Share

NGAJAK DAMAI

Aku jambak rambut bagian depan, terus menggoyang-goyangkan kepala. Mau acak-acakan juga tak apa. Toh, takkan ada yang melihat.

"Bu, maaf, ada bapak sama itu kayaknya!"

Lamunanku bubar saat bi Eti tiba-tiba memberi informasi menyebalkan.

"Berani benar dia bawa jabl*ynya. Mau nyoba tendangan halilintarku rupanya! Kebetulan aku emang lagi butuh pelampiasan emosi!"

Dengan telapak tangan terkepal, aku pergi menemui mas Ragil. Sebelum ke sana, sempat belok dulu sebab teringat harus mengambil sesuatu di kamar anak-anak. Siapa tahu bisa berguna.

Sepanjang jalan menuju ruang depan, kepala ini rasanya mau meledak. Sementara dada panas, sangat panas.

Mas Ragil membawa istri barunya ke rumah ini pasti mau pameran kehebatannya bisa menggaet perawan. Atau ingin puas menghina sebab dendam akibat kedatanganku di hari pernikahannya

Mereka duduk sangat rapat, mesra sekali seolah tak ada manusia berperasaan di rumah ini. Dari sini saja aku sudah melihat mas Ragil takkan berlaku adil. Ia akan mati-matian mencintai yang baru, dan dengan mudah membuang barang lama.

Dadaku bergemuruh hebat, hampir meledak saat sampai di hadapan mereka. Rasanya ingin kusemburkan muntahan amarah dengan teriakan hingga tulilah telinga keduanya.

Tapi, aku tak boleh bertindak bod*h hingga diceraikan. Enak sekali si pelakor langsung menggantikan. Yang berjuang bersama hingga sejaya ini adalah aku. Jika dibuang sekarang sama saja seperti sepah.

"Ada yang ingin merasakan tendangan halilintar sepertinya!"

Pasangan yang sedang bisik-bisik mesra itu terkesiap. Mungkin saking fokus pada kemesraan, mas Ragil dan Susi tak mendengar langkah kakiku. Padahal 'kan cukup kencang.

Sialan memang bikin aku makin naik darah aja.

"Oh, Tiara Sayang, maafkan, mas baru datang!"

Mas Ragil bangkit dan menghampiriku yang sedang menahan angkara menyaksikan kemesraan pasangan menjijikkan. Pria itu bermaksud menyentuh tubuh, tapi kutangkap tangannya. Karena cekalan kuat, dia agak meringis.

"Sabar, Sayang, ayo kita bicara dari hati ke hati!"

Aku memelintir tangan mas Ragil, lalu mendorongnya kuat-kuat. Tak ayal tubuh pria berusia empat puluh tahun itu jatuh menimpa Susi.

"Awwww!"

Aku menikmati pemandangan menggelikan di depan mata tanpa kedipan. Pasti sakit banget tertimpa tubuh segede gaban itu. Susi sampai megap-megap dibuatnya.

"Maafkan, Sayang! Mana yang sakit!"

Mas Ragil mengusap-usap tubuh Susi dengan panik. Dan, hal itu bikin emosiku makin membumbung tinggi.

Kutendang saja meja dengan kaki hingga asbak di atasnya jatuh. Lepas itu aku duduk di sofa.

Aku tahu mas Ragil sudah marah, tapi ia menahan emosi sekuat tenaga. Tampak sekali dari rahang yang mengeras dan dada turun naik.

"Kalau pamer kemesraan itu di I* bukan di rumah ini, ngarti! Untung aku lagi gak mau makan orang. Kalau lagi kumat kamu tinggal usus doang!"

Susi hampir lompat saat telunjukku mengarah pada wajahnya. Ia kemudian mengerut seperti kerupuk disiram air.

"Sudah, ya, Tiara, sudah. Mas ke sini mau ngajak damai. Please, jangan marah lagi. Ayo kita ngobrol baik-baik!"

"Ngobrol baik-baik palalu peang! Mas, kawin diam-diam itu tak termaafkan. Gak ada itu bicara baik-baik!"

"Mas tahu, mas salah. Tapi, sekarang semua sudah terjadi. Susi sudah jadi istri mas saat ini, sama seperti kamu. Mulai sekarang kita adalah keluarga. Tak boleh saling menyakiti. Mas akan bertindak adil pada kalian berdua. Jika di perjalanan ada yang tak suka, boleh langsung minta cerai. Mas akan mempermudahnya!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status