Share

BAB 3

last update Last Updated: 2022-11-01 19:36:38

Aku menggeleng. Belum saatnya Mas Bima tahu tentang masalahku. Nanti, jika sudah ada saatnya, ia pun akan mengerti. 

"Jadi, kamu ga mau cerita ke Mas?" 

"Bukan gitu, cuma belum waktunya aja. Pokoknya, aku minta Mas jangan terima kerjasama apapun dari dia. Selain karena ada problem denganku, juga karena aku mencium adanya ketidakberesan antara dia dan pegawai di kantor kita, Mas," ucapku. 

"Maksudmu, dia korupsi?" tanya Mas Bima.

Aku mengedikkan bahu, belum yakin dengan apa yang Mas Bima ucapkan. Karena aku hanya melihat ada dua berkas berbeda di meja kerja Mas Delon. Selama menikah, ia tak mengetahui bahwa perusahaan Anugrah Bimarin itu adalah milik keluargaku, karena di kantor orang-orang memanggil Mas Bima dengan nama Pak Kevin, sesuai nama depannya, Kevindra Bima Maulana Sakti Sudjono.

"Kamu jangan bikin Mas penasaran, Rin." 

"Udah, tenang aja. Kita tinggal tunggu hasil dari orangku yang sedang menyelidiki, Mas." 

Mas Bima semakin menautkan alisnya, dan aku hanya tersenyum saja. Begitu cerobohnya Mas Delon, hingga tak sadar jika sesuatu yang ia letakkan dengan asal, bisa saja menghancurkannya dengan perlahan. 

--

Pagi hari. 

Badanku terasa enak karena bangun dengan suasan sepi. Aku masih tak menyangka sudah terbebas dari suara-suara merdu milik mertua dan ipar. Aku jadi penasaran, seperti apa mamaa mertua menghadapi pekerjaan rumah yang seabrek dan juga anak yang tak mau membantunya? Aku jadi penasaran, hihi. 

Kubuka akun sosial media, lalu mengetik nama Fiona Hilda Sakira. Adik iparku itu paling rajin membuat status di sosial medianya. Benar saja, sudah ada beberapa status yang ia tuliskan dari semalam. Ia tak tahu, jika selama ini berteman denganku di media sosial karena aku memakai nama samaran. 

[Akhirnya, kakak ipar yang nyebelin itu pergi juga dari rumah. Terbebas gue gak ada yang demen nyuruh-nyuruh.] 

Sudah kupastikan, banyak hujatan yang mampir di kolom komentarnya. Dua puluh komentar, dua puluh juga yang menghujatku, wah pintar emang si Fiona ini. 

Namun, mataku tertuju pada sebuah balasan dari Fiona untuk temannya. 

[Iya, karena Mas Delon sebenarnya gak sreg sama dia. Percuma rumah gedongan kalau ortunya nggak bisa bantu apa-apa. Parasit emang! Untung Mas Delon sudah ketemu denga Kak @Rara, semoga mereka segera menikah dan juga mengangkat derajat keluargaku.] 

Hah? 

Mas Delon, mau menikah? Dengan wanita yang Fiona sebutkan di kolom komentar ini? Kuklik nama itu, mataku membeliak seketika. 

Mulutku seketika menganga saat melihat profil dari si Rara yang dimaksud Fiona akan menjadi kakak iparnya. Bagaimana tidak, dia adalah anak dari pembantu dari rumah di ujung blokku, alias pembantu rumah tangga Omku. Ya, aku kenal persis keluarganya karena memang dekat, selain itu, Mbok Rah juga sangat baik orangnya. 

Bukan bermaksud merendahkan, tapi kenapa ucapan Fiona tak sesuai kenyataan? Mengangkat derajat? Sudah bisa dipastikan yang dimaksud mengangkat derajat oleh Fiona ini adalah masalah keuangan. 

Mereka yang terlalu banyak berkhayal, atau ada indikasi kebohongan yang Rara ucapkan? Apakah ini artinya, Rara adalah pelakor dalam rumah tanggaku? 

Tok-tok! 

"Sarapan sudah siap, Non!" Suara Mbak Nah membuatku mengalihkan perhatian sebentar.

"Iya, Mbak!" 

Setelah mencuci muka, segera aku beranjak keluar dan menghampiri yang lain tengah bersarapan. Aku baru kali ini ketemu lagi dengan Kak Rosi, karena memang ia pulangnya selalu larut malam. 

"Wih, pulang lu?" tanyanya. 

"Iya, Kak." 

Aku pun duduk di samping Bunda, lalu menyedok nasi goreng buatan Mbak Nah. Hemm, nikmat. Bukan hanya masakannya, tapi juga badanku yang terasa jauh lebih enak karena tak harus mengerjakan pekerjaan rumah yang biasa kupegang jika di rumah mertua. 

"Oh iya, Ma, Mbok Rah masih kerja di rumah Om Julian?" tanyaku. 

"Sudah resign dia," jawab Ayah. 

"Hah? Resign? Kalau suaminya?" 

"Suaminya masih jadi supir, ya kalau nggak gitu, dari mana pemasukan? Mbok Rah memutuskan resign karena sudah tua. Ga sanggup untuk naik turun tangga." 

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala saja. Jadi, Mbok Rah sudah resign. Ah, susah untukku menggali informasi tentang Rara kalau begini. 

"Emang kenapa?" tanya Kak Rosi.

"Oh, nggak papa, Kak."

Kami pun melanjutkan sarapan, lalu aku membantu Mbak Nah mengangkat piring ke dapur karena kulihat ia sedang makan tadi. 

"Aduh non, padahal mah biarin aja. Nanti sama saya diangkat." 

"Nggak papa, Mbak. Biar Mbak bisa makan dengan tenang." 

Aku tahu pasti bagaimana rasanya mengerjakan pekerjaan rumah yang memang tak ada habisnya ini. Makanya, sedikit-sedikit kubantu ia. 

Aku berjalan ke teras, menghirup udara pagi yang terasa menyejukkan. Kuhampiri Ayah yang tengah menyiram tanaman. Bunda memang hobi menanam tanaman, tapi selalu malas untuk menyiramnya. 

"Ada apa, Rin?" tanya Ayah. 

"Ya?" 

"Kamu, kenapa pulang? Apakah Delon menyakitimu?" 

"Oh, nggak, Yah. Kami baik-baik aja."

"Baik-baik aja kok pulangnya sendiri, bawa koper pula. Seandainya Delon memang tak mau melanjutkan, lebih baik pulangkan kamu dengan baik-baik. Ayah tak akan jatuh miskin hanya karena ngasih makan kamu lagi." 

Untuk sesaat, aku terharu. Beginilah orang tua, selalu memberi tanpa dipinta, selalu berkata tanpa bertanya. Tapi entah kenapa, aku merasakan kekecewaan yang besar di dalamnya. Ah, sudah pasti. Mana ada orang tua yang baik-baik saja melihat anaknya tak baik-baik saja? 

"Kelihatan banget ya, Yah?" 

Ayah tak menjawab, malah mematikan air dan menggulung selang lagi. Lalu beliau menyuruhku untuk duduk di teras samping rumah. Aku dan beliau memang sangat dekat, dan ini juga tempat favorite kami untuk bertukar pikiran. 

"Jadi, Ayah harus gimana sekarang?" 

"Nggak ngapa-ngapain, Yah." 

"Delon ngapain? Marahin kamu? Ngebentak? Apa dia mukul kamu?" 

Aku menggeleng, karena memabg bukan itu alasannya. Jauh lebih menyakitkan hanya sekedar dari luka di tubuh yang bisa hilang, ngebentak yang bisa dimaafkan, dan dimarahi yang bisa kumengerti. Tapi ini tentang talak. Satu kata yang memiliki ribuan kesakitan saat diucapkan. 

"Ya, Ayah tahu kamu sudah dewasa. Pasti ingin menyelesaikan masalah dengan sendiri. Tapi, apa Ayah ini sudah tak berhak untuk sekedar tahu permasalahanmu?" 

"Bukan-" 

Belum selesai ucapanku, sebuah mobil masuk ke dalam rumah. Itu adalah mobil Mas Delon. Tak lama kemudian, Mama, Mas Delon dan Kak Caca keluar dari dalam mobil. Mas Delon berjalan ke bagasi dan mengeluarkan beberapa totebag besar dan diletakkan di hadapanku begitu kami berhadapan. 

"Ayo besan, kita masuk dulu," ucap Ayah. 

"Nggak perlu, Pak. Oh iya, mulai sekarang, kita bukan besan lagi. Karena Delon sudah menjatuhkan talak untuk Arina," ucap Mama dengan entengnya. 

"A-apa? T-talak?" 

Aku langsung berbalik begitu mendengar suara Bunda. Oh, tidak! 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KUBELI KESOMBONGAN KELUARGA SUAMIKU   TAMAT

    BAB 50---ENDING _______Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Rio dan wanita itu. Hatiku sungguh terbakar. Apa maksudnya itu? "Bu, ini, ada makan siang yang dikirim oleh Pak Rio," ucap Amel seraya menyodorkan sebuah kotak makan padaku. "Buat kamu aja, Mel. Oh, ya, kalau misal dia cari saya, bilang saja nggak ada." "Tapi, Bu, apa nggak papa?" tanya Amel, mungkin dia takut Rio tersinggung. "Nggak papa, Mel. Saya habis ini mau pulang ya. Badan nggak enak." Amel mengangguk. Aku yakin, ia bisa menghandle semuanya. Saat baru turun dan keluar dari lift, aku bertemu dengan Rio yang tampak tengah tersenyum melihat layar ponselnya."Ehem," ucapku, membuat Rio mendongakkan kepalanya. Ia menyapaku dengan mengangkat tangannya. "Kamu mau ke mana, Rin? Kok bawa tas?" "Mau pulang, nggak enak badan." "Oh yaudah hati-hati, ya." Aku sempat tertegun sebentar saat melihat Rio yang pergi begitu saja. Ingin rasanya aku tertawa lebar saat melihatnya pergi. "Oh, jadi kamu mau menjauh dariku, Ri?

  • KUBELI KESOMBONGAN KELUARGA SUAMIKU   BAB 49

    "Aku, boleh masuk, nggak?""Eh? Boleh aja. Ayo."Kami pun masuk ke dalam rumah. Ternyata Ayah, Bunda, Mas Bima, dan Kak Rosi sudah berkumpul di ruang keluarga. Sementara Mbak Inah sedang merapikan meja makan, sepertinya kedua orang tuaku baru saja selesai makan."Om, Tante, Kak."Rio menyalami mereka satu persatu. Tumben banget?"Jadi gimana, Rio?""Tunggu, gimana apanya, Yah?""Begini,Om, Tante. Kedatangan saya ke sini, mau melamar Arin, tapi belum secara resmi. Hanya meminta restu."Deg!Apa? Dia, melamarku? Tapi kenapa ga ngomongin terlebih dahulu tadi?"Bagaimana, Om, Tante?""Ehm, begini, Rio. Seperti yang Rio tau, Arina ini kan janda, dan juga baru bercerai. Apa tidak terburu-buru?" tanya Ayah."Iya, Bunda juga merasa begitu. Toh, kalian kan baru menjalin hubungan, kan?" tanya Bunda, yang kujawab dengan anggukan."Iya, Tante. Saya melakukan ini hanya untuk mengikat A

  • KUBELI KESOMBONGAN KELUARGA SUAMIKU   BAB 48

    "Apa, Sayang?""Katanya, Vito ini pembawa sial, Ma. Gara-gara Vito, Mama di penjara dan Om Delon juga masuk ke penjara. Emangnya, penjara itu apa, Ma? Apa tempat menyeramkan, sehingga Nenek menyalahkan Vito?"Hatiku mencelos mendengar, apalagi saat Ani menganggukkan kepala tanda semuanya itu benar adanya. Setelah menghibur Vito, kusuruh ia untuk mandi karena sebentar lagi waktunya mengaji.Malam hari.Aku ngobrol dengan Mas Bima di teras balkon kamarku. Kuceritakan semua, termasuk tentang Mas Delon yang dipenjara."Itu lah, hukum tabur tuai lagi dirasakan oleh Delon. Sudah, biarkan saja. Besok, bilangin Ani untuk tak mengajaknya ke taman itu lagi. Bukan tidak mungkin kalau mantan mertuamu akan menyakiti Vito."Aku mengangguk. Apa yang dikatakan oleh Mas Bima memang ada benarnya. Aku tak mau, jika nanti Vito menyalahkan dirinya, meskipun ia masih kecil."Lagi pula, lucu aja kalau neneknya Vito menyalahkan bocah sekecil it

  • KUBELI KESOMBONGAN KELUARGA SUAMIKU   BAB 47

    "Pak Adrian, Pak." "Oh, Pak Adrian lagi ke luar kota. Ibunya sakit, baru saja diantar pergi." Lah? Ngapain dia minta dikirimin barang, namun tak ada di rumah? "Kebetulan, saya ketua RT di sini. Kalau boleh tau, ada keperluan apa, ya?" "Saya mau mengantarkan ini, Pak." "Apa isinya, Pak?" tanya Pak RT tadi sambil menerima barang yang kuulurkan. "Kurang tahu, saya cuma disuruh antar saja." Pak RT nampak penasaran, dengan bimbang, tangannya hendak melepas seteples yang menjadi penutupnya. "Pak, jangan." "Kenapa, Pak?" "Nanti saya dimarahi oleh orang yang menyuruh saya ke sini." "Saya mantan polisi, Pak. Nah, saya curiga dengan barang yang dibawa oleh Bapak." Setelahnya, Pak RT seperti menelepon seseorang, yang ternyata adalah satpam yang baru saja men

  • KUBELI KESOMBONGAN KELUARGA SUAMIKU   BAB 46

    "Kamu kenapa, Lon?" tanya Mama. "Aku habis kena tipu, Ma. Sepuluh juta uangku melayang," ucapku lemas. Puluhan kali kucoba menelepon Hari, namun tak kunjung tersambung. Kucari akun sosial medianya, menggunakan nama panjangnya. Ketemu. Namun, aku bertambah lemas saat melihat beberapa tulisan temannya yang meminta uang dikembalikan. Ini sih sudah fix, aku kena tipu. "Kamu ini, Lon. Sudah Mama biayai buat kuliah, kok masih aja bl**n! Masa iya kena tipu tapi nggak nyadar?" "Ya kalau nyadar, nggak bakal kena tipu lah, Ma." Aku pun masuk ke dalam kamar. Berbicara dengan Mama rasanya sia-sia saja. Kupandangi tas tempatku menyimpan uang. Kenapa terbuka? Segera kuambil, dan melihat isinya serta menghitungnya. Kenapa hanya tersisa tujuh juta? Ke mana yang tiga juta? "Ma! Mama!" "Apa, sih? Teriak-teriak dipikir Mama ini b*deg?" "Mama lihat uang Delon yang di tas?" tanyaku. "Ya, sama Mama dibawa ke pasar tadi buat belanja bahan makanan." "Belanja apa yang sampai tiga juta, Ma? Lagian,

  • KUBELI KESOMBONGAN KELUARGA SUAMIKU   bab 45

    "Ja-jangan, Delon. Maafkan Mama. Iya, Mama mau hidup susah sama kamu."Setelah mencari kontrakan hampir setengah hari, kami dapat juga. Rumah kecil, namun lumayan untuk saat ini, daripada harus tidur di dalam mobil.Setelah membayar untuk tiga bulan ke depan, aku mengajak Mama membeli perlengkapan rumah. Kasur lipat, tikar, dan juga peralatan masak dan makan."Kita harus memulai semuanya lagi dari awal, Lon," ucap Mama sambil terisak."Sudah lah, Ma. Nggak usah Mama nangis terus."Malam hari, Mama masak ayam goreng dan sambal. Aku makan dengan lahap, mengingat seharian belum makan."Besok, Mama mau jenguk Caca, Lon," ucap Mama."Iya, Delon anterin, Ma. Sekarang makan yang banyak."Mama mengangguk, malam itu kami makan dalam diam. Aneh, rasanya. Biasanya ada saja yang menjadi percakapan di meja makan. Kini, selain sepi, juga kami makannya di lantai beralaskan tikar."Tidur,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status