"Mas, ini uang empat juta yang aku pinjam untuk menebus sisa hutang ibuku waktu itu. Sekarang aku sudah ada dana, jadi aku kembalikan. Kamu jangan tersinggung ya, aku cuma ingin membuat ibu tenang karena sudah melunasi hutangnya," ucapku pada Mas Naufal sembari memberikan lembaran seratus ribuan itu ke pangkuannya.
Mas Naufal yang masih asyik ngobrol di ruang keluarga, membahas hajatan kemarin yang sepertinya cukup meriah itu pun tercekat seketika. Dia masih saja bengong melihat lembaran merah di pangkuannya. Begitu pula mama, Mbak Rani dan Ratna. Mereka kompak melihat tumpukan uang di pangkuan Mas Naufal lalu beralih menatapku penuh tanya dan sepertinya curiga darimana aku mendapatkan uangnya. "Dapat duit darimana kamu, Sayang? Kan aku bilang nggak perlu dikembalikan. Aku ikhlas kok buat bayar hutang ibu," sahut Mas Naufal kemudian. "Ih kamu itu, Fal. Namanya hutang ya harus dibayar. Tak peduli dia dapat uang itu darimana yang penting tiap hutang wajib dibayar. Jangan terlalu lembek jadi suami, nanti harga dirimu jatuh karena diinjak-injak istri," balas Mbak Rani cepat. "Bukan begitu, Mbak. Selama menikah, Alya nggak kerja di luar. Wajar jika aku tanya darimana dia dapatkan uang sebanyak itu kan? Lagipula ketakutan Mbak Rani terlalu berlebihan. Mana mungkin Alya menginjak-injak harga diri suaminya. Dia bukan istri seperti itu. Alya penurut, perhatian dan--"Jangan bucin deh, Kak. Nanti dia ngelunjak," timpal Ratna sembari mengucir rambut panjangnya."Bener itu, Fal. Nanti Alya makin besar kepala kalau kamu terus membela dan memanjakannya!" timpal mama cepat sembari melipat tangan ke dada."Memangnya Mas Naufal pernah memanjakanku, Ma? Selama tiga bulan menikah dengannya, aku belum pernah diajak jalan berdua. Selalu di rumah dengan alasan perempuan memang baiknya di rumah. Di rumah pun aku tak pernah ongkang-ongkang kaki, tapi bekerja keras mengurus semuanya di saat yang lain duduk santai sembari berselancar di sosial media. Apa itu yang namanya dimanja?" Entah keberanian dari mana akhirnya aku mengungkapkan semua rasa yang menyesaki dada itu. Mama melotot lebar. Begitu pula Mas Naufal yang mendadak merah padam. Dia pasti marah besar karena aku sudah membantah ucapan mama.Atau ... dia marah karena ceritaku yang tak pernah dimanjakannya? Bukankah ceritaku memang benar, lantas buat apa dia marah?"Alya! Kamu jangan keterlaluan." Mas Naufal kembali menatapku tajam. "Maaf kalau kata-kataku membuatmu tersinggung, Mas. Aku tak bermaksud demikian. Hanya saja aku nggak rela disebut istri manja karena selama ini aku memang tak semanja itu." Aku menunduk, menyeka kedua sudut mataku yang basah sementara Mas Naufal menghela napas panjang lalu kembali mengalihkan pandangan. "Lihat, Fal. Dia semakin ngelunjak karena selalu kamu bela." Mbak Rani kembali menimpali. "Kalau memang dia punya tabungan, kenapa selama ini sok nggak punya duit? Sengaja supaya nggak diminta buat belanja dapur?" tanya kakak iparku sengit. Aku mendongak lalu menatapnya beberapa saat."Belanja dapur sudah dapat jatah dari Mas Naufal, Mbak. Kenapa harus minta sama aku juga? Aku memang nggak punya duit. Sekarang ada duit soalnya-- "Alasan! Bilang saja kamu pelit. Sama keluarga sendiri kok perhitungannya kebangetan." Perempuan itu terus saja bicara seolah semua yang kukatakan dan kulakukan salah di matanya. "Kalau aku perhitungan, aku pasti minta uang bulanan sama Mas Naufal, Mbak. Dia suamiku yang memiliki kewajiban memberi nafkah untuk istrinya, tapi selama ini aku cukup diam dan mengalah tak memegang kendali atas gajinya. Aku bahkan diam saja saat gajinya dipakai untuk kebutuhan dapur, sekolah Ratna dan jatah bulanan buat mama. Bahkan Mbak Rani sendiri masih sering dikasih uang jajan darinya. Apa aku pernah mengamuk dan marah-marah? Bahkan protes pun seolah larangan besar buatku. Aku terus mengalah hingga detik ini." Bukannya introspeksi, Mas Naufal justru meradang mendengar kata-kata yang kuucapkan dari hati. Semua yang kukatakan benar dan bukan sekadar omong kosong belaka. Seharusnya dia bisa memperbaiki diri, bukan malah menyudutkanku dan memaksaku minta maaf seperti ini. "Minta maaf sama mama dan Mbak Rani sekarang, Al. Kamu sudah kelewat batas. Aku tak pernah mengajarimu seperti itu. Kenapa sekarang kamu jadi pembangkang? Apa karena merasa punya uang dan sudah melunasi hutang itu jadi kamu bisa berbuat sesuka hatimu seperti ini?" Mas Naufal beranjak dari sofa lalu menarik lenganku sedikit kasar. "Aku nggak salah, Mas. Kenapa harus minta maaf? Aku hanya mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Semua itu bukan mengada-ada, tapi memang benar adanya. Apa yang kelewat batas coba?" Aku masih saja membela. Rasanya capek terus dipaksa mengalah dan diam di setiap kejadian yang membuat hatiku terluka. Tiga bulan bukan waktu yang sebentar untuk memahami karakter penghuni rumah ini. Aku paham betul bagaimana sikap-sikap mereka. Awalnya kupikir hanya sehari dua hari saja mereka semena-mena, nyatanya sampai tiga bulan pernikahanku dengan Mas Naufal, mereka tak kunjung berubah. Bukankah itu artinya memang begitu attitude mereka? "Minta maaf sekarang, Alya. Minta maaf bukan berarti salah, tapi-- "Tapi apa, Mas? Kalau memang aku nggak salah, ngapain minta maaf?" Lirihku dengan mata berkaca. Mas Naufal bergeming setelah menghela napas panjang. Aku tahu sebenarnya dia dilema. Tak ingin terus menyakitiku, tapi dia juga tak ingin menyakiti hati mamanya. Pembelaanku ini dia anggap sebagai pemberontakan yang bisa membuat mamanya terluka. Oleh karena itulah, salah ataupun benar dia berharap aku tetap minta maaf. Selama ini aku memang selalu mengikuti perintahnya. Selalu mengalah dan minta maaf sekalipun bukan salahku. Namun, tiap kali aku minta maaf, mereka tak menyadari kesalahan mereka sendiri justru semakin jumawa karena merasa menang bisa menggenggam hati Mas Naufal. Aku dianggap istri tak berguna karena tak mampu membuat Mas Naufal luluh dengan pengakuan dan air mataku. "Istrimu benar-benar keterlaluan, Fal. Mama menyesal sudah menerimanya menjadi menantu di rumah ini. Seharusnya kamu cari tahu dulu bagaimana bibir, bebet, bobot dan kepribadiannya sebelum memutuskan menikah agar tak menyesal di kemudian hari. Tahu begitu mama memilih Erika daripada dia!" Sentak mama kemudian dengan mata berkaca. Mas Naufal cukup shock melihat ekspresi mama. Begitupula aku yang kaget mendengar nama perempuan lain disebut mama sebagai calon menantu idamannya. "Bukankah seharusnya aku yang bicara begitu, Mas? Bolehkah aku menyesal menjadi menantu di rumah ini? Perempuan yang dilamar seorang laki-laki dan berharap menjadi ratu justru dijadikan babu." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku membuat kedua mata Mas Naufal kembali membulat seketika. Marahkah dia? Bukankah seharusnya aku yang marah diperlakukan semena-mena oleh keluarganya semenjak menikah dengannya? ***Kebaya berwarna putih gading dengan hiasan swarovski membuat penampilan Alya terlihat cantik dan elegan. Dilengkapi dengan polesan make up flawless dan senyum tipisnya, membuatnya semakin mempesona. Beberapa kali Azka menatapnya kagum lalu tersenyum saat tak sengaja bersirobok dengannya. Tak ingin semakin salah tingkah, Azka pamit untuk menemui tamu setelah selesai dimake up.Keluarga besar Azka dari Jogja datang semua ke Jakarta untuk menghadiri hari spesialnya. Mulai dari keluarga papa angkatnya, kakak tirinya dan keluarga ayah kandungnya pun ikut datang. Kebahagian Azka semakin bertambah saat melihat keluarga besarnya akur dan kumpul hari ini.Melihat keluarga besar Azka, Alya pun merasa bersyukur. Dia yang selama ini tak memiliki keluarga akhirnya mendapatkan keluarga baru yang begitu hangat dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Berulang kali Alya mengucapkan Hamdallah atas semua karunia-Nya. Dia yang selama ini mendapatkan banyak ujian, akhirnya kini mendapatkan kenikmatan berl
"Alya, maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan Azka saat makan malam itu masih teringat jelas di benak Alya. Sesekali dia tersenyum saat membayangkan kembali momen mendebarkan itu. Dengan sedikit jongkok, Azka membuka kotak cincin itu lalu mengangsurkannya ke arah Alya yang berdiri di depannya. Laras tersenyum tipis melihat keromantisan yang sudah direncanakan anak lelakinya untuk menyambut Alya. Ruangan tak terlalu lebar yang dihiasi beberapa bunga mawar putih dan balon berbentuk hati itu semakin membuat nuansa romantis di dalamnya. Lilin-lilin kecil di tepi dinding seolah menjadi sakti ungkapan cinta lelaki tampan itu. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Akan kuletakkan bahagiamu di atas bahagiaku, Alya. Percayalah, karena bahagiamu adalah bahagiaku jua." Azka tersenyum tipis menatap Alya yang masih mematung. Dia terharu dengan semua perjuangan Azka selama ini. Berkali-kali ditolak dan diabaikan, berkali-kali pula dia bangkit dan membuktikan cinta tulusnya. Alya yang sebelum
Kasus Erika mulai masuk ke meja hijau. Alya didampingi Nuri, Laras dan Azka beserta pengacaranya sudah duduk di kursi yang disediakan. Para pelaku pun mengikuti sidang ini dan duduk tak jauh dari tempat Alya berada. Alya tampak begitu cemas setelah memberikan penjelasan tentang kejadian itu. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang saat Laras dan Nuri kembali meyakinkannya jika semua akan baik-baik saja. Tak banyak kata, Azka berusaha meyakinkan Alya dengan caranya. Senyum tipis dan tatapan lekatnya membuat Alya sedikit lebih tenang. Dia merasa banyak orang yang begitu menyayangi dan mendukungnya saat ini. Pengacara yang disewa Azka pun bukan pengacara sembarangan. Dia cukup kompeten di bidangnya bahkan termasuk pengacara terkenal yang berhasil memenangkan beragam kasus rumit. Azka ingin melakukan yang terbaik untuk Alya karena dia tahu orang tua Erika pasti juga akan melakukan beragam cara untuk membantu anak semata wayangnya. Sidang berjalan cukup sengit karena orang tua Erika dan
Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin
"Telepon siapa sampai shock begitu?" Pertanyaan Naufal yang tiba-tiba membuat Erika semakin kaget. Dia tercekat lalu membalikkan badan. Keringat dingin mulai membasahi kening. Kali ini dia benar-benar ketakutan dengan gertakan Azka. Tak sekadar gertakan, Erika yakin ada sesuatu yang menimpa anak buahnya. Sejak semalam mereka memang nggak memberi kabar apapun pada Erika. Mereka takut kecerobohan Erika hanya akan membuat mereka tertangkap basah. Mereka, terutama Edward cukup tahu bagaimana sikap Erika yang sering gegabah dan tak bisa berpikir panjang saat melakukan sesuatu. "Siapa?" tanya Naufal lagi. Tanpa menunggu balasan Erika, Naufal menarik kasar benda pipih di tangan perempuan itu. Erika berusaha mempertahankan handphonenya, tapi Naufal berhasil mendapatkan bende mungil kesayangan Erika itu. Naufal menatap layar lalu mencari menu panggilan terakhir di handphone itu."Alya?!" ucap Naufal dengan mata membulat. Dia menoleh pada Erika yang kini mendadak diam. "Ngapain kamu telep
Naufal pergi dengan ekspresi kesal. Raut wajahnya memerah karena emosi. Alya tak lagi peduli. Baginya, laki-laki itu hanya bagian dari masa lalu yang harus dia lupakan. Alya tak ingin mengingatnya lagi karena semakin diingat, rasa sakit itu justru semakin terasa. "Benar mau menikah denganku?" tanya Azka lirih setelah Naufal keluar rumah. Alya tercekat. Alya tak menyangka jika Azka masih sadar karena dia pikir laki-laki itu sudah pingsan. Wajahnya memerah seketika saat menoleh pada Azka yang membenarkan letak duduknya. Salah tingkah. Alya benar-benar kikuk dan tak tahu harus membalas apa. "Benar mau menikah denganku, hmmm?" ulang Azka dengan senyum tipis membuat Alya sedikit kesal. "Pura-pura pingsan?" tanya Alya kemudian. "Ngapain pura-pura. Aku hanya diam saja menahan sakit. Nggak menyangka diamku ada gunanya juga," sambung laki-laki itu."Dasar!" rutuk Alya pendek lalu bangkit dari lantai, sementara Azka mengikuti Alya dengan berdiri perlahan dan duduk kembali ke sofa. "Sudahl