POV Melati"Halo, Mbak Melati." Bu Tami menyapa ketika melihatku datang bersama motor yang langsung dimatikan mesinnya. Wanita itu mendatangiku mengulurkan tangan untuk bersalaman kemudian mencium pipi kanan dan kiri."Ih, Mbak Melati ini cantik banget." Wanita itu kembali berucap. Membuatku mengulum senyum. "Terima kasih, Bu. Bagaimana ini? Apa kita langsung ke alamat rumahnya sekarang?" tanyaku pada Ibu Tami."Tapi Mbak Melati saya bawa mobil. Bagaimana kalau Mbak Melati ikut saya. Biar motor Mbak Melati dititipkan di warung itu?" Ibu Tami menunjuk warung makan sederhana yang letaknya tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku menatap sekelilingnya. Di sana ada bapak tukang parkir berseragam orange. Membuatku lega jika harus menitipkan kuda besi itu di warung tersebut."Boleh, Bu. Saya titipkan sekarang ya.""Mbak Melati kita nggak sarapan dulu?" tanya Ibu Tami membuatku menghentikan langkah."Kebetulan saya sudah sarapan. Ibu Tami mau sarapan dulu?" tanyaku."Ow, ya sudah nanti saj
****Aku duduk di sofa. Dengan tangan membawa keripik singkong kesukaan. Pandanganku tertuju pada layar televisi yang menyala. Tok … tok.Suara ketukan pintu itu terdengar dari luar. Membuatku terkejut. Karena ketukannya kini berubah menjadi gedoran yang cukup kuat.Aku menyibak gorden jendela melihat siapa yang bertamu. Seketika wajahku berubah menjadi masam. Setelah melihat siapa yang datang. Ceklek"Lama banget sih? Ngapain kamu di dalam, ha?" Mas Bima langsung bertanya dengan nada tinggi. Membuatku berdecak tidak percaya."Ada apa sih, Mas. Ribut-ribut!" tanyaku tidak kalah ketus. "Beberapa hari lalu Mita kesini kan sama suaminya? Dia ngasih kamu sertifikat rumah?" Aku diam mendengar penuturan laki-laki itu."Terus kamu bilang juga sama mereka kalau aku minta kamu buat ganti rekening yang biasa jadi rekening punya kamu?""Iya," jawabku santai. Membuat laki-laki itu terlihat marah. "Mana sertifikat itu!" pinta Mas Bima dengan mata melotot. Benar saja, uang yang dikirim Mita tem
DuarBak disambar petir di siang hari. Ucapan Rian baru saja membuat Mas Bima begitu juga aku terkejut bukan kepalang. Pertanggungjawaban apa yang dimaksud anak laki-laki itu? Apakah Sari hamil? Ya Tuhan, jika itu terjadi bagaimana dengan ibu mertuaku. Pastinya akan syok berat. "Maksud kamu apa? Ha?" tanya Mas Bima. Tangannya mencekal pergelangan tangan Rian. Membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan.Aku hanya diam. Berfikir sejenak. Apakah ini ada hubungannya dengan hoodie yang dibeli Sari beberapa waktu lalu? Dan sekarang jaket berukuran besar itu ada dirumah ini. Apakah itu salah satu tujuan Sari menutupi perutnya? Ah, ini berita besar dan juga menghebohkan."Sari hamil?" Aku langsung bertanya pada intinya. Mas Bima yang mendengar pertanyaanku pun seketika menoleh ke arahku. Pembicaraan soal sertifikat rumah yang tadi sempat memanas pun menguap begitu saja. Karena kehadiran Rian."Bicara apa kamu, Melati?!" sungut Mas Bima tidak terima dengan pertanyaan yang baru saja aku ucapka
"Mau kemana, Bu?" tanya Bima ketika melihat Rosita berjalan menuju pintu utama hendak keluar."Mau belanja, Bim? Kita harus tetap makan! Uang Ibu tinggal ini!" Rosita berhenti sebentar, memperlihatkan lembaran uang merah yang berada di genggamannya. Bima yang melihat uang tersebut hanya bisa menghela napas panjang. Lalu membuangnya perlahan. Kemarin niat Bima ke rumah Melati hanya untuk menanyakan perihal uang dan juga sertifikat. Entah mengapa tujuan itu justru ia lupakan. Bima malah mendapati Rian. "Nanti Bima ke rumah Melati lagi, buat minta uang!""Kamu ini kerumah Melati mau minta uang atau sengaja sih Bim, mau minta Melati buat rujuk?!" Suara Rosita meninggi. Entah mengapa semenjak terungkapnya kehamilan Sari, Rosita sedikit sensitif. Apalagi jika pembahasannya tentang Melati. Bima yang mendengar penuturan sang Ibu lantas mengalihkan pandangannya pada wanita itu. "Ibu bicara apa sih? Bima ini mau minta sertifikat yang di bawa Melati. Begitu juga uang kita yang ada padanya. Ib
"Kalau begitu saya duluan Ibu-ibu, belum masak." Rosita mencoba memberi alasan. Segera Roista berjalan cepat menuju rumah. Memastikan semua tetangga tidak kembali bertanya-tanya.Tap … tapLangkah Rosita cepat dan hentakannya cukup kuat. Membuat Sari yang berada di kamar langsung bergegas keluar."Ibu kenapa sih, pulang-pulang kek begitu!" tanya Sari membuat Rosita menatapnya kesal."Semua ini gara-gara kamu, Sar. Andai saja kamu tidak hamil, semuanya tidak akan seperti ini!""HOek … hoek … ibu beli apa sih?" tanya Sari. Tangannya membungkam mulut yang hendak mengeluarkan semua isi yang ada didalamnya. Tatapan Sari Tertuju pada kantong plastik berwarna putih itu."Apa-apaan sih kamu, Sari? Ini Ibu cuma beli ikan asin!""HOek …." Semakin keras suara Sari saat dirinya mual kala mencium bau ikan asin. Entah mengapa indera penciumannya dan juga indera pengecap ya lebih tajam. Membuat Sari yang tidak suka akan bau-bau amis langsung mual."Sar, kamu nggak papa kan?" tanya Rosita kembali. W
"Sebaiknya aku apakan sertifikat ini? Biar Mas Bima tidak terus-terusan menerorku," gumam Melati seorang diri. Bagaimana ia tidak berpikir keras Bima selama ini sudah mengusik ketenangan ya. Padahal proses perceraian tengah bergulir di meja hijau. Tapi laki-laki itu seolah-olah tidak pernah membiarkan Melati hidup tenang."Aku tau harus bagaimana. Salah sendiri kamu sudah berbohong sama aku, Mas. Jadi aku akan gadai rumah itu pada Pak Rojak. Salah satu rentenir di kampung ini. Hahaha, aku sudah tidak sabar lagi melihat gimana reaksi kamu nantinya, Mas. Jika tahu aku gadai rumah itu." Tawa kemenangan di tunjukan Melati.Dengan cepat Melati mengambil sertifikat rumah tersebut. Ia lantas membawanya ke rumah Rojak. Dengan senyum mengembang wanita itu mengetuk pintu. Tidak berapa lama seseorang membuka pintu itu. Dengan wajah menelisik laki-laki mutu menatap Melati. "Pak Rojaknya ada?" tanya Melati."Saya mau gadai rumah," ucap Melati kembali sembari memperlihatkan sertifikat itu. Membuat
BAB 17"Kenapa? Kamu mau marah? Apa yang aku katakan benar bukan?" Kini justru Rosita menantang. Membuat Melati membuang pandangannya ke sembarang arah. "Mana sertifikat rumah Bima dan juga uang yang sudah kamu bawa!" pinta Rosita tanpa malu sama sekali. Melati tertawa puas. "Aku tidak membawa sertifikat tersebut, Bu." Melati berkata jujur bagaimanapun sertifikat itu memang sudah ia gadai dan kini tidak ada di tangan Melati. "Sialan! Apa maksud ucapanmu itu?" tanya Rosita tidak mengerti. "Sudahlah, Bu. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk meladeni Anda. Pekerjaanku banyak jadi saya mohon Anda tinggalkan rumah saja. Saya mau bekerja!" titah Melati dengan menaikan nada satu oktaf. Ia terus memasukan makanan berbentuk lingkaran itu ke dalam mulutnya. KringSuara dering ponsel membuat Rosita langsung merogoh benda pipih tersebut yang ada di dalam tas. Jika ponsel milik Rosita tidak berbunyi mungkin wanita tua itu sudah mendatangi Melati. "Halo, Sar. Ada apa?" tanya Rosita. "Bu, ce
Aku benar-benar mengerjakan pekerjaanku dengan baik. Mencuci pakaian dengan menggunakan sabun berkualitas. Lina yang sudah datang dari tadi juga membantuku menjemur pakaian. Satu persatu semuanya selesai dikerjakan. Tinggal menunggu kering lalu di setrika.Huh hah.Aku menjatuhkan bokong di sofa. Seharian berjibaku dengan cucian membuat punggungku terasa ingin putus saja. Lina yang sudah duduk lebih dulu terlihat menguap beberapa kali. Lalu menatap sekilas ke arahku. "Mertua kamu tadi ke sini? Mau apa dia?" tanya Lina. Sahabatku itu membenarkan duduknya. Lalu mengambil cemilan yang berada di atas meja. Mendengar pertanyaan Lina membuatku menoleh ke arahnya."Nggak tahu, baru aja nyampe. Bu Desi datang bawa kabar baik. Alhamdulilah, jadi lupa aku kalau Ibu ada.""Kamu tinggal dia gitu aja?""Iya.""Astaga, parah kamu, Mel.""Kenapa? Dia itu yang parah, Lin. Dia datang tiba-tiba nggak ada angin dan nggak ada ujan. Ngatain usaha aku yang katanya mana ada orang yang mau pake jasa aku. Se