana kekuatan itu datang. Ketika ia mencoba untuk mengulanginya, percikan api itu muncul kembali, namun kali ini lebih kecil dan cepat padam. Orang tuanya mulai memperhatikan hal-hal aneh pada diri Ezio. Ia mampu menyembuhkan luka kecil pada tubuhnya dan binatang-binatang yang terluka di sekitar desa. Beberapa penduduk desa mulai memperbincangkan tentang keberadaan "anak api" ini—yang membawa tanda keberuntungan sekaligus bahaya. Ezio pun mulai mendapatkan pelajaran dari Master Kalen mengenai tanggung jawab kekuatan. Ia memahami bahwa memiliki kekuatan bukan hany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status