Kami duduk berhadapan dengan jarak yang tidak terlampau jauh. Syahdu berwajah ceria, mungkin dia belum bisa menebak kenapa aku mengajaknya bertemu secara tiba-tiba.
Beruntung saat ke sini tadi, Bu Arin sudah tidak berdiri di depan rumah. Mungkin dia kesal karena tidak menemukan topik baru.
"Syahdu, aku dengar-dengar kamu mencintai Mas Hanan?"
Perempuan di depanku terperanjat. Dia pasti tidak menduga aku akan bertanya demikian. Akan tetapi, jika terus mendiamkan juga bisa menjadi fitnah.
"Kenapa Mbak Yumna ngomong kayak gitu? Aku ndak berani suka sama Gus Hanan."
"Syahdu, kamu memang berkata demikian, tetapi matamu menyiratkan cinta yang besar."
Syahdu membuang pandangan. Suaranya yang lembut tentu saja bisa membuat lelaki mana pun jatuh cinta. Matanya yang teduh mungkin memang benar pernah dipandang Mas Hanan.
Kalau saja aku bukan istrinya, pasti suamiku akan langsung melamar Syahdu. Perempuan cantik yang sangat menjaga kehormatan.
"Aku mau minta tolong sama kamu, Syahdu." Aku meraih tangannya yang gemetar.
Syahdu kembali menatap mataku. "Mi-minta tolong apa, Mbak?"
"Menikahlah dengan Mas Hanan!" pintaku memelas seraya menahan air mata.
Jika aku menangis sekarang, sudah tentu Syahdu akan menolak. Dia bukan tipe perebut suami orang yang akan tertawa bahagia mendengar permintaanku.
Nyatanya perempuan anggun itu menunduk, kemudian menggelengkan kepala. Dia menolak tanpa suara, dengan itu aku bisa mengartikan kalau memang ada cinta yang meletup-letup dalam hatinya.
Aku mengangkat wajah Syahdu dengan memegang dagunya. Ternyata dia menangis dalam diam. Binar cinta semakin terpancar indah di kedua bola matanya.
"Kamu mencintai Mas Hanan, berarti kamu bisa memberinya kebahagiaan. Bantu aku, Syahdu. Bantu aku membahagiakan Mas Hanan."
"Mbak, aku tidak bisa. Gus Hanan begitu mencintaimu, hampir setiap hari dia bercerita tentang istri salihah dan menjadikanmu sebagai contoh.
"Apa?" Aku terkejut mendengar pengakuan Syahdu.
Syahdu memberitahu padaku bahwa setiap jam sembilan pagi diadakan kelas ekstra di mana para santri dianjurkan menghadapkan kitab. Ada dua kelompok, satunya membaca kitab daqaiqul akbar, sementara yang lain adalah uqudullujain.
Ternyata yang membaca uqudullujain adalah kelompok yang sudah memiliki calon dan Syahdu selalu ikut menyimak menganggap itu bekal sebelum menikah.
Di akhir penjelasan, Mas Hanan selalu meminta para santri dan santriwati untuk menjadi pasangan yang baik. Dia tidak pernah alpa menyebut namaku sebagai contoh yang baik.
Aku menghela napas panjang. "Tetapi kamu tahu sendiri kalau sampai sekarang kami belum dikaruniai seorang anak, Syahdu."
"Tunggu saja, Mbak. Aku yakin suatu hari Allah akan mengirimkan bayi mungil untuk hamba-Nya yang senantiasa bersabar."
"Syahdu, berpikirlah dan beri aku jawaban malam nanti apakah kamu bersedia atau tidak, tetapi aku berharap jawabannya adalah ya. Aku pamit!"
Kutinggalkan Syahdu yang terus menunduk setelah menggelengkan kepala beberapa kali. Semoga saja hatinya terketuk untuk menerima tawaran itu.
Sesampainya di rumah, Mas Hanan belum juga kembali. Entah suamiku itu ke mana. Daripada merenung dan semakin membuat kepala pusing, aku melanjutkan pekerjaan rumah sendirian.
***
Hanya beberapa jam lagi matahari sudah benar-benar tenggelam sehingga siang berganti malam. Di dunia ini makhluk Tuhan ditakdirkan berpasang-pasangan, tetapi tidak jarang juga ada satu suami dengan tiga atau empat perempuan di sisinya.
Ada yang bahagia, ada juga yang tersiksa batinnya. Semua tergantung suami dan istri kedua karena biasanya istri pertama kerap kali ikhlas jika madunya bersikap baik.
Terutama jika itu Syahdu. Ya, Syahdu lagi yang menari-nari dalam pikiran.
"Dek, tadi mas lihat kamu menemui Syahdu di pelataran masjid."
Mas Hanan yang baru pulang salat jum'at langsung membahas itu. Memang tadi dia kembali ke rumah tepat pukul sepuluh, tetapi langsung masuk kamar mandi.
"Mas dengar apa yang kami bicarakan?"
"Sedikit. Mas tidak mendengar semuanya."
Berarti sejak tadi Mas Hanan ada di masjid? Aku salah telah mengajak Syahdu bertemu di sana.
Aku menelan saliva begitu Mas Hanan menggandeng tanganku masuk kamar. Kami saling memandang dengan posisi yang sangat dekat. Tangannya menggamit tanganku erat seolah tidak ingin lepas.
"Jangan memaksa Syahdu untuk menjadi adik madu kamu!" pinta Mas Hanan dengan suara yang sangat lembut.
"Kenapa, Mas? Kenapa aku tidak bisa menjadikan Syahdu sebagai adik maduku?"
"Karena mas tidak pernah jatuh cinta setelah terpikat denganmu."
"Bagaimana kalau ini jadi permintaan terakhir aku, Mas? Siapa tahu besok atau lusa aku meninggal?"
Mas Hanan menggeleng pelan. Dia mengaku tetap tidak mau menikahi Syahdu. Jika aku meninggal, dia tetap memilih hidup sendiri atau kembali mengabdi di pesantren menemani Gus Qabil.
Gus Qabil saja masih betah hidup tanpa istri padahal sudah tujuh tahun berlalu. Aku salut pada kesetiaan laki-laki itu pada mendiang istrinya.
"Bagaimana kalau Syahdu mau menikah denganmu, Mas?" desakku beriring rasa cemburu.
"Apa benar ini keinginan kamu?"
Aku mengangguk pasti. Mas Hanan harus merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Biar saja aku berkorban karena cinta tidak harus selalu indah.
"Mas tunggu jawaban Syahdu baru bisa memberi keputusan."
Mendengar itu aku tersenyum manis, lalu memeluk Mas Hanan sekilas sebelum akhirnya makan siang bersama. Luka di hati memang menganga, tetapi aku bahagia jika suami bahagia.
***
Jam sudah menunjuk angka delapan lewat, seharusnya Syahdu sudah mengirim jawaban. Akunnya sedang online, tetapi satu pesan pun belum ada yang dia kirim.
[Syahdu, aku menunggu jawaban.]
Dia langsung membaca pesan itu. Beberapa detik kemudian tiga titik abu bergelombang indah di bawah pesan yang aku kirim tadi.
Hati resah dan gelisah menanti jawaban. Aku melipat bibir begitu lama sampai akhirnya balasan dari Syahdu telah ada.
[Mbak, aku tidak pernah berniat menjadi perusak rumah tangga siapa pun apalagi itu Mbak Yumna. Aku akui telah salah karena menaruh hati pada Gus Hanan, tetapi Demi Allah sama sekali tidak ada niat menjadi orang ketiga.]
[Lalu?] Aku masih belum tahu apa jawaban Syahdu.
[Kalau Mbak mendengar gosip tetangga tentang aku ada Gus Hanan, itu semua tidak benar. Gus Hanan itu sangat menjaga pandangan, bahkan ketika mengajar dia hanya melirik sekilas pada perempuan.]
[Syahdu, aku menginginkan jawaban. Tolong tidak usah membahas itu. Aku tahu kamu tidak pernah mau merusak rumah tangga orang, tetapi dengan menikahi suamiku sama saja memberi kebahagiaan pada kami. Aku yakin kamu bisa melahirkan anak untuknya.] Kedua ibu jariku mengetik dengan gemetar.
[Jika ini sudah menjadi takdir, aku bersedia, Mbak.] Syahdu menyertakan tiga emotikon menangis.
[Alhamdulillah, aku bahagia sekarang!] balasku.
Namun, hati tidak benar-benar bahagia. Aku menggigit bibir, meremas gamis juga menutup mata karena diri bagai diserang tombak dari segala arah. Hancur.
Suara pintu utama terdengar, pasti Mas Hanan sudah pulang dari masjid. Aku langsung ke luar dan menghambur dalam pelukannya."Senang amat, ada apa, ya?" tanya Mas Hanan dengan nada menggoda."Syahdu bersedia, Mas!" pekikku bahagia.Tiba-tiba saja senyum di wajah Mas Hanan sirna. Rembulan di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Aku sudah mengenal Mas Hanan cukup lama dan tahu kalau hati kecilnya terukir luka."Benarkah? Benarkah kamu bahagia dengan kabar itu?""Aku bahagia, Mas. Sekarang masuk kamar karena aku sudah tidak sabar untuk meminta restu ibu.""Tapi aku belum menjawab, Dek. Kamu bahkan belum tahu aku mau apa tidak.""Mas, aku bahagia jika kamu menikahi Syahdu. Rasa cemburu itu hanya ada sebentar, nanti akan sirna jika aku sudah lebih ikhlas. Perempuan yang dipoligami bukan cuma aku dan kita punya alasan kuat. Pokoknya Mas harus menuruti keinginanku ini. Oke?""Terserah kamu lah!" ketus Mas Hanan.Aku meloncat kegirangan. Sekalipun nada bicaranya terdengar ketus, tetap saja ta
Alhamdulillah," ucapku diselingi tawa yang terdengar sumbang. "Apa kamu sungguh-sungguh, Nak Gus?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Matanya bahkan sekilas melirik padaku sebagai tanda tidak percaya. "Jika ini yang diinginkan Yumna, aku bisa apa, Bu? Sudah sering kuingatkan untuk bersabar, memberitahunya kalau aku tidak pernah mau menikah lagi. Akan tetapi, dia selalu memaksakan kehendak bahkan ...." "Sudah, Mas. Ini keputusan terbaik, aku yakin sebentar lagi kita sekeluarga akan bahagia," sambungku cepat begitu Mas Hanan menunduk dalam. Ayah dan ibu hanya bisa diam serta menatap penuh tanda tanya. Aku menautkan ibu jari dan telunjuk sebagai isyarat kalau hati sedang baik-baik saja. Tidak sabar rasanya menyampaikan berita baik ini pada Syahdu. Aku pun pamit masuk kamar seraya merogoh ponsel dalam saku gamis. "Assalamualaikum, Syahdu. Kamu apa kabar?" sapaku via telepon. "Waalaikumussalam, Mbak. Alhamdulillah aku baik-baik saja. Mbak gimana kabarnya?" "Alhamdulillah, Syahdu.
[Kalau hal ini melukai hati Mbak Yumna, maka tolong jangan biarkan Gus Hanan menikah lagi. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga yang akan berbahagia di hari pernikahan sementara Mbak menahan luka. Tolong dipikir ulang sebelum semuanya menyesal.]"Mas, Syahdu." Aku menyodorkan ponsel pada Mas Hanan. Dia menerimanya lantas membaca pesan tersebut."Syahdu benar, jangan gegabah mengambil keputusan atau kamu menyesal nanti. Jujur saja mas merasa ragu kalau harus menikah sama dia. Kamu mau kan memikirkan ulang perkara ini sambil berdoa sama Allah biar kamu cepet hamil?""Keputusanku sudah bulat, Mas. Kalian memang harus menikah dan aku ikhlas." Getar di dada semakin mengganggu.Tidak ada jawaban, Mas Hanan hanya bisa melipat bibir. Sebenarnya aku pun sama dengan perempuan lainnya, tidak ingin berbagi hati. Namun, bagaimana jika semesta seakan menuntutku melakukan hal ini?Aku mungkin bisa berusaha menjadi istri terbaik untuk Mas Hanan, mengurus makan dan tidurnya. Tidak dengan memberinya seo
Mereka kembali melanjutkan perbincangan yang tertunda. Aku tidak bisa mendengar betul kecuali seorang lelaki tua bertanya dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan, "apa Gus Hanan bisa berlaku adil pada Syahdu?" Sekilas matanya melirik pada tangan kami yang saling menggenggam dengan erat. "Atau hanya mewujudkan mimpi kalian?""Kedatangan kami ke sini serius, Pak, bukan untuk memanfaatkan saja. Maafkan suamiku kalau ada salah tadi atau diri ini yang mendadak keluar rumah. Sekali lagi maafkan kami," balas Yumna dengan suara bergetar menahan perih di dada."Aku tidak melihat Gus Hanan mencintai Syahdu.""Akan tetapi, cinta akan tumbuh karena seringnya bersama, Pak." Gus Qabil menjawab cepat, pandangannya mengarah padaku sehingga kami saling menatap."Lalu kenapa Gus Hanan cuma diam?" Mata lelaki tua itu sedikit memicing, lantas menampilkan gigi yang berderet rapi. "Maaf, kalian jangan salah paham. Tentu bapak-bapak di luar sana pasti menginginkan anaknya mendapat keadilan jika menjadi is
Lepas salat dzuhur, Mas Hanan benar-benar sudah datang, aku langsung mencium punggung tangannya takzim.Setelah kami duduk di karpet depan kamar, aku membuang napas kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Jujur saja, kaki dan tangan sudah gemetaran duluan."Mas, aku lihat kamu tidak pernah ada niat mencintai Syahdu.""Tentu, kenapa?""Kalau kalian menikah, Syahdu berhak mendapat cinta kamu, Mas. Kamu harus tahu, aku itu ikhlas dimadu. Kita sama-sama ingin punya anak, tetapi sampai tujuh tahun berlalu ... nihil."Mas Hanan mengalihkan pandangan sejenak, sebelum kedua tangannya benar-benar mencengkram bahuku. "Yumna, sampai kapan pun aku akan selalu mencintaimu. Sampai kapan pun hanya kamu yang akan menjadi pengisi hatiku dan tolong, kalau boleh meminta, jangan paksa aku menikahi Syahdu. Tolong, aku ingin hidup berdua sama kamu!""Mas, jangan mengedepankan ego. Aku tahu mas cinta dan sayang sama aku, tapi kita butuh seorang anak. Mungkin Syahdu itu memang jodoh kamu."Tidak ada
Suasana mengharu biru melihat Mas Dika mendekat pada ayah seakan membisikkan sesuatu. Ya, aku berontak dalam pelukan Mas Hanan. Entah kenapa dia tidak membiarkanku dekat dengan ayah.Sialnya, Mas Dika malah menuntun ayah mengucapkan lafaz tauhid. "Mas, kamu apa-apaan, sih?"Dia tidak menjawab, masih terus menuntun ayah sampai tangan lemah berkeriput itu lepas dari genggamannya. Tangis ibu pecah, segera Mas Dika mendekat dan membawanya dalam pelukan."Innalillahi wainnailaihi raajiun," lirih Mas Hanan tepat di dekat telingaku."Mas, kamu ngomong apa sih?" tanyaku masih memberontak.Mas Hanan membawaku keluar dari kamar, masih tidak mau melepas pelukannya. Mata itu sudah basah. "Kamu harus kuat, Yum. Ayah sudah tenang.""Maksudnya gimana?" Aku memaksa melepaskan diri."Ayah sudah mendahului kita.""Apa?" Aku terpukul mendengar jawaban Mas Hanan. Kakiku kembali melangkah cepat langsung menemui ayah yang sudah tidak,lagi bernapas.Beribu maaf kugaungkan, tetapi tidak peroleh jawaban. Pipi
Jam sudah menunjuk angka sepuluh pagi, para tetangga juga kerabat jauh dan dekat sudah mulai berdatangan sejak tadi. Beberapa santri juga sudah selesai membaca al-qur'an untuk ayah. Aku sedih, sekaligus bahagia karena almarhum didoakan oleh anak-anak penghafal al-qur'an.Sejak tadi ibu menyibukkan diri di dapur karena kalau duduk di sisi jenazah, air matanya tidak bisa berhenti mengalir khawatir menjadi dosa karena meratapi mayat. Sebenarnya aku pun sama terlukanya melihat sosok yang sangat aku cintai kini terbujur kaku."Kamu yang sabar, Mbak. Jangan larut dalam kesedihan, nanti hatinya ndak ikhlas," kata Andin yang sejak tadi bersedia menemaniku.Aku membuang napas berat, rasanya masih sulit menerima takdir dari Tuhan. Bukan aku menentang, hanya saja semua terlalu cepat. Rasanya baru kemarin aku menjadi anak ayah, sekarang sudah harus berpisah.Luka seorang anak yang ditinggal orangtua itu sangat dalam apalagi aku belum bisa membalas pengorbanannya selama ini. Aku terlalu bodoh dan
POV AUTHORMereka sudah tiba di rumah, Yumna tetap tidak bisa tersenyum walau sedikit. Sekalipun dihibur suami dan kakak sendiri, dia selalu memalingkan wajah. Terlebih ketika mengingat tentang Syahdu.Bolehkah gadis itu menangis dan meminta suaminya untuk tidak perlu menikah dengan Syahdu? Atau sikap itu hanyalah keegoisan yang bisa merusak keharmonisan rumah tangga?Yumna sadar dirinya masih belum pernah hamil barang sekali, jadi sangat sedikit kemungkinan untuk memiliki anak. Kini air matanya telah tumpah tanpa mampu dia bendung lagi.Hatinya merintih, bertanya kepada Tuhan, dosa berat apa yang pernah dia lakukan sehingga mendapat ujian seperti itu? Kehilangan ayah, menikah tanpa keturunan serta harus mengikhlaskan suami menikah lagi meskipun itu atas dasar keinginannya."Yumna, ikhlaskan ayah. Kalau ayah melihat kamu sedih, pasti ayah juga bakal sedih," hibur Mas Dika."Ikhlas? Kenapa aku selalu dituntut untuk ikhlas, Mas?""Karena kamu pernah berdoa sama Tuhan agar sabarmu diluas