Aku jambak rambut bagian depan, terus menggoyang-goyangkan kepala. Mau acak-acakan juga tak apa. Toh, takkan ada yang melihat. "Bu, maaf, ada bapak sama itu kayaknya!"Lamunanku bubar saat bi Eti tiba-tiba memberi informasi menyebalkan."Berani benar dia bawa jabl*ynya. Mau nyoba tendangan halilintarku rupanya! Kebetulan aku emang lagi butuh pelampiasan emosi!" Dengan telapak tangan terkepal, aku pergi menemui mas Ragil. Sebelum ke sana, sempat belok dulu sebab teringat harus mengambil sesuatu di kamar anak-anak. Siapa tahu bisa berguna. Sepanjang jalan menuju ruang depan, kepala ini rasanya mau meledak. Sementara dada panas, sangat panas. Mas Ragil membawa istri barunya ke rumah ini pasti mau pameran kehebatannya bisa menggaet perawan. Atau ingin puas menghina sebab dendam akibat kedatanganku di hari pernikahannyaMereka duduk sangat rapat, mesra sekali seolah tak ada manusia berperasaan di rumah ini. Dari sini saja aku sudah melihat mas Ragil takkan berlaku adil. Ia akan mati-ma
Aku paham yang dimaksud adalah pilihan kalau tak mau dimadu, cerai. Dia sedang tak menunjukkan kebijaksanaan, tapi lebih pada keditaktoran.Jadi, dia sedang membuat permainan ingin menyingkirkanku secara tak langsung. Tak semudah itu Ferguso! Ingat, pada harta ini ada hasil usahaku. Aku ingin menjawab, tapi ditahan. Mati-matian aku menahan ledakan emosi. Tangan terkepal hingga jari-jari sangat rapat satu sama lain. Rahang mengeras dan mata sudah tak bisa sayu."Iya, Mas. Aku akan berusaha rukun dengan mba Tiara. Bagaimanapun mba Tiara istri pertama, jadi harus aku hormati! Aku siap mundur jika mba Tiara sedih." Huh, aku tahu apa yang diucapkannya tidak tulus. Dari penyelidikan anak buah, kudapat info bahwa sikap asli Susi tak seelok parasnya. Ia sangat sombong dan sok cantik. Bahkan tak segan menghina orang-orang.Waktu miskin saja begitu, apalagi setelah jadi istri juragan Ragil. Makinlah ia mendongak."Terima kasih, Sayang!"Romantis sekali dia bilang sayang. Padaku hanya panggil
"Bu, ada undangan!"Aku menerima sepucuk undangan yang disodorkan bi Eti. Setelah wanita itu undur diri, aku langsung membukanya.Ternyata pak Slamet mau menikahkan anaknya. Aku harus memberitahu mas Ragil sebab ini teman dekatnya.Tapi, kalau aku beritahu nanti dia bakal datang sama si Susi. Kurang ajar sekali. Sudahlah, biar kuwakili saja.Kenapa juga undangan ini mepet datangnya. Apa lupa bahwa kami teman lama. Atau saking banyak undangan, jadi terselip mungkin.Itu tak penting. Lebih baik sekarang cari baju baru untuk ke undangan. Kudu yang bagus. Mereka tak boleh memandang iba seorang Tiara. Akan kutunjukan bahwa dunia baik-baik saja meski telah dikhianati.Tiara bukan wanita lemah yang hanya bisa meratapi nasib. Aku harus tetap bertahan sampai tujuan pemindahan harta tercapai. Tidak boleh ada yang menganggap Tiara lemah dan hanya bisa meratapi nasib di tempat tidur. Itu tak boleh terjadi sama sekali sebab aku punya harga diri tinggi. Aku tahu mas Ragil tidak bodoh. Ia pasti tak
Hari ini, aku mendatangi undangan pernikahan anak pak Slamet. Dengan fashion pilihan mami Della, aku tampil lebih percaya diri. Tak kalah dari pakaian selebritis. Kalau aku langsing pasti lebih keren lagi. Sayangnya masih gendut. Pesta yang digelar di gedung Yasmin ini tergolong mewah. Maklumlah pak Slamet 'kan pengusaha matrial yang cukup sukses. Gengsilah pesta anaknya kalau gak besar-besaran.Setelah mengucap selamat pada mempelai dan keluarga, aku langsung menuju prasmanan. Di sinilah godaan makan bertarung dengan keinginan langsing.Tapi, laper!Makan ajalah sedikit, gak apa-apa asal gak berlebihan.Aku mulai menyuap makanan yang diambil barusan. Kali ini porsinya dikurangi sepertiga dari biasanya. Semoga perut tak berontak sebab jatahnya lebih sedikit. Ketenanganku menikmati makanan ternyata tak bisa lama. Kedatangan mas Ragil dan istri mudanya telah menghancurkan kedamaian hatiku secara tiba-tiba.Jadi, dia sudah tahu ada undangan pak Slamet? Dan, sengaja tak menghubungiku ka
"Saya gak mau makan!"Zayyin membawaku ke sebuah restoran yang berjarak lima belas menit perjalanan dari gedung Yasmin. Aku tak mau sebenarnya masuk ke sini, tapi dia meyakinkan takkan lama. Dan, katanya lagi jadi bisa ngobrol aman tentang sesuatu yang penting.Tempat ini sepi pengunjung jadi terasa luas pemandangannya. Hanya ada set meja kursi berjejer rapi juga di dinding berkaca banyak. Ada alunan musik romantis yang mengiringi sepanjang keberadaan kami di sini. Tapi, hal tersebut tak membuat suasana hatiku membaik. Masih panas bahkan membara. "Oh, ya sudah biar saya saja yang makan. Tadi 'kan saya belum sempat prasmanan. Keburu ngamanin ibu!"Dih, bodo amat. Salah sendiri ikut campur urusan orang. Dan, aneh juga, sih, kenapa aku malah duduk melihatnya makan. Gak ada kerjaan saja. Dasar orang aneh. Seperti Zayyin emang benar-benar lapar. Dia lahap banget saat menyantap makanan yang sudah tersaji. Sebenarnya makanan yang dipesan terlihat enak, tapi aku enggan menyentuh. Ada guram
Aku berusaha menurunkan kadar emosi agar penjelasan ini gak tertolak pikiran dan hati. Kuresapi kata demi katanya biar bisa dimengerti. Hampir semua ucapannya benar, bahkan semuanya benar.Pria ini memang lihai membaca keadaan. Atau karena ada di posisi komentator, bukan pelaku. Seperti permainan bola. Komentator lebih jeli mencari peluang dan hambatan di lapangan. Sementara para pemain kadang terjebak dengan situasi tak terduga. Mas Ragil memang tengah buta oleh cinta dan napsu. Ia pasti tak bisa melihat alasan aku bertindak sereaktif itu tadi. Di sisinya kini aku tentu salah dan keterlaluan. Tapi, mau bagaimana lagi, aku terlanjur emosi tadi. Bahkan, belum puas menyiksa Susi. Aku ingin dia babak belur, berdarah-darah bahkan mampus. Kalau begitu baru puas. Siapakah wanita yang tidak panas melihat suaminya malah pameran istri baru. Aku dihubungi saja tidak kalau memang dia sudah tahu soal undangan itu. Apa tidak terbersit di pikirannya bahwa aku juga menerima undangan dan kemungkina
SUSI"Sakit, Mas!" rajukku dengan nada dibuat semenyedihkan mungkin. Ini penting agar mas Ragil lebih panik lagi. Dan, kuharap dia akan makin benci pada si gentong itu.Dasar gentong burik. Mau bersaing denganku, Hah? Lihat saja kamu pasti akan berakhir menyedihkan. Aku akan menguasai jiwa, raga dan harta mas Ragil hingga tiada yang tersisa untuknya. "Tiara memang keterlaluan, aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kebarbarannya!"Aku mengulum senyuman mendengar perkataan itu. Nada amarah kentara banget dari nada suara mas Ragil."Aduh, aduh!"Aku makin mengaduh agar semakin ngeper nyali mas Ragil. Kupegang beberapa bagian tubuh yang tak semua sakit. Biar saja dibikin drama lebih kuat. Pria bodoh ini sudah buta karena cinta dan napsu. Dia takkan lagi bisa membedakan mana sungguhan mana drama. Baginya sakitku adalah sakitnya.Sikap lembut dan manjaku akan membuat mas Ragil makin terjerat. Di benaknya harus terwujud bahwa Susi adalah wanita sempurna. Cantik, seksi, lembut dan
RAGILRuwet, ruwet, ruwet!Kenapa urusannya jadi begini? Kenapa Tiara jadi ngadu-ngadu sama keluarga? Gak dewasa banget cara dia menyelesaikan masalah.Ini 'kan masalah rumah tangga kami. Harusnya tak melibatkan orang luar. Selesaikan saja berdua atau bertiga jika melibatkan Susi.Aku paham betul sifat mama dan bapak. Tiara adalah menantu kesayangannya. Mereka pasti akan memarahiku habis-habisan. Dan, pastinya mengancam-ancam akan memisahkanku dari Susi.Demi apapun, aku tak bisa berpisah dari Susi. Bisa tak tahu lagi cara bernapas nanti. Bagaimanapun caranya aku harus bisa mempertahankan hubungan ini.Tak terbayang kalau harus kehilangan wanita yang bisa mengenyangkan pandangan mata dan syahwat itu. Kerling nakal, gaya manja dan rayuan mesranya sudah jadi candu bagi hidupku saat ini.Dengan Susi, hasrat yang sempat padam bergelora kembali. Hidupku serasa sepuluh tahun lebih muda dan perkasa lagi. Sungguh, dunia menjadi lebih berwarna. Untuk Tiara sendiri, aku belum punya rencana men