Pov Diva Aku berjalan di samping Mas Iqbal. Sejak tadi, bahkan genggaman jemari ini tak terlepas. Lebih tepatnya, Mas Iqbal yang tak mau melepas genggaman jemarinya. Bu Rinai mempersilakan kami duduk. Tak berapa lama, seorang ART datang dan membawakan air minim di atas nampan. Seorang lelaki yang berpostur tubuh tinggi tegap muncul dari lantai atas. Di sampingnya berdiri seorang perempuan yang mungkin usianya seumuran denganku berjalan sambil menggelayut manja di lengan lelaki itu. Dia menunduk dan tampak sekali malu-malu. Pak Rafael bangkit lalu menyalami sang empunya rumah. Dia tampak sekali membungkuk hormat pada lelaki yang bahkan di usianya yang sudah matang terlihat masih begitu gagah. “Sehat Pak Wira?” “Baik. Makasih sudah mau menyempatkan diri berkunjung ke sini!” “Ini Adzkya Shakeela---putri saya! Maaf dia memang pemalu, nurun dari Mamanya,” tukasnya disertai kekehan. Lelaki yang disebut oleh Papa Mertua dengan nama Pak Wira itu memperkenalkan putrinya. Adzkya Shakee
Pov Diva “Astaghfirulloh … itu ‘kan?” Lantas aku mengambil gawai dan mengarahkan pada dua orang yang tampak berjalan dengan mesra itu. Sengaja kurekam diam-diam. “Va!” Suara Mas Iqbal membuatku menoleh. Segera kuturunkan gawai yang tadi kuarahkan dari arah samping tubuhku pada mereka. Namun tak hendak aku membahasnya dengan Mas Iqbal. “Apa, Mas?” “Hmmm, tuh!” Mas Iqbal melirik dengan sudut matanya. Aku tersenyum ketika menyadari antrian di depanku sudah habis dan menyisakkan aku yang mematung berjarak beberapa langkah dari kasir. Lekas kuikuti langkah Mas Iqbal yang mendorong troli. Kami berdiri bersisian dan kasir segera menghitung totalan belanja kami. “Yang ini kantungnya dibedakan, ya, Mbak!” Aku mengeluarkan barang-barang yang akan kubawa ke tempat Ibu.“Baik, Mbak.” Kasir itu menjawab dengan ramah. Senyum pada bibirnya yang dipoles merah tampak tersungging begitu saja. Lekas Mas Iqbal mengeluarkan kartu debit ketika kasir itu menyebutkan total belanjaan. Sementara itu,
Pov Diva Benda pipih yang baru Mas Iqbal beli itu sudah di tangan. Hanya saja aku masih ragu untuk mengetes. Masa iya, hanya karena Mas Iqbal pengen mangga muda, lalu aku hamil? “Besok saja, ya, Mas.” Aku menoleh padanya yang tengah memakan rujak petis mangga. Ya ampuuun, malam-malam begini coba. Bahkan gigiku sudah terasa ngilu ketika membayangkannya.“Yah, kenapa gak sekarang, sih, Va?” Dia menoleh padaku sambil menyuap potongan mangga muda segar itu ke mulutnya. Wajahnya tampak sangat mengharap. Hati yang ragu apakah aku hamil atau tidak menjadi penyebabnya. Aku tak mau kecewa. Dulu juga beberapa kali test, hasilnya hanya garis satu. “Katanya kalau mau ngetes tespeck itu sebaiknya urin pagi, Mas. Itu lebih akurat. “Oh gitu … ya sudah kita maksimalkan ikhtiar dulu kalau gitu.” Dia melirikku dengan menaikkan satu alisnya ke atas. “Dih ….” Aku mencubit perutnya. Namun, sekilas kemudian, lengan kokohnya sudah melingkar pada perut dan dia menarikku menuju kamar setelah menyeles
Pov 3Selamat Membaca! Kunjungan ke dokter kandungan baru sempat dilakukan menjelang weekend. Diva dan Mas Iqbal baru saja keluar dari ruangan dokter kandungan. Dokter Titin namanya. Perempuan itu sudah berumur. Namun tetap tampak sehat, ramah dan energik. “Maaf ya, Mas, eh, Yah!” Diva menatap wajah Mas Iqbal yang tadi pagi begitu antusias tampak sedikit kecewa. “Maaf untuk?” Dia menatap Diva. Kedua alis tebalnya saling bertaut. “Karena ternyata gak kembar.” Diva menatap wajahnya yang tadi tampak bingung, lantas mengukir senyum. “Gak apa, Bun. Nanti kita buat lagi yang baru,” kekehnya seraya mencubit ujung hidung istri kesayangannya.Seketika wajah Diva terasa panas. Duh, malunya. Ini tempat umum. Meskipun berbisik, rasanya malu saja dan takut ada yang mendengar. “Tunggu di sini, ya, Bun! Ayah mau tebus vitaminnya dulu di apotek.” Diva mengangguk, sebetulnya dalam hati merasa geli sendiri. Sejak tadi malam Mas Iqbal memaksa untuk mengganti panggilan menjadi Ayah dan Bunda. Ya
Pov KenzoAku hanya mampu pasrah ketika pada akhirnya keempat manusia paruh baya itu membuat kesepakatan. Tanggal pernikahanku sudah diputuskan. Sesekali kulirik Adzkya---gadis yang entah kenapa, berbeda dengan gadis modern lainnya. Di zaman seperti ini, masih menerima dijodohkan oleh orang tuanya. Sementara itu, aku … selalu saja perempuan pilihanku akan bertolak belakang dengan keinginan Mama. Andai mau egois, mungkin dulu pun aku akan kawin lari dengan Fevita---cinta pertamaku. Namun, aku masih memikirkan Mama, perempuan yang terkadang menyebalkan tetapi tetap kusayang. Giliran cinta itu datang, perempuan yang berhasil menggantikan Fevita itu, justru orang yang kubenci dulu dan kini jadi kakak iparku. Serumit inilah liku-liku cinta, emang. “Kalau begitu konsep pernikahannya kita serahkan saja sama Kenzo dan Kya, gimana?” Kudengar suara Om Wira memecah pikiranku yang sedang sibuk sendiri. “Boleh kalau mereka mau, biar lebih sesuai keinginan pengantin juga. Gimana, Kenz?” Kudenga
Pov 3Mobil yang mereka tumpangi oleng dan menabrak trotoar. Namun, nyawa Para penumpang itu masih selamat. Mas Iqbal sigap mengijnak rem dan mobil berhenti, hanya terjadi sedikit benturan."Astaghfirullah, Iqbal!" Bu Faridah memekik seraya mengelus dada. "Maaf, Ma." Hanya itu yang terucap dari mulut Mas Iqbal seraya menetralkan degub jantungnya. “Hati-hati, Iqbal. Alhamdulilah kita masih selamat ….” Pak Rafael tak kalah shock juga. Pada akhirnyaSemua orang mengucap syukur, tak terkecuali Kenzo. Rasanya diberi hidup sekali lagi. “Kamu kenapa, Iqbal? Biar Papa yang gantiin nyetir saja. Ayo tukar tempat.” “Maaf, Pa. Anak kecil tadi nyebrang mendadak. Untung masih bisa dihindari.” Mereka memang melihat anak kecil yang berlari mendadak, hanya sajaPak Rafael yang duduk di belakang memang tak nampak. “Masih bisa, Pa. Aku bawa lebih pelan saja. ““Kamu masih kaget juga ‘kan. Tukeran dulu saja.” Akhirnya Mas Iqbal menyerah dan tukar duduk dengan Pak Rafael. Mobil pun kembali melaju, m
Pov AdzkyaAku memilih menunggunya kembali sambil membaringkan tubuh di atas kasur empuk berukuran jumbo yang bertabur kelopak bunga mawar merah yang tengah merekah. Tiba-tiba ada rasa berdebar ketika mengingat jika kini sudah ada sosok lelaki yang halal. Untuk membunuh bosan, aku memainkan gawai. Namun, hingga setengah jam berlalu, Kenzo belum juga kembali. Kucari nomornya dalam kontak whatsapp lantas kuhubungi. Namun, hanya centang dua warna hitam. Padahal terlihat kontaknya sedang online. Aku menghela napas, lantas kusimpan gawai di atas nakas. Kurebahkan tubuh dan mencoba memejamkan mata. Namun, entah kenapa malah rasa perih dan pedih yang menelusup perlahan. Ini bukan pernikahan seperti yang kuinginkan. Ah, andai Marcello tak membuat onar. Aku pasti masih tengah duduk di bangku kuliah dan fokus pada karirku di perusahaan Papi. Aku segera menepis sesal. Anggap saja ini teguran. Aku yang tak mendengar kata-kata Mami untuk tak berpacaran. Pesona Marcello membuatku untuk pertama
Pov Adzkya“Kalau kamu mau itu, naik saja. Aku naik taxi.” Dia menjawab cepat. Lagi-lagi aku mematung. Rupanya selain suka menghilang, irit bicara, lelaki yang sudah menjadi suamiku itu jugta ternyata keras kepala. Perjuanganku masih panjang, rupanya. Untung aku sudah diajarkan menjadi perempuan tangguh versi Mami. Kita lihat saja, berapa lama kamu akan bertahan dengan sikapmu yang menyebalkan ini, Mas? Aku berani bertaruh, kamu akan segera bucin padaku seperti pada novel-novel yang kubaca sebelumnya.“Bapak pulang saja. Saya ikut Mas Kenzo, naik taxi.” “Tapi, Non?” Pak Tomo hendak menyela. Hanya saja aku menagangakat tangan ke atas, Pk Tomo sudah paham, jika aku tak ingin didebat. “Baik, Non.” Aku langsung masuk ke dalam taxi, menemukan lelaki tampan yang tampak tengah cemberut. “Ayo, Mas.” Dia menoleh, tanpa menyahut dan langsung berbicara pada sopir taxi tersebut untuk jalan. Sepanjang perjalanan hanya didominasi oleh lagu yang diputar oleh pengemudi taxi saja. Aku dan Ma