Ezio mulai merasakan kekuatan dalam dirinya semakin kuat selama beberapa bulan setelah kelahirannya. Di siang yang cerah, saat ia bermain di ladang bersama anak-anak desa, tanpa sengaja ia membuat sebuah cahaya merah kecil terbang dari ujung jarinya. Anak-anak lain menatapnya dengan heran dan sedikit takut.
Ezio sendiri merasa campuran antara kagum dan takut akan apa yang baru saja terjadi. Ia belum sepenuhnya mengerti dari mana kekuatan itu datang. Ketika ia mencoba untuk mengulanginya, percikan api itu muncul kembali, namun kali ini lebih kecil dan cepat padam. Orang tuanya mulai memperhatikan hal-hal aneh pada diri Ezio. Ia mampu menyembuhkan luka kecil pada tubuhnya dan binatang-binatang yang terluka di sekitar desa. Beberapa penduduk desa mulai memperbincangkan tentang keberadaan "anak api" ini—yang membawa tanda keberuntungan sekaligus bahaya. Ezio pun mulai mendapatkan pelajaran dari Master Kalen mengenai tanggung jawab kekuatan. Ia memahami bahwa memiliki kekuatan bukan hanya tentang bisa membakar atau menyembuhkan, tapi juga tentang menjaga keseimbangan dan menghormati kehidupan. Suatu sore yang berangin, Ezio duduk di bawah pohon besar di tepi ladang. Ia menatap tangannya yang berkilauan samar ketika terkena sinar matahari senja. Pikiran Ezio melayang pada semua hal yang ia lihat dan rasakan selama ini. Ia bertanya-tanya, "Untuk apa semua kekuatan ini? Apakah aku layak memilikinya?" Desa kecil itu damai, tapi di dalam hati Ezio, ada gelombang ketidakpastian dan desakan yang tidak bisa ia jelaskan. Ketika ia memejamkan mata, bayangan kobaran api kecil terbentuk dan mengembang dalam kepalanya, seperti bisikan dari masa lalu yang mencoba menyampaikan pesan. "Kelak, kau akan menjadi lebih dari sekadar anak desa biasa," suara halus bergema dalam pikirannya, membangkitkan rasa ingin tahu sekaligus ketegangan. Masih kecil dan polos, Ezio terkadang merasa terlalu berat membawa rahasia besar ini. Namun ia tahu, ada sesuatu yang harus dilakukan. Api yang mulai menyala di dadanya, perlahan menjadi nyala yang harus ia jaga dan arahkan dengan bijak. Seiring waktu, ia mulai memahami bahwa kekuatan bukan hanya milik dirinya sendiri. Ia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Api miliknya adalah warisan, namun juga tanggung jawab. Tanggung jawab yang tidak bisa ia hindari, meskipun terkadang ia menginginkannya. Sementara itu, di balik hutan dan bukit di sekeliling desa, bayangan-bayangan mulai bergerak. Sekelompok orang berkumpul dengan tatapan waspada dan penuh maksud, mengawasi desa tempat Ezio tinggal. “Kekuatan itu terlalu besar untuk anak seumurannya,” kata seorang pria bertubuh kekar kepada rekannya, “Kita harus diam-diam mengawasinya. Jika sampai tahu kaisar, bisa jadi bencana.” Kehadiran ancaman begini membuat dunia Ezio semakin kompleks, tanpa ia sadari. Ia tidak hanya berhadapan dengan tanggung jawab besar kekuatan, tapi juga akan menemukan tantangan dari manusia yang takut akan perubahan. ________ Ketika Ezra mengasah kemampuannya, kepopuleran kecil itu menarik perhatian pihak lain. Sekelompok preman desa yang dipimpin oleh pria bernama Rokan mulai merasakan ancaman atas kekuatan Ezio. Mereka takut bahwa Ezio kelak akan menimbulkan perubahan yang mengancam posisi mereka di desa dan menentang aturan tidak tertulis yang selama ini mereka pegang teguh. Rokan adalah sosok yang besar dan kasar, dengan wajah penuh bekas luka dari berbagai perkelahian. Ia memimpin geng liar yang memeras penduduk desa, memungut pajak secara paksa, dan memperbudak mereka yang tak berdaya. Bagi Rokan, Ezio adalah batu sandungan yang berbahaya, anak dengan kekuatan yang tak bisa mereka kendalikan. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk memperingatkan Ezio — atau menghancurkannya jika perlu. Suatu sore saat Ezio baru selesai berlatih dengan Master Kalen, ia pulang melewati jalan setapak yang membelah hutan menuju desanya. Jalan itu sunyi dan sepi, angin menggerakkan dedaunan seperti bisikan rahasia. Namun tiba-tiba, dari balik semak-semak, tawa kasar dan suara kaki berjalan cepat terdengar. “Eh, lihat siapa yang kembali,” suara Rokan mengejek sambil berjalan mendekat bersama lima anak buahnya yang penuh dengan tatapan sinis dan senjata seadanya seperti tongkat dan pisaunya yang kusam. Ezio berhenti dan memandang mereka dengan tenang. “Apa yang kalian inginkan?” Rokan mengangkat alisnya dan tersenyum sinis. “Kami hanya ingin menyambut pahlawan kecil desa ini. Katakan saja, mau beritahu kami trik barumu itu?” Ia melangkah mendekat, menyentuh bahu Ezio dengan kasar. Ezio bisa merasakan darahnya mendidih, tapi ia juga sadar bahwa meneruskan pertengkapan bisa membuat semuanya jadi lebih buruk. Ia menarik napas dalam-dalam dan berkata dengan suara penuh kendali, “Saya tidak ingin bertengkar. Aku hanya ingin hidup damai seperti semua orang di desa ini.” “Damai?” Rokan tertawa mengejek. “Tidak untuk orang seperti kau! Kau terlalu berbeda, dan itu membuat kami takut. Jadi, lebih baik kau berpikir baik-baik sebelum main-main dengan api, bocah.” Salah satu dari anak buah Rokan mengangkat tongkat dan mengarahkannya ke Ezio. Ekspresi Ezio berubah serius. Ia tahu ia harus bertindak, tetapi bukan dengan kekerasan yang membabi buta. “Tenang,” kata Ezio, suaranya dalam dan mantap. Ia mengangkat tangan pelan-pelan, dan dari ujung jarinya muncul percikan api kecil yang lembut, menari-nari di udara seperti kupu-kupu merah kecil. Percikan itu membakar tongkat yang diarahkan padanya hingga hangus, membuat seluruh anak buah Rokan terkejut mundur selangkah. Api itu tidak besar dan ganas, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa Ezio bukan lawan yang mudah. Rokan mengerutkan dahi. “Ini bukan peringatan terakhir, bocah. Jangan kira kau bisa mengintimidasi kami dengan trik sulap murahan.” Mengangkat tongkat lain, ia bersiap memerintahkan serangan, tapi di saat itu, suara langkah cepat terdengar dari balik pepohonan. Master Kalen muncul, wajahnya serius dan mata penuh teguran. “Hentikan,” suaranya tegas seperti guntur di langit. Semua yang ada di sana terdiam, menurunkan senjata mereka. Kalen melangkah maju. “Aku tahu siapa kau, Rokan. Kau seharusnya menjaga desa, bukan malah menjadi terror bagi penduduknya. Dan kalian, siapa pun yang tinggal di sini, harus tahu: kekuatan Ezio bukan untuk diperolok-olok, tapi sebuah amanah untuk dijaga dan dilindungi.” Rokan memandang Kalen dengan tatapan penuh kebencian. “Kami tidak takut pada cerita-cerita mistismu, Guru. Tapi kami tahu siapa kaki tangan kaisar adalah. Jika kau biarkan bocah ini semakin kuat, ini akan mengundang kemarahan yang lebih besar.” Master Kalen membalas dengan suara yang dalam dan tenang. “Kekuatan sejati bukan untuk menghancurkan, tapi untuk melindungi. Dan siapa pun yang hendak menggunakan kekerasan akan menghadapi akibatnya.” Rokan dan anak buahnya menggeram kesal tapi memilih mundur agar tidak terlibat konflik langsung dengan guru spiritual yang disegani itu. Saat mereka pergi, Ezio menatap lurus ke arah guru spiritualnya. “Apa yang harus aku lakukan jika mereka datang lagi?” tanya Ezio, nada suaranya mencerminkan kebingungan dan sedikit ketakutan. Master Kalen menarik napas panjang, lalu menepuk bahu Ezio dengan lembut. “Kau harus belajar mengendalikan kekuatan, dan yang terpenting, mengendalikan diri. Kekerasan mudah terjadi jika kau membiarkan amarah menguasai. Tapi kekuatan besar akan datang pada mereka yang kuat di dalam hati.” Ezio mengangguk perlahan, merasa lega namun juga sadar bahwa jalan di depan semakin berbahaya. Hari-hari berikutnya, ketegangan di desa mulai terasa meningkat. Penduduk yang dulu hanya mengamati dari kejauhan mulai bersikap waspada. Tetapi di dalam diri Ezio, ada tekad yang semakin kuat untuk tidak hanya melindungi dirinya dan keluarganya — tapi juga membawa perubahan agar desa dan tanah Moonlight bebas dari ketakutan dan penindasan. Malam itu sebelum tidur, Ezio memandang ke langit yang dipenuhi bintang. Api kecil di dadanya berkobar hangat, menyala penuh harapan dan janji bahwa suatu hari, ia akan mengubah dunia. _________ Hari-hari sehabis insiden bersama Rokan berjalan dengan waspada. Tak hanya Ezio yang mulai berhati-hati, Master Kalen pun memperketat jadwal latihan. Ia percaya, ancaman bukan hanya dari preman desa, namun dari kekuatan lebih besar yang terdorong rasa takut pada hal luar biasa—apalagi jika sang bocah benar-benar mampu mengendalikan api. Setiap pagi sebelum matahari naik tinggi, Ezio diajak bermeditasi di tepi sungai. Gelombang air tenang menjadi saksi keheningan mereka. Di sanalah Kalen memulai pelajaran terpenting, yaitu mengendalikan napas dan emosi sebelum menyentuh kekuatan roh api di dalam tubuh. "Bayangkan api bukan sebagai musuh, tapi sebagai kawan," ujar Kalen lembut. "Dalam diammu, kenali ia. Rasakan nadinya mengalir. Kekuatan yang melukai adalah kekuatan yang tak terkendali, tapi kekuatan yang menenteramkan adalah kekuatan yang bersatu dengan niatmu." Ezio menutup mata, menarik napas pelan. Dalam gelap, ia merasakan pusaran hangat di dadanya. Kadang kuat, kadang samar. Di momen lain, wujud Phoenix—burung berapi agung itu—terbayang, mengepakkan sayap di balik matanya yang terpejam. Dalam keadaan meditasi, Ezio melihat bayangan Phoenix semakin jelas. "Siapa kau?" bisiknya dalam hati. Phoenix menatap dengan mata nyala yang menghangatkan. "Aku adalah penjaga jiwamu, pelindung warisanmu, dan api harapanmu. Kau adalah Agra Diaz yang baru; kau adalah Ezio Osborn. Setiap kekuatanmu adalah duka dan harapan masa lalu, digenggam untuk membangun masa depan," bisik Phoenix tegas dalam batin. Ezio terhenyak, tubuhnya serasa diselimuti api hangat yang bukan membakar, melainkan mendekap dan menguatkan. Ia membuka matanya, peluh menetes di pelipisnya. Namun ada kesadaran yang lebih dalam—ia tidak pernah sendiri. Pelatihan berikutnya adalah mengendalikan api kecil yang ia ciptakan di telapak tangan. Kalen meminta Ezio menyalakan api tanpa membakar daun-daun yang ia pegang. Butuh waktu lama hingga ia benar-benar mampu mengendalikan panas itu, menyesuaikan suhu dan bentuk api sesuai kehendak hatinya. Dalam perjalanan pulang, Ezio semakin paham ketakutan terbesar manusia bukanlah pada api, melainkan pada sesuatu yang tidak mereka pahami. Dan kekuatan Phoenix yang kini bersemayam dalam dirinya, berulang kali mengingatkannya bahwa tugas besarnya baru saja dimulai. Namun, pelatihan batin juga membawa beban. Malam-malam Ezio kerap diisi mimpi buruk tentang tubuh-tubuh terbakar, suara pengkhianatan, dan wajah kaisar yang menertawakannya. Bayangan Agra Diaz dalam dirinya terus-menerus menuntut balas sambil menjerit keadilan yang belum tuntas. Suatu malam, selepas latihan, Ezio mengadu pada gurunya, "Apakah aku benar-benar mampu mengendalikan diriku sendiri? Jika aku dikuasai amarah, bukankah aku hanya akan menjadi monster bagi desa ini?" Master Kalen tersenyum menenangkan. "Masa depan memang penuh misteri, Ezio. Tapi selama kau terus bertanya dan mencari kebaikan, kau tidak akan tersesat dalam api." Percakapan itu mendorong Ezio meneguhkan tekadnya: kekuatan yang diberikan Phoenix harus digunakan untuk melindungi, bukan membalas dendam membabi buta. Namun di sisi lain desa, kabar akan bocah pemilik api sudah mulai terdengar hingga ke telinga orang asing—seorang pembawa pesan dari istana. Masih belum Ezio sadari, nasibnya perlahan-lahan menarik perhatian mereka yang jauh lebih berbahaya daripada Rokan ataupun preman desa. ____________ Kegelapan malam menyelimuti desa kecil di lereng gunung Moonlight. Angin dingin berhembus perlahan, menyapu dedaunan dan membelai permukaan sungai yang berkilauan di bawah sinar rembulan. Di sebuah ruang kecil penuh kayu dan lentera yang redup, Ezio duduk bersila, tubuhnya tegak, dan matanya menatap kosong ke depan. Hari itu telah menjadi perjalanan panjang. Setelah latihan batin yang melelahkan bersama Master Kalen, Ezio merasakan energi yang tak biasa mengalir di seluruh tubuhnya. Keringat membasahi keningnya, tapi hatinya lebih bergolak dari sebelumnya. Berbagai pertanyaan dan keraguan bercampur menjadi satu dalam benaknya. Ia tahu dirinya bukan lagi anak bebas yang bisa bermain tanpa beban. Ia adalah putra api yang membawa warisan sebuah dunia yang penuh pengkhianatan dan keadilan yang belum tercapai. Sambil memejamkan mata, Ezio membayangkan nyala api yang pernah ia kendalikan dalam masa pelatihan. Api itu bukan hanya panas dan cahaya. Itu adalah simbol pengorbanan, kekuatan, dan kebangkitan. Kilas balik membawa Ezio pada momen di mana tubuh Agra Diaz, sang panglima yang legendaris, terbakar dalam pengkhianatan. Bayangan itu membekas dalam pikirannya, menimbulkan rindu dan amarah yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Namun, di balik semua itu, ada suara lembut yang membimbingnya — suara Phoenix. Dalam meditasi malam itu, ia mendengar dengan jelas bisikan api: “Ezio, ingatlah janji ini. Api yang membakar tidak harus menghancurkan. Api yang kuhantarkan adalah harapan baru, alat untuk membangun kembali dunia yang telah kau tinggalkan. Jagalah apimu, jaga hatimu, dan bersiaplah menghadapi badai yang akan datang.” Seketika, kehangatan menyebar dari dada Ezio ke seluruh tubuhnya. Ia merasakan sebuah ikatan, bukan hanya dengan kekuatan yang diberikan Phoenix, tetapi juga dengan masa lalunya sebagai Agra Diaz. Ia tahu, perjalanan hidupnya tidak akan mudah. Dunia luar penuh intrik, pengkhianatan, dan bahaya yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan di desa kecil ini. Keesokan paginya, ketika langit berwarna jingga dan burung-burung mulai bernyanyi, Ezio mengucapkan janji pada dirinya sendiri dan pada api abadi di hatinya. Ia berdiri di depan cermin kecil yang tergantung di dinding rumahnya. Matanya yang berkilau berasap seolah-olah menyimpan rahasia besar. “Ezio Osborn,” ucapnya dengan suara mantap. “Aku adalah api yang tak akan pernah padam. Aku adalah warisan Agra Diaz. Aku berjanji akan belajar mengendalikan kekuatanku, melindungi yang lemah, dan menuntut keadilan bagi mereka yang tidak bisa membela diri. Aku tidak akan membiarkan api dalam diriku menjadi sumber kehancuran, tapi jadi pelita yang menuntunku dalam kegelapan.” Janji itu bukan hanya sekadar kata-kata. Itu adalah sumpah yang mengikat seluruh jiwa dan raga Ezio. Hari-hari berlalu, dan Ezio memulai persiapan untuk meninggalkan desa guna memulai petualangan barunya. Master Kalen memberinya beberapa petuah terakhir: “Dunia luar tidaklah seaman desa ini. Kau akan bertemu dengan banyak orang, beberapa akan menjadi teman, lainnya musuh. Jangan mudah percaya, tapi juga jangan cepat menolak pertolongan.” Ezio juga diberi beberapa benda kecil—sebuah kalung pendeteksi kekuatan spiritual, sebuah kitab kecil berisi doa dan latihan pernapasan, dan sebilah pisau kecil yang pernah dipakai Agra. Ia merasa berat hati meninggalkan rumah dan keluarganya, tetapi tahu bahwa ini adalah jalan yang harus ia tempuh. “Ini bukan akhir, melainkan awal,” kata Master Kalen saat mereka berpisah di tepi desa. “Jadilah api yang memberi kehangatan, bukan bara yang membakar tanpa arah.” Dalam perjalanan keluar dari desa, Ezio menyempatkan diri menatap ke belakang. Bayangan gunung Moonlight yang menjulang, hutan yang rimbun, dan desa kecil yang ia sebut rumah kini semakin kecil dan jauh di belakangnya. Hatinya bergetar antara rindu dan tekad. Ia melangkah maju dengan api yang berkobar di dalam dada, membawa segala harapan, rasa sakit, dan kekuatan masa lalu. Langkah Ezio menandai babak baru yang akan menghiasi sejarah tanah Moonlight. Pada malam pertama dalam perjalanan itu, saat ia beristirahat di bawah langit terbuka, Ezio menyentuh kalung kecil di lehernya. Api kecil berkedip kuat dalam bola matanya yang aneh. “Ini baru permulaan,” bisiknya.Terima kasih sudah membaca novel ini. Mohon dukungannya agar Ezio masih tetap bisa berjuang.
Di balik bayang-bayang lorong istana yang gelap, kilatan pedang dan semburat api menyala-nyala membelah kesunyian. Angin dingin malam menyelinap melewati celah-celah batu, membawa aroma pengkhianatan yang sudah lama tersembunyi. Dalam sorot api merah membara, sosok yang selama ini menjadi bayangan dalam ingatan Ezio akhirnya muncul nyata. Perlahan, ia melepas tudung yang menutupi kepalanya—wajah itu terpampang jelas, mematahkan ketenangan malam dan membakar kenangan lama yang bersembunyi dalam dada Ezio.“Aku… tidak pernah pergi, Ezio,” suara itu pecah dengan deru yang sarat luka dan kerinduan, bergema seperti alunan api yang belum padam.Detak jantung Ezio tercekat, dadanya memburu bukan hanya karena bahaya yang belum selesai, tapi juga karena perasaan yang bertolak belakang mengaduk-aduk batinnya. Wajah itu bukan hanya sekadar musuh atau sekutu; ia adalah masa lalu yang pernah ia cintai sekaligus derita yang belum terobati. Senyum yang pernah terpancar kini sirna, digantikan bayang-
Gelapnya malam Bastion terasa semakin pekat saat Ezio, Ryu, dan Mira melangkah pelan menyusuri lorong-lorong rahasia di bawah kota. Udara lembap merayap masuk ke dalam pakaian mereka, bedebar rasanya di dada ketika mendengar setiap gemerisik kecil, desiran angin yang menembus celah-celah batu, dan detak jantung yang berdentum di telinga.Ezio mengatur napas. Setiap langkah dirayapinya dengan hati-hati, meyakinkan seluruh indra tetap waspada. Di salah satu sudut gelap, ia mengambil waktu sejenak untuk menenangkan pikiran. Bayangan Phoenix bersinar samar dalam pikirannya — makhluk api yang menjadi pelindung rohnya. “Api ini bukan hanya kekuatan atau balas dendam,” bisik Phoenix dalam batinnya, “tapi cahaya yang harus menerangi yang gelap dan beku.”Ryu mendekat, matanya menyaring setiap sudut lorong yang mereka lalui, terus waspada pada kemungkinan pengintai atau jebakan. “Setiap langkah kita harus senyap. Musuh paling berbahaya di dalam istana bukan cuma pedang tajam, tapi juga dengki
Kabut pagi yang menutupi Kota Bastion semakin menebal ketika Ezio, Ryu, dan Mira melangkah pelan menyusuri lorong-lorong sempit distrik pedagang. Bau rempah, asap tembakau, dan aroma makanan campur jadi satu membaur menjadi latar belakang yang memekakkan indera. Namun bagi Ezio, setiap aroma, suara, dan gerak-gerik orang-orang di sekitar adalah petunjuk rahasia—jejak langkah yang mengarah ke jaringan informasi bawah tanah. Mira berjalan di depan, matanya tetap waspada, membaca wajah dan gerak-gerik warga yang berlalu-lalang. Ia menghindari kontak mata yang berlebihan, tahu betul bahwa di tempat seperti ini setiap orang bisa menjadi mata atau telinga bagi kaisar atau pemberontak. "Kalau kita tidak berhati-hati, satu kata salah bisa berujung pada kematian," ujar Mira pelan, suaranya nyaris hanya angin yang bergesekan dengan reruntuhan tembok tua. Dalam keheningan itu, mereka tiba di sebuah gerbang besi karatan yang tersembunyi di ujung pasar gelap. Kito, pria yang mereka temui sebelum
Kabut pagi menyelimuti lembah dengan lembut, membalut pepohonan dan bebatuan dalam selimut putih yang pekat. Langkah Ezio dan Ryu terhenti sesaat di puncak bukit kecil, mengamati hamparan lembah yang terbentang di bawah mereka. Dari kejauhan, puncak-puncak Gunung Bastion menjulang tinggi, membatasi cakrawala dengan bayangan megah yang menantang. Udara dingin menusuk kulit, menyibak jubah dan kerudung yang menutupi tubuh mereka. Namun, di dalam dada Ezio, api kecil dari Phoenix berdenyut kian kuat, memberikan kehangatan yang tak tergantikan oleh apapun. Ia menghela nafas panjang, merasakan ketegangan bercampur dengan harapan mulai mengisi hati mudanya. Ryu menepuk pundak Ezio, mengalihkan lamunannya. “Lembah ini adalah benteng terakhir sebelum kita menyentuh tembok bastion, Ezio. Di sanalah pertempuran sesungguhnya dimulai — bukan hanya melawan musuh luar, tapi juga melawan keraguan dan ketakutan dalam diri kita sendiri.” Ezio mengangguk pelan, menatap jauh ke depan. Ia sadar, melewa
Pagi itu, embun masih menyelimuti dedaunan dan rumput liar di sepanjang jalan setapak. Cahaya matahari perlahan menembus celah-celah pepohonan, menciptakan pola bercahaya di tanah yang berhiaskan jejak kaki Ezio. Setiap langkahnya terasa berat sekaligus penuh harapan. Di balik tatapan matanya yang bertabur kilauan api, tersembunyi pergulatan batin antara kerinduan akan masa lalu dan tekad menatap masa depan yang penuh tantangan. Desa kecil tempatnya dilahirkan kini tinggal kenangan hangat yang membekas dalam hati, tapi dunia yang lebih luas menganga lebar, penuh misteri dan bahaya tak terduga. Sendirian di tengah hutan luas yang belum pernah ia jelajahi tanpa pendamping, Ezio belajar mengandalkan indera tajam dan perasaan yang mulai terbuka terhadap kekuatan spiritual di dalam dirinya. Setiap hembusan angin membawa bisikan yang tak kasat mata, memanggilnya untuk waspada, untuk melangkah dengan hati-hati. Burung-burung yang bernyanyi di atas kepakan sayapnya seolah memberikan semangat
Ezio mulai merasakan kekuatan dalam dirinya semakin kuat selama beberapa bulan setelah kelahirannya. Di siang yang cerah, saat ia bermain di ladang bersama anak-anak desa, tanpa sengaja ia membuat sebuah cahaya merah kecil terbang dari ujung jarinya. Anak-anak lain menatapnya dengan heran dan sedikit takut. Ezio sendiri merasa campuran antara kagum dan takut akan apa yang baru saja terjadi. Ia belum sepenuhnya mengerti dari mana kekuatan itu datang. Ketika ia mencoba untuk mengulanginya, percikan api itu muncul kembali, namun kali ini lebih kecil dan cepat padam. Orang tuanya mulai memperhatikan hal-hal aneh pada diri Ezio. Ia mampu menyembuhkan luka kecil pada tubuhnya dan binatang-binatang yang terluka di sekitar desa. Beberapa penduduk desa mulai memperbincangkan tentang keberadaan "anak api" ini—yang membawa tanda keberuntungan sekaligus bahaya. Ezio pun mulai mendapatkan pelajaran dari Master Kalen mengenai tanggung jawab kekuatan. Ia memahami bahwa memiliki kekuatan bukan hany