Share

Bab 4

Kami duduk berhadapan dengan jarak yang tidak terlampau jauh. Syahdu berwajah ceria, mungkin dia belum bisa menebak kenapa aku mengajaknya bertemu secara tiba-tiba.

Beruntung saat ke sini tadi, Bu Arin sudah tidak berdiri di depan rumah. Mungkin dia kesal karena tidak menemukan topik baru.

"Syahdu, aku dengar-dengar kamu mencintai Mas Hanan?"

Perempuan di depanku terperanjat. Dia pasti tidak menduga aku akan bertanya demikian. Akan tetapi, jika terus mendiamkan juga bisa menjadi fitnah.

"Kenapa Mbak Yumna ngomong kayak gitu? Aku ndak berani suka sama Gus Hanan."

"Syahdu, kamu memang berkata demikian, tetapi matamu menyiratkan cinta yang besar."

Syahdu membuang pandangan. Suaranya yang lembut tentu saja bisa membuat lelaki mana pun jatuh cinta. Matanya yang teduh mungkin memang benar pernah dipandang Mas Hanan.

Kalau saja aku bukan istrinya, pasti suamiku akan langsung melamar Syahdu. Perempuan cantik yang sangat menjaga kehormatan.

"Aku mau minta tolong sama kamu, Syahdu." Aku meraih tangannya yang gemetar.

Syahdu kembali menatap mataku. "Mi-minta tolong apa, Mbak?"

"Menikahlah dengan Mas Hanan!" pintaku memelas seraya menahan air mata.

Jika aku menangis sekarang, sudah tentu Syahdu akan menolak. Dia bukan tipe perebut suami orang yang akan tertawa bahagia mendengar permintaanku.

Nyatanya perempuan anggun itu menunduk, kemudian menggelengkan kepala. Dia menolak tanpa suara, dengan itu aku bisa mengartikan kalau memang ada cinta yang meletup-letup dalam hatinya.

Aku mengangkat wajah Syahdu dengan memegang dagunya. Ternyata dia menangis dalam diam. Binar cinta semakin terpancar indah di kedua bola matanya.

"Kamu mencintai Mas Hanan, berarti kamu bisa memberinya kebahagiaan. Bantu aku, Syahdu. Bantu aku membahagiakan Mas Hanan."

"Mbak, aku tidak bisa. Gus Hanan begitu mencintaimu, hampir setiap hari dia bercerita tentang istri salihah dan menjadikanmu sebagai contoh.

"Apa?" Aku terkejut mendengar pengakuan Syahdu.

Syahdu memberitahu padaku bahwa setiap jam sembilan pagi diadakan kelas ekstra di mana para santri dianjurkan menghadapkan kitab. Ada dua kelompok, satunya membaca kitab daqaiqul akbar, sementara yang lain adalah uqudullujain.

Ternyata yang membaca uqudullujain adalah kelompok yang sudah memiliki calon dan Syahdu selalu ikut menyimak menganggap itu bekal sebelum menikah.

Di akhir penjelasan, Mas Hanan selalu meminta para santri dan santriwati untuk menjadi pasangan yang baik. Dia tidak pernah alpa menyebut namaku sebagai contoh yang baik.

Aku menghela napas panjang. "Tetapi kamu tahu sendiri kalau sampai sekarang kami belum dikaruniai seorang anak, Syahdu."

"Tunggu saja, Mbak. Aku yakin suatu hari Allah akan mengirimkan bayi mungil untuk hamba-Nya yang senantiasa bersabar."

"Syahdu, berpikirlah dan beri aku jawaban malam nanti apakah kamu bersedia atau tidak, tetapi aku berharap jawabannya adalah ya. Aku pamit!"

Kutinggalkan Syahdu yang terus menunduk setelah menggelengkan kepala beberapa kali. Semoga saja hatinya terketuk untuk menerima tawaran itu.

Sesampainya di rumah, Mas Hanan belum juga kembali. Entah suamiku itu ke mana. Daripada merenung dan semakin membuat kepala pusing, aku melanjutkan pekerjaan rumah sendirian.

***

Hanya beberapa jam lagi matahari sudah benar-benar tenggelam sehingga siang berganti malam. Di dunia ini makhluk Tuhan ditakdirkan berpasang-pasangan, tetapi tidak jarang juga ada satu suami dengan tiga atau empat perempuan di sisinya.

Ada yang bahagia, ada juga yang tersiksa batinnya. Semua tergantung suami dan istri kedua karena biasanya istri pertama kerap kali ikhlas jika madunya bersikap baik.

Terutama jika itu Syahdu. Ya, Syahdu lagi yang menari-nari dalam pikiran.

"Dek, tadi mas lihat kamu menemui Syahdu di pelataran masjid."

Mas Hanan yang baru pulang salat jum'at langsung membahas itu. Memang tadi dia kembali ke rumah tepat pukul sepuluh, tetapi langsung masuk kamar mandi.

"Mas dengar apa yang kami bicarakan?"

"Sedikit. Mas tidak mendengar semuanya."

Berarti sejak tadi Mas Hanan ada di masjid? Aku salah telah mengajak Syahdu bertemu di sana.

Aku menelan saliva begitu Mas Hanan menggandeng tanganku masuk kamar. Kami saling memandang dengan posisi yang sangat dekat. Tangannya menggamit tanganku erat seolah tidak ingin lepas.

"Jangan memaksa Syahdu untuk menjadi adik madu kamu!" pinta Mas Hanan dengan suara yang sangat lembut.

"Kenapa, Mas? Kenapa aku tidak bisa menjadikan Syahdu sebagai adik maduku?"

"Karena mas tidak pernah jatuh cinta setelah terpikat denganmu."

"Bagaimana kalau ini jadi permintaan terakhir aku, Mas? Siapa tahu besok atau lusa aku meninggal?"

Mas Hanan menggeleng pelan. Dia mengaku tetap tidak mau menikahi Syahdu. Jika aku meninggal, dia tetap memilih hidup sendiri atau kembali mengabdi di pesantren menemani Gus Qabil.

Gus Qabil saja masih betah hidup tanpa istri padahal sudah tujuh tahun berlalu. Aku salut pada kesetiaan laki-laki itu pada mendiang istrinya.

"Bagaimana kalau Syahdu mau menikah denganmu, Mas?" desakku beriring rasa cemburu.

"Apa benar ini keinginan kamu?"

Aku mengangguk pasti. Mas Hanan harus merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Biar saja aku berkorban karena cinta tidak harus selalu indah.

"Mas tunggu jawaban Syahdu baru bisa memberi keputusan."

Mendengar itu aku tersenyum manis, lalu memeluk Mas Hanan sekilas sebelum akhirnya makan siang bersama. Luka di hati memang menganga, tetapi aku bahagia jika suami bahagia.

***

Jam sudah menunjuk angka delapan lewat, seharusnya Syahdu sudah mengirim jawaban. Akunnya sedang online, tetapi satu pesan pun belum ada yang dia kirim.

[Syahdu, aku menunggu jawaban.]

Dia langsung membaca pesan itu. Beberapa detik kemudian tiga titik abu bergelombang indah di bawah pesan yang aku kirim tadi.

Hati resah dan gelisah menanti jawaban. Aku melipat bibir begitu lama sampai akhirnya balasan dari Syahdu telah ada.

[Mbak, aku tidak pernah berniat menjadi perusak rumah tangga siapa pun apalagi itu Mbak Yumna. Aku akui telah salah karena menaruh hati pada Gus Hanan, tetapi Demi Allah sama sekali tidak ada niat menjadi orang ketiga.]

[Lalu?] Aku masih belum tahu apa jawaban Syahdu.

[Kalau Mbak mendengar gosip tetangga tentang aku ada Gus Hanan, itu semua tidak benar. Gus Hanan itu sangat menjaga pandangan, bahkan ketika mengajar dia hanya melirik sekilas pada perempuan.]

[Syahdu, aku menginginkan jawaban. Tolong tidak usah membahas itu. Aku tahu kamu tidak pernah mau merusak rumah tangga orang, tetapi dengan menikahi suamiku sama saja memberi kebahagiaan pada kami. Aku yakin kamu bisa melahirkan anak untuknya.] Kedua ibu jariku mengetik dengan gemetar.

[Jika ini sudah menjadi takdir, aku bersedia, Mbak.]  Syahdu menyertakan tiga emotikon menangis.

[Alhamdulillah, aku bahagia sekarang!] balasku.

Namun, hati tidak benar-benar bahagia. Aku menggigit bibir, meremas gamis juga menutup mata karena diri bagai diserang tombak dari segala arah. Hancur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status