"Kalau begitu saya duluan Ibu-ibu, belum masak." Rosita mencoba memberi alasan. Segera Roista berjalan cepat menuju rumah. Memastikan semua tetangga tidak kembali bertanya-tanya.Tap … tapLangkah Rosita cepat dan hentakannya cukup kuat. Membuat Sari yang berada di kamar langsung bergegas keluar."Ibu kenapa sih, pulang-pulang kek begitu!" tanya Sari membuat Rosita menatapnya kesal."Semua ini gara-gara kamu, Sar. Andai saja kamu tidak hamil, semuanya tidak akan seperti ini!""HOek … hoek … ibu beli apa sih?" tanya Sari. Tangannya membungkam mulut yang hendak mengeluarkan semua isi yang ada didalamnya. Tatapan Sari Tertuju pada kantong plastik berwarna putih itu."Apa-apaan sih kamu, Sari? Ini Ibu cuma beli ikan asin!""HOek …." Semakin keras suara Sari saat dirinya mual kala mencium bau ikan asin. Entah mengapa indera penciumannya dan juga indera pengecap ya lebih tajam. Membuat Sari yang tidak suka akan bau-bau amis langsung mual."Sar, kamu nggak papa kan?" tanya Rosita kembali. W
"Sebaiknya aku apakan sertifikat ini? Biar Mas Bima tidak terus-terusan menerorku," gumam Melati seorang diri. Bagaimana ia tidak berpikir keras Bima selama ini sudah mengusik ketenangan ya. Padahal proses perceraian tengah bergulir di meja hijau. Tapi laki-laki itu seolah-olah tidak pernah membiarkan Melati hidup tenang."Aku tau harus bagaimana. Salah sendiri kamu sudah berbohong sama aku, Mas. Jadi aku akan gadai rumah itu pada Pak Rojak. Salah satu rentenir di kampung ini. Hahaha, aku sudah tidak sabar lagi melihat gimana reaksi kamu nantinya, Mas. Jika tahu aku gadai rumah itu." Tawa kemenangan di tunjukan Melati.Dengan cepat Melati mengambil sertifikat rumah tersebut. Ia lantas membawanya ke rumah Rojak. Dengan senyum mengembang wanita itu mengetuk pintu. Tidak berapa lama seseorang membuka pintu itu. Dengan wajah menelisik laki-laki mutu menatap Melati. "Pak Rojaknya ada?" tanya Melati."Saya mau gadai rumah," ucap Melati kembali sembari memperlihatkan sertifikat itu. Membuat
BAB 17"Kenapa? Kamu mau marah? Apa yang aku katakan benar bukan?" Kini justru Rosita menantang. Membuat Melati membuang pandangannya ke sembarang arah. "Mana sertifikat rumah Bima dan juga uang yang sudah kamu bawa!" pinta Rosita tanpa malu sama sekali. Melati tertawa puas. "Aku tidak membawa sertifikat tersebut, Bu." Melati berkata jujur bagaimanapun sertifikat itu memang sudah ia gadai dan kini tidak ada di tangan Melati. "Sialan! Apa maksud ucapanmu itu?" tanya Rosita tidak mengerti. "Sudahlah, Bu. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk meladeni Anda. Pekerjaanku banyak jadi saya mohon Anda tinggalkan rumah saja. Saya mau bekerja!" titah Melati dengan menaikan nada satu oktaf. Ia terus memasukan makanan berbentuk lingkaran itu ke dalam mulutnya. KringSuara dering ponsel membuat Rosita langsung merogoh benda pipih tersebut yang ada di dalam tas. Jika ponsel milik Rosita tidak berbunyi mungkin wanita tua itu sudah mendatangi Melati. "Halo, Sar. Ada apa?" tanya Rosita. "Bu, ce
Aku benar-benar mengerjakan pekerjaanku dengan baik. Mencuci pakaian dengan menggunakan sabun berkualitas. Lina yang sudah datang dari tadi juga membantuku menjemur pakaian. Satu persatu semuanya selesai dikerjakan. Tinggal menunggu kering lalu di setrika.Huh hah.Aku menjatuhkan bokong di sofa. Seharian berjibaku dengan cucian membuat punggungku terasa ingin putus saja. Lina yang sudah duduk lebih dulu terlihat menguap beberapa kali. Lalu menatap sekilas ke arahku. "Mertua kamu tadi ke sini? Mau apa dia?" tanya Lina. Sahabatku itu membenarkan duduknya. Lalu mengambil cemilan yang berada di atas meja. Mendengar pertanyaan Lina membuatku menoleh ke arahnya."Nggak tahu, baru aja nyampe. Bu Desi datang bawa kabar baik. Alhamdulilah, jadi lupa aku kalau Ibu ada.""Kamu tinggal dia gitu aja?""Iya.""Astaga, parah kamu, Mel.""Kenapa? Dia itu yang parah, Lin. Dia datang tiba-tiba nggak ada angin dan nggak ada ujan. Ngatain usaha aku yang katanya mana ada orang yang mau pake jasa aku. Se
"Kalau aku nggak ada ya, Mbak. Tapi nanti saya tanyain dulu sama tetangga. Dia sih biasanya di panggil orang-orang buat nyuci. Tapi kalau mau," tutur Dinda panjang lebar. Membuat aku dan juga Lina menggut-manggut."Kabar Bima gimana, Mel?" tanya Lina. Membuatku mengangkat kedua bahu ke atas. Entah mengapa Lina tiba-tiba menanyakan keberadaan laki-laki itu. Aku tidak peduli. Aku yakin suatu hari nanti dia akan datang kemari untuk mengambil sertifikat yang aku bawa saat ini. "Nggak tahu dan nggak mau tahu. Kita udah putusan, Lin. Hakim sudah mengabulkan permohonan cerai aku jadi aku nggak tahu gimana laki-laki itu sekarang. Yang pasti kehidupanku saat ini jauh lebih baik tanpa keluarga benalu itu.""Bener apa kata kamu, Mel. Kamu harus move on. Sana cepet cari laki lagi." Lina terkekeh membuat mataku melotot ke arahnya."Ih, apaan sih kamu, Lin? Untuk sementara ini aku mau fokus dulu sama usaha ini. Biar rame, biar berkembang dulu! Bener nggak, Din?" Dinda yang mendengar namanya di seb
POV author"Kamu kan tetangga baru itu?" Dinda menebak. Jari telunjuknya mengarah pada sosok laki-laki yang ada di hadapannya saat ini. Melati yang mendengar penuturan Dinda lantas beranjak dari duduknya. Menelan pisang goreng yang ada di mulutnya sembari netranya memperhatikan punggung Dinda dari belakang."Siapa, Din?" tanya Melati sembari melirik ke arah tamu. Melati terperangah tidak percaya dengan sosok yang ia lihat. Ia kenal betul siapa laki-laki itu. Siapa lagi kalau bukan sang mantan suami. "Mas Bima?" celetuk Melati menyebut nama sang mantan. Laki-laki itu menatap Melati dengan tatapan yang sulit diartikan. "Gimana kabarnya, Mel?" tanyanya dengan membenarkan posisi tubuhnya menjadi tegap. Dinda yang tidak tahu menahu jika mereka pernah memiliki hubungan hanya diam dan memperhatikan. "Alhamdulillah baik!" jawab Melati dengan singkat dan jelas. Wanita itu tidak berniat menanyakan kabar Bima. Ia justru memperhatikan penampilan Bima saat ini. Terlihat lesu dan sedikit kurus.
"Ada apa?" Lina sudah menyadari ada sesuatu yang tengah terjadi. Terlihat dari cara Melati dan juga Dinda memandang."Mbak Lina, sini deh. Aku kasih tahu!" cicit Dinda membuat Lina yang usianya lebih tua berjalan menghampiri."Apaan?" "Kita punya tetangga baru!" celetuk Dinda membuat netra Lina menyipit. Ia tidak mengerti dengan pemberitahuan Dinda baru saja. Ia merasa tidak ada hubungannya dengan tetangga baru. "Terus?" "Tetangga baru kita Mas Bima." Kini giliran Melati yang menjelaskan. Lina yang mendengar Bima di sebut langsung mengingatkannya dengan mantan suami Melati. Yang sudah beberapa bulan tidak memberi kabar."Maksud kamu Bima mantan suami kamu?" Lina memperhatikan kedua temannya itu silih berganti. Melati dan juga Dinda memberikan jawaban dengan anggukan kepala bersamaan."Serius?""Serius! Duarius malah. Tu pakaian milik mereka baru Dinda cuci!" Dinda menyahut membuat Lina bertambah terkejut. Ia mengalihkan pandangannya pada Melati.Melati pun memberi tanggapan dengan
"Apa yang Anda lakukan, Bu?" Melati tidak mengerti kenapa mantan mertuanya melakukan hal tersebut. Padahal jika dilihat pakaian yang di cuci Melati sangat bersih dan wangi. Mustahil jika ini sebuah keluhan."Kamu bilang laundry kamu ini bersih dan terpercaya? Mana buktinya? Nyatanya baju-baju ini semuanya masih kotor!" ucap Rosita penuh penekanan. Membuat Melati tidak percaya. Ia menggelengkan kepalanya pelan."Astaga, Ibu kenapa pakaian Sonya di buang sih?" teriak seseorang yang mengenakan dress mini. Rosita menoleh ke sumber suara, sedangkan wanita yang baru saja bertanya itu lantas memunguti pakaian itu satu persatu sembari netranya melirik ke arah Rosita dengan tajam."Itu pakaiannya kotor! Dia ini nggak becus ngerjainnya!" sahut Rosita penuh kebencian. Sonya yang melihat Melati ada di hadapannya langsung menatapnya dengan tajam. Ia beranjak dari tempatnya sembari memperhatikan Melati. "Itu usaha laundry punya kamu?" Melati mengangguk. Ia tidak kenal dengan wanita yang kini ada d