Pagi itu, embun masih menyelimuti dedaunan dan rumput liar di sepanjang jalan setapak. Cahaya matahari perlahan menembus celah-celah pepohonan, menciptakan pola bercahaya di tanah yang berhiaskan jejak kaki Ezio. Setiap langkahnya terasa berat sekaligus penuh harapan. Di balik tatapan matanya yang bertabur kilauan api, tersembunyi pergulatan batin antara kerinduan akan masa lalu dan tekad menatap masa depan yang penuh tantangan.
Desa kecil tempatnya dilahirkan kini tinggal kenangan hangat yang membekas dalam hati, tapi dunia yang lebih luas menganga lebar, penuh misteri dan bahaya tak terduga. Sendirian di tengah hutan luas yang belum pernah ia jelajahi tanpa pendamping, Ezio belajar mengandalkan indera tajam dan perasaan yang mulai terbuka terhadap kekuatan spiritual di dalam dirinya. Setiap hembusan angin membawa bisikan yang tak kasat mata, memanggilnya untuk waspada, untuk melangkah dengan hati-hati. Burung-burung yang bernyanyi di atas kepakan sayapnya seolah memberikan semangat, namun bayangan pengintai yang tersembunyi di balik pepohonan mengingatkan bahwa ancaman sudah mengintai lebih dekat dari yang ia duga. Meski demikian, di dalam dadanya, api kecil yang diberikan Phoenix menyala dengan kehangatan yang membara, menjadi pelita dalam kegelapan malam yang menyelimuti dunia luas. Ezio tahu, perjalanan yang ia tempuh bukan hanya tentang mencari keadilan bagi dirinya sendiri, tapi juga membawa perubahan bagi seluruh tanah Moonlight yang pernah dikuasai oleh pengkhianatan dan kecurangan. Dengan napas yang tenang dan hati yang teguh, ia mengangkat kepala menatap langit yang mulai cerah dan melanjutkan langkahnya, berani menghadapi dunia yang menantinya dengan segala liku yang akan membentuk siapa dia sesungguhnya. _______ Keributan di pasar kecil itu tiba-tiba mengundang perhatian Ezio. Suara benturan pedang, teriakan, dan langkah cepat membuat suasana yang tadinya riuh tenang menjadi kacau. Dengan sigap, Ezio melangkah mendekat tanpa rasa ragu. Api kecil yang mulai menyala di ujung jarinya menjadi bayangan cahaya yang menari-nari, siap ia gunakan jika diperlukan. Saat ia tiba di lokasi, seorang pemuda dengan pedang terhunus tengah berhadapan dengan beberapa preman yang ingin merampok dan menyakiti seorang gadis muda. Pemuda itu bertarung dengan gagah berani, namun jumlah musuh lebih banyak dan mereka tampak kejam serta tanpa belas kasihan. Melihat situasi itu, Ezio mengangkat tangan perlahan dan sebuah bola api kecil muncul, menyala dalam keheningan. Ia melemparkan bola api itu ke arah tongkat seorang preman yang hendak menghantam gadis tersebut. Api itu menyambar tongkat dengan kilatan merah menyala hingga kayu itu terbakar dan patah. Kaget oleh serangan tak terduga, para preman itu berseru dan mundur, memberi kesempatan bagi pemuda tersebut untuk menghalau mereka dengan pedangnya. Ezio bergabung perlahan, membantu fokus musuh beralih darinya dan gadis itu. Pertarungan singkat itu akhirnya berhasil membuat para preman mundur dengan kaki yang tergesa-gesa, menyisakan ketegangan namun kemenangan kecil untuk trio tersebut. Setelah semua tenang, pemuda itu menatap Ezio dengan mata penuh rasa hormat. “Terima kasih. Namaku Ryu. Aku berasal dari wilayah sebelah dan terus melawan ketidakadilan di sini. Gadis itu, Hana, hampir jadi korban penculikan.” Ezio menunduk sejenak, kemudian membalas, “Aku Ezio. Aku baru mulai perjalanan dan kekuatan ini masih harus kuasai. Tapi aku percaya, bersama-sama kita bisa membuat perubahan.” Ryu tersenyum, menawarkan tangan persahabatan. “Kau bukan orang biasa, dan apimu bukan sekadar api biasa. Mari kita hadapi dunia ini bersama.” Ezio menerima tangan itu dan merasakan semangat yang sama mengalir dalam dirinya. Di tengah hiruk-pikuk pasar, dua pejuang muda itu kini terikat oleh janji yang sama — membela kebenaran, meskipun jalan di depan penuh dengan bahaya. _____________ Di balik tirai sutra dan megahnya dinding istana, suasana berbalut ketegangan yang samar. Kilauan lilin dan lampu minyak menari di tembok berlapis emas, menerangi wajah-wajah para pembesar yang tengah berkumpul secara rahasia. Sang Kaisar duduk di singgasana tinggi, merenung dalam diam. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, seolah menimbang bayangan bahaya yang mengintai dari luar tembok istana. Laporan demi laporan telah diterimanya – terutama mengenai bocah bermata api yang mulai bergerak di dunia luar. "Kau bilang anak itu telah meninggalkan desa, dan mulai mengumpulkan sekutu?" suara sang kepala pengawal berat dan penuh kewaspadaan. Sang Kaisar mengangguk pelan. "Ezio Osborn. Nama itu sudah lama kuingat. Anak aneh yang membawa kobaran api Phoenix... bukan hanya ancaman bagi istanaku, tapi juga masa lalakku. Ingat, ia adalah reinkarnasi Agra Diaz, musuh lama yang membara dengan dendam." Di antara ruangan yang penuh musyawarah, ada seorang pembesar yang menyembunyikan senyum kecil penuh rencana di balik wajahnya. "Yang Mulia, kami bisa menyiapkan pasukan khusus, mata-mata terbaik, dan jebakan terperinci. Tapi kita juga harus hati-hati. Jika terlalu gegabah, api itu bisa membakar kita semua." Kaisar menatap lurus ke hadapan. "Kita akan padamkan apinya, sebelum ia menjalar dan membakar seluruh kerajaan. Tapi jangan lupakan, anak ini juga sarat misteri dan kekuatan yang lebih besar dari yang kita kira." Di sela-sela perkumpulan formal itu, seorang pembisik misterius mengirimkan pesan rahasia, menandakan bahwa pintu intrik di istana baru saja terbuka. Ada tangan lain yang bergerak, memancing Ezio ke dalam permainan politik berbahaya yang bahkan tidak ia duga. Sang Kaisar tersenyum dingin, menyesuaikan jubahnya, dan berkata pelan, "Semua berpuncak pada satu hal — siapa yang lebih dulu menguasai api ini." _____________ Malam sudah larut ketika api unggun di pinggir jalan setapak menyala dengan lembut, menebarkan kehangatan dan cahaya temaram yang memecah kegelapan hutan. Di sekelilingnya, bayangan pepohonan berdansa mengikuti gerak api yang bergerak menari-nari. Udara dingin terasa menampar kulit, namun di antara kedua pejuang muda itu, rasa sulit diceritakan mengalir dalam gelak tawa kecil, bisik harapan, dan tekad membara. Ezio duduk bersila, menatap nyala api dengan mata yang selalu tampak seperti membawa bara kecil yang tak kunjung padam. Jari-jarinya mengusap kalung kecil yang tergantung di lehernya — pemberian terakhir dari Master Kalen, sebuah jimat yang katanya berfungsi sebagai pengikat energi spiritual dalam dirinya. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara malam masuk ke paru-parunya, menenangkan pikiran yang berputar-putar dalam kegelisahan dan harapan. “Kadang aku merasa beban ini terlalu berat, Ryu,” ucap Ezio dengan suara tenang namun penuh makna. “Tidak hanya kekuatan yang harus kuasai, tapi juga masa lalu yang aku bawa — dan masa depan yang harus kupertaruhkan.” Ryu, dengan ekspresi yang penuh pengertian, mengulurkan tangan, menepuk bahu Ezio dengan hangat. “Kau tidak perlu menjalani semuanya sendiri. Aku pernah kehilangan banyak hal, tapi itu yang membentuk diriku hari ini. Api dalam dirimu akan jadi kekuatan jika kau bisa belajar mengendalikannya. Dan aku akan di sini, berjalan bersamamu.” Ezio tersenyum pelan, merasa dorongan semangat yang tepat menghampiri dirinya di malam gelap yang tenang ini. “Bagiku, api ini bukan cuma kekuatan, tapi juga janji. Janji untuk membela yang lemah, menuntut keadilan, dan membalas pengkhianatan yang terjadi. Aku tidak akan membiarkan api ini menjadi sumber kehancuran, melainkan pelita untuk membimbing yang tersesat.” Ryu menatap langit malam yang pekat, bertabur ribuan bintang kecil yang berkelap-kelip. “Banyak kegelapan yang harus kita lalui. Tapi percayalah, cahaya api dalam dada kita akan jadi lentera untuk melewati kegelapan itu.” Percakapan mereka berdua senyap sejenak, terasa penuh makna dan kedalaman yang jarang ditemukan dalam kebersamaan dua orang muda. Api unggun yang kecil, namun hangat itu seolah menjadi simbol solidaritas yang baru mereka bina — janji yang akan diuji oleh waktu dan cobaan. Beberapa saat kemudian, Ezio mengeluarkan sebilah pisau kecil dari sarungnya. Pisau itu terlihat sederhana, tapi ia tahu bahwa benda itu lebih dari sekadar senjata. Itu adalah warisan Agra Diaz, panglima legendaris yang kini hidup kembali dalam dirinya. “Saatnya aku tidak hanya mempercayai kekuatanku, tapi juga menerima warisan masa lalu ini,” bisiknya pada dirinya sendiri, menggenggam pisau dengan erat. Ryu mengangguk, sembari mengajukan sebuah ide. “Besok kita harus mulai mencari tempat yang aman, tempat kita bisa berlatih dan memperkuat dirimu lebih jauh. Dunia luar bukan hanya penuh peperangan, tapi juga intrik yang licik. Kita perlu berhati-hati.” Ezio mengangguk serius. “Aku mengerti. Tapi lebih dari itu aku harus tahu siapa yang bisa kupercayai dan siapa yang akan menjadi penghalang dalam perjalananku. Ini bukan hanya misi balas dendam, tapi juga tugas untuk membangun kembali tanah Moonlight yang retak.” Senyap kembali menyelimuti mereka. Suara hembusan angin malam, bisikan dedaunan, dan gemerisik binatang malam mengisi jeda yang panjang itu. Di sebuah sudut hutan yang gelap, bayangan samar terlihat mengintip dari balik semak. Mata-mata kaisar telah menemukan jejak dua pejuang muda itu, dan akan segera melaporkan kepada atasan mereka. Api yang dibawa Ezio sudah mulai menyebar, dan badai yang menanti perlahan siap meletus. Tetapi untuk saat ini, di pinggir api unggun yang kecil itu, dua jiwa muda bersemangat membangun mimpi dan harapan. Mereka tahu jalan yang ditempuh akan berat, berliku, dan penuh risiko, tetapi perasaan itu tidak akan memadamkan nyala api yang sudah menyalakan hati mereka. Ryu mengeluarkan peta tua yang sudah lusuh, menyebarkannya di tanah berumput. “Kita akan menuju Kota Bastion terlebih dahulu. Tempat itu pusat kekuatan dan info. Di sana kita bisa mencari tahu tentang kekuatan asing, penyihir, dan mungkin juga teman yang akan membantu kita.” Ezio menatap garis-garis yang menandai jalur dan benteng. Di benaknya, kota besar bercahaya dengan bangunan tinggi, labirin jalan, dan istana yang megah—tempat di mana keadilan dan pengkhianatan berjalan berdampingan. Pelan-pelan, ia bangun sebuah rencana pertama dalam perjalanannya yang panjang: berkelana, belajar, membentuk aliansi, dan memastikan apinya tetap menyala untuk melawan kegelapan yang membayangi seluruh negeri. “Kita harus bergerak pagi buta,” ujar Ezio. “Sebelum matahari benar-benar terbit, kita sudah berada di jalur. Sedikit waktu persiapan akan sangat berarti.” Ryu mengangguk dan mulai merapikan perlengkapan mereka. Api unggun perlahan mulai meredup, tapi api dalam dada mereka membara semakin besar. Malam itu menjadi titik awal baru. Titik awal sebuah kisah yang akan diingat sepanjang zaman — kisah tentang pengorbanan, kekuatan, dan kebangkitan yang kembali menyalakan harapan dunia. Di bawah langit penuh bintang, dua pejuang muda itu menatap masa depan yang tidak pasti, penuh perjuangan namun teguh oleh yakin dan janji yang sama. Ezio menyentuh kalung di lehernya satu kali lagi, menghirup dalam-dalam malam pekat yang dingin, dan membisikkan, “Api ini tak akan pernah padam.” __________Terima kasih sudah membaca novel ini. Mohon dukungannya agar Ezio masih tetap bisa berjuang.
Di balik bayang-bayang lorong istana yang gelap, kilatan pedang dan semburat api menyala-nyala membelah kesunyian. Angin dingin malam menyelinap melewati celah-celah batu, membawa aroma pengkhianatan yang sudah lama tersembunyi. Dalam sorot api merah membara, sosok yang selama ini menjadi bayangan dalam ingatan Ezio akhirnya muncul nyata. Perlahan, ia melepas tudung yang menutupi kepalanya—wajah itu terpampang jelas, mematahkan ketenangan malam dan membakar kenangan lama yang bersembunyi dalam dada Ezio.“Aku… tidak pernah pergi, Ezio,” suara itu pecah dengan deru yang sarat luka dan kerinduan, bergema seperti alunan api yang belum padam.Detak jantung Ezio tercekat, dadanya memburu bukan hanya karena bahaya yang belum selesai, tapi juga karena perasaan yang bertolak belakang mengaduk-aduk batinnya. Wajah itu bukan hanya sekadar musuh atau sekutu; ia adalah masa lalu yang pernah ia cintai sekaligus derita yang belum terobati. Senyum yang pernah terpancar kini sirna, digantikan bayang-
Gelapnya malam Bastion terasa semakin pekat saat Ezio, Ryu, dan Mira melangkah pelan menyusuri lorong-lorong rahasia di bawah kota. Udara lembap merayap masuk ke dalam pakaian mereka, bedebar rasanya di dada ketika mendengar setiap gemerisik kecil, desiran angin yang menembus celah-celah batu, dan detak jantung yang berdentum di telinga.Ezio mengatur napas. Setiap langkah dirayapinya dengan hati-hati, meyakinkan seluruh indra tetap waspada. Di salah satu sudut gelap, ia mengambil waktu sejenak untuk menenangkan pikiran. Bayangan Phoenix bersinar samar dalam pikirannya — makhluk api yang menjadi pelindung rohnya. “Api ini bukan hanya kekuatan atau balas dendam,” bisik Phoenix dalam batinnya, “tapi cahaya yang harus menerangi yang gelap dan beku.”Ryu mendekat, matanya menyaring setiap sudut lorong yang mereka lalui, terus waspada pada kemungkinan pengintai atau jebakan. “Setiap langkah kita harus senyap. Musuh paling berbahaya di dalam istana bukan cuma pedang tajam, tapi juga dengki
Kabut pagi yang menutupi Kota Bastion semakin menebal ketika Ezio, Ryu, dan Mira melangkah pelan menyusuri lorong-lorong sempit distrik pedagang. Bau rempah, asap tembakau, dan aroma makanan campur jadi satu membaur menjadi latar belakang yang memekakkan indera. Namun bagi Ezio, setiap aroma, suara, dan gerak-gerik orang-orang di sekitar adalah petunjuk rahasia—jejak langkah yang mengarah ke jaringan informasi bawah tanah. Mira berjalan di depan, matanya tetap waspada, membaca wajah dan gerak-gerik warga yang berlalu-lalang. Ia menghindari kontak mata yang berlebihan, tahu betul bahwa di tempat seperti ini setiap orang bisa menjadi mata atau telinga bagi kaisar atau pemberontak. "Kalau kita tidak berhati-hati, satu kata salah bisa berujung pada kematian," ujar Mira pelan, suaranya nyaris hanya angin yang bergesekan dengan reruntuhan tembok tua. Dalam keheningan itu, mereka tiba di sebuah gerbang besi karatan yang tersembunyi di ujung pasar gelap. Kito, pria yang mereka temui sebelum
Kabut pagi menyelimuti lembah dengan lembut, membalut pepohonan dan bebatuan dalam selimut putih yang pekat. Langkah Ezio dan Ryu terhenti sesaat di puncak bukit kecil, mengamati hamparan lembah yang terbentang di bawah mereka. Dari kejauhan, puncak-puncak Gunung Bastion menjulang tinggi, membatasi cakrawala dengan bayangan megah yang menantang. Udara dingin menusuk kulit, menyibak jubah dan kerudung yang menutupi tubuh mereka. Namun, di dalam dada Ezio, api kecil dari Phoenix berdenyut kian kuat, memberikan kehangatan yang tak tergantikan oleh apapun. Ia menghela nafas panjang, merasakan ketegangan bercampur dengan harapan mulai mengisi hati mudanya. Ryu menepuk pundak Ezio, mengalihkan lamunannya. “Lembah ini adalah benteng terakhir sebelum kita menyentuh tembok bastion, Ezio. Di sanalah pertempuran sesungguhnya dimulai — bukan hanya melawan musuh luar, tapi juga melawan keraguan dan ketakutan dalam diri kita sendiri.” Ezio mengangguk pelan, menatap jauh ke depan. Ia sadar, melewa
Pagi itu, embun masih menyelimuti dedaunan dan rumput liar di sepanjang jalan setapak. Cahaya matahari perlahan menembus celah-celah pepohonan, menciptakan pola bercahaya di tanah yang berhiaskan jejak kaki Ezio. Setiap langkahnya terasa berat sekaligus penuh harapan. Di balik tatapan matanya yang bertabur kilauan api, tersembunyi pergulatan batin antara kerinduan akan masa lalu dan tekad menatap masa depan yang penuh tantangan. Desa kecil tempatnya dilahirkan kini tinggal kenangan hangat yang membekas dalam hati, tapi dunia yang lebih luas menganga lebar, penuh misteri dan bahaya tak terduga. Sendirian di tengah hutan luas yang belum pernah ia jelajahi tanpa pendamping, Ezio belajar mengandalkan indera tajam dan perasaan yang mulai terbuka terhadap kekuatan spiritual di dalam dirinya. Setiap hembusan angin membawa bisikan yang tak kasat mata, memanggilnya untuk waspada, untuk melangkah dengan hati-hati. Burung-burung yang bernyanyi di atas kepakan sayapnya seolah memberikan semangat
Ezio mulai merasakan kekuatan dalam dirinya semakin kuat selama beberapa bulan setelah kelahirannya. Di siang yang cerah, saat ia bermain di ladang bersama anak-anak desa, tanpa sengaja ia membuat sebuah cahaya merah kecil terbang dari ujung jarinya. Anak-anak lain menatapnya dengan heran dan sedikit takut. Ezio sendiri merasa campuran antara kagum dan takut akan apa yang baru saja terjadi. Ia belum sepenuhnya mengerti dari mana kekuatan itu datang. Ketika ia mencoba untuk mengulanginya, percikan api itu muncul kembali, namun kali ini lebih kecil dan cepat padam. Orang tuanya mulai memperhatikan hal-hal aneh pada diri Ezio. Ia mampu menyembuhkan luka kecil pada tubuhnya dan binatang-binatang yang terluka di sekitar desa. Beberapa penduduk desa mulai memperbincangkan tentang keberadaan "anak api" ini—yang membawa tanda keberuntungan sekaligus bahaya. Ezio pun mulai mendapatkan pelajaran dari Master Kalen mengenai tanggung jawab kekuatan. Ia memahami bahwa memiliki kekuatan bukan hany