Share

GENTONG DAN BIOLA

"Ini kartu nama saya. Kalau perlu bantuan, silakan hubungi. Sekarang, saya antar ibu pulang dulu, mari!" tawarnya lagi.

Aku mengambil kartu kecil berwarna coklat yang disodorkan Zayyin. Memerhatikan sebentar dan membaca tulisan yang tertera di sana.

Ternyata orang ini pengacara. Di sana tertera alamat kantornya dan nomor ponselnya. Kumasukkan dalam tas. Lalu, menyelipkan sembarang di dalamnya. Mungkin suatu saat akan berguna.

Sepanjang jalan, aku lebih tenang. Tak lagi menjerit-jerit dan memukul jok. Aku lebih memilih diam dan memandang keluar jendela mobil. Bukan menikmati pemandangan, tapi hanya melamun tak jelas.

Pria itu tak bicara sepatah katapun hingga tiba di halaman rumah. Ia hanya fokus menyetir dan larut dengan pikirannya sendiri. Kami akhirnya terjebak dalam kebisuan cukup panjang.

"Terima kasih!"

Aku tak mau bicara banyak setelah sampai rumah. Inginnya langsung masuk karena kacaunya perasaan.

Zayyin pun sama. Tak bicara. Ia hanya menjawab sama-sama, lalu pamit dan langsung masuk ke dalam mobil.

*

Aku menatap bayangan wanita dengan berat 103 kilogram dalam pantulan cermin. Bentuknya seperti botol minyak bim*li. Kepala kecil, badan besar dan lurus. Bagian dada melebar ke pinggir, pinggang rata dengan pinggulnya. Sungguh tak sedap dipandang mata

Tinggi hanya 150 sentimeter, dengan berat segitu wajarlah disebut gentong oleh suamiku sendiri. Katanya tinggal didorong juga menggelinding. Parah memang kata-katanya, tapi aku tak memasukkannya dalam hati. Takut tekanan batin.

Berulang kali mas Ragil menyuruhku diet. Katanya takut obesitas dan nanti gampang sakit. Itu di mulut, di hati pasti karena memang tak suka dengan penampilan istrinya.

Kupikir kondisi badanku yang terus melebar efeknya hanya celaan suami. Nyatanya tidak. Fisik yang tak lagi sedap dipandang mata berbuah petaka. Mas Ragil menikah lagi dengan gadis muda, cantik dan seksi. Kalau dibaratkan perempuan itu kayak biola Spanyol

"Jahat, kamu jahat, Mas! Kenapa menghukumku sekejam ini! Aku memang salah, tapi apa harus seperti ini caranya?"

Aku lemparkan botol parfum ke cermin yang terus mengejek dengan menampilkan bayangan gentong bernyawa. Tak puas, sekuat tenaga kulempar lagi, dan lagi dengan apapun yang dapat dijangkau tangan.

"Hai, cermin rasakan sekarang kau tak bisa lagi memperlihatkan bayangan gentong!"

Aku tertawa menggelegar, tak lama berhenti lagi. Badanku luruh ke lantai. Lalu, menangis sekeras-kerasnya di sana.

Malam ini, dia pasti sedang menikmati madu malam pengantin sama biolanya. Membayangkannya saja emosiku kembali melampaui gelombang tsunami.

"Aaang, Aaang! Kamu jahat, Mas, jahat!"

Aku memukul-mukul lantai hingga kepalan tangan sakit semua. Karena tak kuat memukul lagi, aku hanya bisa menangis sambil menghentak-hentakkan kaki.

*

Hari ini hatiku lebih tenang. Selesai makan, sebelum meninggalkan meja, aku mulai memikirkan solusi atas masalah ini.

Sebenarnya aku sudah tak tahan, inginnya cerai saja agar tak harus menanggung amarah setinggi Himalaya. Tiap kali membayangkan mereka sedang memadu asmara, dada ini seperti mau meledak.

Namun, benar kata Zayyin, aku akan rugi berkali lipat jika cerai begitu saja. Paling banter hanya dapat uang sekian puluh juta, selebihnya si Susi Similikiti itu yang menikmati kekayaan ini.

"Enak saja!"

Aku menggebrak meja hingga perabotan makan saling berloncatan. Sayur asem buatan bi Eti pun sedikit tumpah.

Tapi, tetap hidup dimadu juga akan terus tersiksa. Belum lagi kecenderungan mas Ragil pasti lebih tinggi pada pelakor gila itu.

"Arggh, sialan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status