"Bu, ada undangan!"Aku menerima sepucuk undangan yang disodorkan bi Eti. Setelah wanita itu undur diri, aku langsung membukanya.Ternyata pak Slamet mau menikahkan anaknya. Aku harus memberitahu mas Ragil sebab ini teman dekatnya.Tapi, kalau aku beritahu nanti dia bakal datang sama si Susi. Kurang ajar sekali. Sudahlah, biar kuwakili saja.Kenapa juga undangan ini mepet datangnya. Apa lupa bahwa kami teman lama. Atau saking banyak undangan, jadi terselip mungkin.Itu tak penting. Lebih baik sekarang cari baju baru untuk ke undangan. Kudu yang bagus. Mereka tak boleh memandang iba seorang Tiara. Akan kutunjukan bahwa dunia baik-baik saja meski telah dikhianati.Tiara bukan wanita lemah yang hanya bisa meratapi nasib. Aku harus tetap bertahan sampai tujuan pemindahan harta tercapai. Tidak boleh ada yang menganggap Tiara lemah dan hanya bisa meratapi nasib di tempat tidur. Itu tak boleh terjadi sama sekali sebab aku punya harga diri tinggi. Aku tahu mas Ragil tidak bodoh. Ia pasti tak
Hari ini, aku mendatangi undangan pernikahan anak pak Slamet. Dengan fashion pilihan mami Della, aku tampil lebih percaya diri. Tak kalah dari pakaian selebritis. Kalau aku langsing pasti lebih keren lagi. Sayangnya masih gendut. Pesta yang digelar di gedung Yasmin ini tergolong mewah. Maklumlah pak Slamet 'kan pengusaha matrial yang cukup sukses. Gengsilah pesta anaknya kalau gak besar-besaran.Setelah mengucap selamat pada mempelai dan keluarga, aku langsung menuju prasmanan. Di sinilah godaan makan bertarung dengan keinginan langsing.Tapi, laper!Makan ajalah sedikit, gak apa-apa asal gak berlebihan.Aku mulai menyuap makanan yang diambil barusan. Kali ini porsinya dikurangi sepertiga dari biasanya. Semoga perut tak berontak sebab jatahnya lebih sedikit. Ketenanganku menikmati makanan ternyata tak bisa lama. Kedatangan mas Ragil dan istri mudanya telah menghancurkan kedamaian hatiku secara tiba-tiba.Jadi, dia sudah tahu ada undangan pak Slamet? Dan, sengaja tak menghubungiku ka
"Saya gak mau makan!"Zayyin membawaku ke sebuah restoran yang berjarak lima belas menit perjalanan dari gedung Yasmin. Aku tak mau sebenarnya masuk ke sini, tapi dia meyakinkan takkan lama. Dan, katanya lagi jadi bisa ngobrol aman tentang sesuatu yang penting.Tempat ini sepi pengunjung jadi terasa luas pemandangannya. Hanya ada set meja kursi berjejer rapi juga di dinding berkaca banyak. Ada alunan musik romantis yang mengiringi sepanjang keberadaan kami di sini. Tapi, hal tersebut tak membuat suasana hatiku membaik. Masih panas bahkan membara. "Oh, ya sudah biar saya saja yang makan. Tadi 'kan saya belum sempat prasmanan. Keburu ngamanin ibu!"Dih, bodo amat. Salah sendiri ikut campur urusan orang. Dan, aneh juga, sih, kenapa aku malah duduk melihatnya makan. Gak ada kerjaan saja. Dasar orang aneh. Seperti Zayyin emang benar-benar lapar. Dia lahap banget saat menyantap makanan yang sudah tersaji. Sebenarnya makanan yang dipesan terlihat enak, tapi aku enggan menyentuh. Ada guram
Aku berusaha menurunkan kadar emosi agar penjelasan ini gak tertolak pikiran dan hati. Kuresapi kata demi katanya biar bisa dimengerti. Hampir semua ucapannya benar, bahkan semuanya benar.Pria ini memang lihai membaca keadaan. Atau karena ada di posisi komentator, bukan pelaku. Seperti permainan bola. Komentator lebih jeli mencari peluang dan hambatan di lapangan. Sementara para pemain kadang terjebak dengan situasi tak terduga. Mas Ragil memang tengah buta oleh cinta dan napsu. Ia pasti tak bisa melihat alasan aku bertindak sereaktif itu tadi. Di sisinya kini aku tentu salah dan keterlaluan. Tapi, mau bagaimana lagi, aku terlanjur emosi tadi. Bahkan, belum puas menyiksa Susi. Aku ingin dia babak belur, berdarah-darah bahkan mampus. Kalau begitu baru puas. Siapakah wanita yang tidak panas melihat suaminya malah pameran istri baru. Aku dihubungi saja tidak kalau memang dia sudah tahu soal undangan itu. Apa tidak terbersit di pikirannya bahwa aku juga menerima undangan dan kemungkina
SUSI"Sakit, Mas!" rajukku dengan nada dibuat semenyedihkan mungkin. Ini penting agar mas Ragil lebih panik lagi. Dan, kuharap dia akan makin benci pada si gentong itu.Dasar gentong burik. Mau bersaing denganku, Hah? Lihat saja kamu pasti akan berakhir menyedihkan. Aku akan menguasai jiwa, raga dan harta mas Ragil hingga tiada yang tersisa untuknya. "Tiara memang keterlaluan, aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kebarbarannya!"Aku mengulum senyuman mendengar perkataan itu. Nada amarah kentara banget dari nada suara mas Ragil."Aduh, aduh!"Aku makin mengaduh agar semakin ngeper nyali mas Ragil. Kupegang beberapa bagian tubuh yang tak semua sakit. Biar saja dibikin drama lebih kuat. Pria bodoh ini sudah buta karena cinta dan napsu. Dia takkan lagi bisa membedakan mana sungguhan mana drama. Baginya sakitku adalah sakitnya.Sikap lembut dan manjaku akan membuat mas Ragil makin terjerat. Di benaknya harus terwujud bahwa Susi adalah wanita sempurna. Cantik, seksi, lembut dan
RAGILRuwet, ruwet, ruwet!Kenapa urusannya jadi begini? Kenapa Tiara jadi ngadu-ngadu sama keluarga? Gak dewasa banget cara dia menyelesaikan masalah.Ini 'kan masalah rumah tangga kami. Harusnya tak melibatkan orang luar. Selesaikan saja berdua atau bertiga jika melibatkan Susi.Aku paham betul sifat mama dan bapak. Tiara adalah menantu kesayangannya. Mereka pasti akan memarahiku habis-habisan. Dan, pastinya mengancam-ancam akan memisahkanku dari Susi.Demi apapun, aku tak bisa berpisah dari Susi. Bisa tak tahu lagi cara bernapas nanti. Bagaimanapun caranya aku harus bisa mempertahankan hubungan ini.Tak terbayang kalau harus kehilangan wanita yang bisa mengenyangkan pandangan mata dan syahwat itu. Kerling nakal, gaya manja dan rayuan mesranya sudah jadi candu bagi hidupku saat ini.Dengan Susi, hasrat yang sempat padam bergelora kembali. Hidupku serasa sepuluh tahun lebih muda dan perkasa lagi. Sungguh, dunia menjadi lebih berwarna. Untuk Tiara sendiri, aku belum punya rencana men
RAGILAku berusaha bersikap tenang menghadapi situasi ini. Aku paham Tiara sedang bermain strategi. Dia bukan wanita bodoh yang gampang kalah oleh satu gertakan. Mentalnya cukup kuat sekuat badannya membanting benda-benda berat. Bahkan, tubuhku pun sepertinya bisa dibanting. Terbayang kalau sampai terjadi. Bisa masuk delik kekerasan istri pada suami. "Saya sakit hati, Mah. Dan faktanya mas Ragil tak adil. Sudah satu bulan dia tak pernah pulang ke rumah. Bahkan, sekedar menelpon saja tidak. Dia benar-benar telah mencampakkan Tiara. Saya yakin ke depan akan lebih tak adil lagi. Mungkin saya dan anak-anak akan ditendang kejalanan. Lalu dia dan si Susi itu bersenang-senang di atas derita kami!"Sialan! Kenapa aku sebodoh itu tak pulang-pulang selama sebulan. Ini gara-gara Susi yang selalu menggoda. Mana tahan dirayu-rayu sampai lupa masih ada Tiara.Terpaksa sangat terpaksa aku mengakui dan minta maaf. Lalu, berjanji takkan mengulangi. Ini harus dilakukan agar urusan jangan diperpanjang.
TIARAAku tak memedulikan teriakan orang-orang. Terus saja berjalan menuju mobil. Bahkan kini berlari sebab dikejar mas Ragil.Sebenarnya aku pengen ngakak menghadapi ini. Rasanya sesuatu banget bisa main drama yang bikin orang-orang panik. Terutama mas Ragil yang aku yakin dia pun main sandiwara juga .Air mata yang dikeluarkan itu buaya. Aku tahu dia mencolok matanya. Hih, jangan dikira aku ini buta dan bodoh bisa kena tipuan murahan.Dari pertemuan ini aku dapat menyimpulkan mas Ragil tak bisa dipercaya. Akal, hati dan raganya sudah bukan milikku. Ia telah persembahkan untuk Susi.Ia bukan takut berpisah denganku, tapi kebat-kebit sebab hubungan dengan Susi terancam. Akan halnya mas Ragil tetap mempertahankan tali perkawinan kami karena anak dan orang tuanya. Hal itu belum tercabut dari nurani.Gerakanku masuk mobil terhenti sebab dihalangi tangan mas Ragil. Ia berdiri di depan pintu yang terbuka hingga badan ini tak bisa ke sana."Tiara jangan begini. Kamu bisa pegang ucapan mas.