RAGILAku kehilangan kemampuan bicara. Sepertinya mending pasrah saja menerima amukan massa.Setelah bicara begitu, Susi memutuskan sambungan telepon. Dan, aku dengan lemas duduk di tepi ranjang.Ya. Tuhan! Apa yang harus kulakukan?"Mas, liat, deh banyak banget yang komen di statusku. Mereka banyak yang mendoakan kita! Aku seneng banget, loh!"Tiara memperlihatkan postingan FB dan IG nya. Oalah, pantas saja Susi tahu, postingan itu menandai akunku. Alamaak tobat tobat!Aku tak berani memarahinya. Dia pasti sedih sebab kesenangannya diganggu. Sudahlah nunggu nasib saja. "Jalannya siang aja, ya aku masih pengen rebahan. Masih cape seharian 'kan kemarin main!" pinta Tiara.Aku setuju dengan ucapan Tiara. Badan ini juga rasanya masih lelah. Ditambah pikiran kacau sebab Susi akan datang ke sini.Mau mengajak Tiara pulang, kadung janji dua hari nginap di sini. Kalau masih di tempat ini takut huru-hara pas Susi datang.Duh, Gusti! Aku harus gimana ini!Akhirnya kami asyik dengan HP masing-
RAGIL"Jam tiga kamu pulang, ya. Besok mas pulang dan langsung ke rumahmu bawa berita baik. Kalau kamu tetap di sini mas gak bisa bergerak untuk mencapai tujuan kita."Beribu rayuan kulontarkan demi meluluhkan hati Susi. Kalau wanita ini tak mau pergi, bisa gagal seluruh rencana. Sia-sialah semua usahanya. Dalam hati, aku merutuki kelakuan dua wanita ini.. Mereka sama-sama bar-bar. Emosinya tak terkendali hingga bertindak semuanya. Ingin rasanya memarahi, tapi tak mungkin juga. Nanti yang ada malah lebih parah amarah mereka..Susi mau mendengarku kali ini. Ia akan pulang jam tiga. Untunglah bawa supir jadi takkan lelah nyetir.Satu masalah kelar, aku bisa kembali konsentrasi pada misi semula.Rasanya seolah batu yang menindih kepala sudah hilang. Badanku jadi ringan sebab satu beban hilang. Ternyata wanita selain emosional, juga perasa. Kalau. Kalau perasaannya disentuh, akan luluh lantak. Seperti itulah keadaan Susi saat ini. Kayak kerupuk tersiram air panas. Jam tiga aku mengantar
TIARA"Bidadari-bidadariku, badan Mas sudah sakit banget, Please jangan gebukin lagi. Damai, yuk, damai!"Dengan suara tercekat mas Ragil mengajukan permohonan. Sebenarnya belum puas melampiaskan amarah, tapi kasihan juga melihatnya sudah sangat kesakitan.Kebayanglah digebukin pakai tas dan sepatu kami. Niatnya mau mukul lawan, tapi karena mas Ragil ada di tengah, yang kena otomatis dia. Dan pukulannya tak hanya sekali. Kami kalap ingin menyakiti lawan hingga pria itu jadi sasaran. Mas Ragil kubantu agar bisa duduk. Susi pun ikut cari perhatian dengan pura-pura meringis. Matanya dibuat sesendu mungkin. Terus bibir dimonyongkan"Heh, gosah akting! Lo 'kan gak kena gebuk!"Susi melotot dan siap buka suara. Mas Ragil secepat kilat melerai agar bom tak meledak lagi. Pria itu mengarahkan dua tangannya hingga terhalang lah kami. "Intan berlianku udah-udah, ayo duduk manis deket Mas, yuk, Tayonk!"Karena kasihan padanya saja aku nurut. Sekaligus harus tetap memainkan sandiwara ini. Sebelu
TIARA Selepas sholat subuh, mas Ragil mendatangi kamarku. Katanya mau bicara hal penting. Aku tahu apa yang akan dibicarakan. Pasti soal izin poligami.Ternyata aku tak harus memulai obrolan ke arah sana. Dia datang sendiri daking sudah ruwet masalahnya. Sepertinya Susi tak berhenti merajuk. Biar saja, itu bagus malah."Mas mau minta maaf jika permintaan mas akan menyakitimu lagi. Jujur kebersamaan kita kemarin seperti membuka kunci kegelapan hati ini. Mas merasa jadi manusia paling jahat sama kamu. Tapi, mas tetap akan menyampaikan sebuah permintaan untuk masa depan kita semua."Aku menghela napas berulang-ulang agar tak terbawa perasaan. Emosi ini harus dijaga supaya tujuan dapat tercapai."Mas mau minta apa?"Kata Zay aku harus bersikap pura-pura tak tahu. Biarkan saja lelaki itu menyampaikan maksud dan tujuannya."Anu, itu, mas, emhhh!"Suaranya mulai tergagap. Mungkin, dia takut sekali aku akan ngamuk. Tenang mas Ragil, aku emang akan akting ngamuk dikit."Apa?""Mas mau minta k
TIARASekarang aku,, Zay dan mas Ragil duduk satu meja. Kami akan membahas harta apa yang akan dipindah atas namaku. Juga tahapan pengalihannya.Mas Ragil minta pengalihannya bertahap agar aku tak kabur. Ia belum percaya setelah ini aku tak lari dari sisinya.Zay menganggukkan kepala sebagai kode aku lebih baik setuju. Meski berat, akhirnya aku menyetujui."Jadi, sebelum sidang akan dialihkan lima persen. Lepas sidang lima persen. Sisanya lima persen per-enam bulan. Dan, di sana juga ada perjanjian, Tiara takkan menggugat cerai kecuali aku berlaku zolim padanya. Jika Tiara menggugat cerai tanpa alasan kezoliman maka setengah harta yang telah dialihkan harus dikembalikan."Aku ingin menghalau perjanjian itu, tapi Zay nginjak kaki ini. Aku melotot padanya. Yang dipelototi kalem saja ternyata.Ya, Tuhan, jadi aku harus hidup dengan penikahan poligami selama bertahun-tahun. Bahkan, bisa tak lepas dari kungkungan mas Ragil selamanya.Ternyata pria ini cerdas juga. Dia membuat strategi yang
TIARASusi dan mas Ragil datang lepas Zuhur. Aku sengaja bilang datangnya di jam makan siang saja biar bisa makan bareng.Aku menyambut Susi dengan ramah, tapi tidak lebay. Khawatirlah nanti dicurigai kalau terlalu drastis perubahannya."Mas senang sekali kalian bisa rukun. Semoga kita bisa bahagia sampai kakek nenek."Bahagia cengkokmu. Aku mual tahu harus bersandiwara manis pada Susi. Selamanya aku takkan menerima kehadiran dia. Malah ingin secepatnya menendang pelakor itu.Stok sabarku harus terus diisi biar tak lepas kendali. Memang menyebalkan harus bersandiwara jadi ibu peri. Tapi, demi ambisi aku akan tetap menjalani ini."Susi juga senang, mba Tiara mau menerima Susi sebagai adik madu. Susi juga akan berbuat lebih baik pada mba Tiara."Sakarepmu, Sus. Aku gak percaya sedikit pun sama ucapan manismu itu. Kalau hati jahat, ya omongan gak bisa dipercaya."Ayo kita makan dulu!"Mas Ragil dan Susi terkesiap melihat hidangan yang kusajikan. Meja bulat itu dua pertiganya berisi aneka
TIARADaripada makan hati, lebih baik anggap saja dia emang bloon. Tak mengerti cara menjaga perasaan orang lain.Lah, dia jadi pelakor pun 'kan menandakan tak punya perasaan. Baginya yang penting bisa bersama dengan mas Ragil. Tak dipikirkan gimana perasaan istri pertama.Apalagi mereka main belakang. Tak ada sebelumnya omongan dari mas Ragil atas niatannya menikah lagi. Jelaslah aku tak siap dan syok mendapati kenyataan itu.Saat pulang, kuberikan Susi bekal makanan yang sangat banyak. Ada dua tote bag ukuran jumbo. Kubilang buat stok jadi tak harus repot masak.Untuk kesukaan mas Ragil, aku tak menaburi dengan obat penggemuk badan. Itu agar ia tak curiga kenapa nanti lapar terus.Untuk kue-kue aman sebab mas Ragil tak suka. Ia takkan menyentuh makanan itu pasti."Terima kasih, loh, Mba. Maaf udah merepotkan. Jadi gak enak dibekelin banyak-banyak!""Jangan lupa tiga hari lagi ke sini untuk belajar masak!"Kami sudah membuat kesepakatan untuk jadwal belajar masak. Ada juga janjian ke
RAGILAku merasa napsu makan Susi tidak normal akhir-akhir ini. Masa iya bisa makan berat sampai lima kali sehari. Belum lagi cemilan yang tidak bisa disebut ringan. Kadang bakso, somay, soto mie atau ketoprak. Itu semua berat jugaSepertinya aku harus menyelidiki apakah yang terjadi padanya normal atau tidak. Mungkin harus mengecek ke dokter juga sebab khawatir nanti makin tak terkendali.Ketika Susi tak ada aku mulai menggeledah rumah. Siapa tahu di sana ada obat-obatan perangsang nafsu makan. Atau ada vitamin penggemuk badan misal.Dicari di mana pun tak ada. Kalau begitu bisa disimpulkan ini murni memang daya kendali terhadap makanan yang rendah. Seperti Tiara dulu. Ketika kehidupan kami mapan, dia mulai berkelana pada kuliner-kuliner yang tentu saja memicu berat badan naik. Setelah itu keranjingan dan sulit dihentikan.Apakah Susi demikian? Sebelum menikah denganku mungkin ia kesulitan untuk mencari makanan enak. Sekarang semua bisa didapatkan dengan mudah. Dan itu membuatnya san