Share

BAB 4

"Bu-bunda!" 

Bunda terlihat memegang dadanya, aku dan Ayah segera menghampiri Bunda yang langsung lemas. Kutatap Mas Delon yang seakan tak merasa bersalah karena telah membuat Bunda menjadi seperti ini. 

"Kita bawa masuk saja, Yah," ucapku pada Ayah. 

"Iya, ayo." 

Berdua dengan Ayah, kubantu Bunda untuk berdiri dan berjalan menuju ke dalam rumah meskipun tampak begjtu lemas. Kuminta Mbak Nah membuat segelas teh manis untuk Bunda. 

"Ada tamu, bukannya ditemui hingga selesai, malah ditinggal begitu saja. Sungguh keluarga yang tidak sopan!" ucap Mama tanpa merasa bersalah.

Aku segera menoleh saat mendengar suara Mama yang tiba-tiba sudah berada di dalam rumah. Bukankah tadi katanya tidak perlu? Kenapa sekarang malah masuk tanpa persetujuan dari kami? Dasar, keluarga tak beradab! 

"Apa kalian tidak lihat, Bunda sedang seperti ini. Urusan Mas Delon denganku, biar kami urus sendiri. Keluarga tak ada yang boleh ikut campur termasuk kalian," ucapku sambil menunjuk ke arah Kak Caca dan Mama. Rasanya, rasa hormatku sudah hilang pada mereka. 

"Ya sudah, terserah. Kedatangan kami ke sini, untuk meminta mahar yang dulu diberikan oleh Delon untuk Arina. Tanpa ada yang dikurangi, kalian harus mengembalikan semuanya," ucap Mama dengan penuh kepercayaan dirinya. 

Kulihat Ayah mengepalkan tangannya, wajahnya sudah memerah menahan amarah karena mendengar ucapan mantan mertuaku itu. 

"Kalian meminta mahar kembali? Apa kalian sudah tak memiliki malu?" tanya Ayah. Aku salut, beliau masih bisa menahan gejolak amarah. 

"Untuk apa kami malu? Itu adalah milik Delon karena membelinya dari uang Delon sendiri. Tak ada campur tangan Arina di dalamnya," ucap Mama. 

"Iya, aku juga meminta perhiasan yang pernah Delon beri sewaktu kalian baru saja menikah," lanjut Kak Caca. 

Astaghfirullah! 

Mereka manusia atau setan? Kenapa kelakuannya mirip sekali dengan dajjal? 

"Lalu, bagaimana dengan keperawananku yang sudah direnggut oleh Mas Delon? Kalian bisa mengembalikannya?" tanyaku sambil menatap tajam Mas Delon. 

Ia terlihat salah tingkah. Mungkin tak menyangka aku akan mengatakan hal ini. Berani-beraninya ia meminta kembali atas apa yang pernah ia beri. 

"Kalian juga harus menjadi pembantu di sini selama satu bulan, menggantikan keringatku yang sudah menetes karena mengikuti perintah kalian. Jangan lupa, Kak Caca harus mengembalikan uangku yang dipinjam oleh Mas Reza." 

"Jangan fitnah, kapan suamiku meminjam uang darimu?" tanya Kak Caca. 

"Tanyakan saja sendiri sama Mas Reza, itupun kalau dia mau mengakui." 

"Kamu-" 

"Stop!" Suara Ayah melengking. 

Kami semua terdiam, termasuk Kak Caca yang baru saja hendak melanjutkan kata-katanya. 

"Kalian meminta mahar itu kembali? Baik, akan saya lakukan. Tapi, kalian harus membayar keringat atas apa yang telah Arina kerjakan di sana senilai tiga puluh juta, bagaimana?"

"Apa? Jangan g*la ya, Pak!" 

"Yang g*la itu kalian! Bukan kami!" 

Mas Delon terlihat santai saja melihat kedua orang tua kami bertengkar. Sementara Bunda menatap kosong ke depan. Ya Allah, aku sangat khawatir dengan bundaku. 

Kring! Kring! 

Ponsel Mas Delon berdering. Senyum mengembang saat itu juga, apakah itu telepon dari Rara? 

"Halo, selamat siang, Pak?" 

"..."

"T-tunggu, Pak, bukankah kemarin katanya menyukai proposal yang saya ajukan?" 

"..."

"Tapi, Pak, kenapa bisa ditolak begini?" 

"..."

"Bisakah kita bertemu, Pak?" 

Melihat ekspresi dan juga tingkahnya yang gelisah, aku sudah bisa menduga kalau Mas Bima sudah melakukan yang aku suruh. Saat Mas Delon menatapku, kusunggingkan senyum manis padanya, agar ia merasa terhina.

"Sudah lah, Ma, kita pulang saja. Tak ada gunanya lama-lama di sini," ucap Mas Delon. 

"Tapi maharnya..."

"Sudah lah, Delon ada urusan yang lebih penting lagi. Ngapain ngurusin Arina yang bahkan nggak bisa membantu menaikkan derajat keluarga kita."

"Ah iya, benar juga. Kamu tunggu saja surat dari pengadilan, Arina. Kalian akan segera bercerai sah secara negara."

Baik aku maupun Ayah, tak ada yang menjawab ucapan mantan mertuaku tadi. Kami sungguh muak dengan kedatangan mereka ke sini. Benar-benar keluarga sableng! 

Setelah mobil mereka melesat meninggalkan halaman, aku berdiri di teras. Melihat jauh ke depan sana, seolah tengah melihat Mas Delon yang dulu. Kenapa, setelah menikah ia berubah? Kenapa tak seperti Delon yang dulu? Atau jangan-jangan, selama ini ia pura-pura saja?

-

Kubuka ponsel, mencari kontak Mas Bima. Ingin menanyakan tentang telepon yang baru saja Mas Delon terima. 

"Halo, Mas?" sapaku saat telepon diangkat oleh kakak sulungku itu. 

"Iya, Dek."

"Mas udah ngelakuin hal yang semalem aku minta?" tanyaku sambil duduk di teras. 

"Sudah." 

"Pantes."

"Kenapa?" tanya Mas Bima. 

"Tadi Mas Delon ke sini, lagi ngobrol, eh dapet telepon langsung gelisah dan ketakutan," ucapku. 

"Ngapain Delon ke situ? Jemput kamu?" tanya Mas Bima.

"Nggak, dia nganterin barang-barangku yang ketinggalan di sana, Mas." 

"Tunggu. Dianterin ke rumah? Kalian, cerai?" tanya Mas Bima. 

"Ya, gitu lah. Bunda sampai lemas saat mantan mertuaku itu bilang kami sudah bercerai." 

"Tapi Bunda nggak papa, kan?" tanya Mas Bima. 

"Sudah agak baikan setelah diolesi minyak angin. Ya sudah, Mas. Aku mau mandi dulu. Terima kasih bantuannya." 

"Kamu hutang penjelasan sama Mas, ya?" 

"Hehehe, iya. Nanti pulang, aku akan ceritakan semuanya." 

Di antara kakak-kakakku, aku memang paling dekat dengannya daripada dengan Kak Rosi. Kakak perempuanku itu terlalu berambisi pada sesuatu sehingga jarang di rumah ataupun bersantai. 

"Nggak ke salon, Kak?" tanyaku. 

"Tutup," jawabnya sambil terus menatap layar lebar di depannya. 

"Tumben banget." 

"Ada yang mau Kakak selesaiin. Sini kamu!" perintahnya sambil melambaikan tangan. 

Aku segera mendekat, tersenyum samar karena menyadari ia akan melakukan apa. 

"Jelaskan, kalian bercerai?" 

"Kakak denger?" 

"Gimana nggak denger? Suara mertuamu itu cempreng, suaranya sampai ke sini. Belum lagi kakak iparmu itu, udah judes, cempreng, mirip banget sama emaknya." 

Aku terkekeh saat melihat ekspresi Kak Rosi. 

"Katakan, apa yang harus kakak lakukan demi membalas sakit hatimu itu?" 

"Tenang aja, Kak. Semuanya baik-baik saja, aku bisa mengurusnya sendiri."

"Terus tentang Rara yang tadi pagi kamu tanyakan, apakah itu ada kaitannya?" 

Aku mengangguk. Yah, sedikit tidak menyangka jika gadis muda itu berani menggoda suamiku. Apakah ia tak tahu jika Delon adalah suamiku? 

Namun, masuk akal juga. Terlebih memang saat pernikahanku, keluarga mereka tengah pulang kampung, mudik lebaran. Jadi, Rara menggoda suami orang tanpa tahu latar belakangnya? 

"Jadi, Rara dan Mas Delon akan menikah bulan depan katanya, Kak," kataku. 

"What? Menikah? Delon sama Rara?" teriaknya. 

"Sssst! Jangan keras-keras, nanti Ayah dan Bunda dengar!" 

"Oh, iya-iya. Kok bisa? Apa Delon itu tak tahu kalau Rara anak pembantu? Terlebih, Fiona bilang kalau Rara akan mengangkat derajat keluarga mereka," ucapku. 

"Wih, si Rara berbohong? Ngaku-ngaku orang kaya demi menggaet Delon? Berani juga dia, dan juga licik. Tapi setahu Kakak, Rara memang bukan anak kandung Mbok Rah. Kalau gak salah, dia anak saudara jauhnya yang meninggal karena kecelakaan. Tapi karena Mbok Rah belum memiliki anak, jadinya Rara diasuh." 

"Iyakah? Aku baru dengar ini. Kakak dengar dari mana?" 

"Mana lagi? Mama cerita semuanya." 

Aku ber-oh ria, karena memang baru kali ini mendengar ceritanya. Rara, ternyata kamu salah menentukan target, karena aku akan menghancurkan kalian sekaligus. 

--

Hari ini dengan ditemani Novia, sahabatku, kami bertandang ke rumah Mas Delon. Bukan untuk mengemis maaf dan juga belas kasihan, tapi untuk mengambil buku nikah dan juga menagih hutang pada Mas Reza. 

"Lu yakin, nih?" tanya Novia. 

"Yakin lah, Nov." 

"Emangnya, mereka bakal percaya? Ntar kalau mangkir gimana?" 

"Tenang aja, nggak akan terjadi itu." 

Mobil kukemudikan menuju rumah mantan suamiku, tepat empat puluh menit kemudian, kami sampai di halaman rumah berlantai dua ini. Melihat dari luar yang begitu kotor, apakah mereka belum memiliki pembantu? Atau, mereka tak sanggup membayar? Mengingat jika hanya Mas Delon yang bekerja di sini. 

Tanpa mengetuk pintu, aku masuk begitu saja. Sebuah pemandangan kulihat, mereka tengah bercengkrama di ruang tamu dengan seorang tamu cantik. Aku tersenyum. 

"Hai, Rara," sapaku sambil tersenyum lebar.

Sudah dapat dipastikan, wajah wanita itu langsung pucat pasi. Mau ke mana kamu, Ra? 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marjoni Daryus
bagus banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status