Share

Bab 3

Di malam yang pekat

Angin berembus syahdu

Daku bagai tersekat

Apabila teringat sosok Syahdu

Akankah dia menjadi jawaban

Atas segala doa yang kami pinta?

Apakah terkabul sebuah harapan

Apabila Syahdu menjadi perantara?

Hati merasa gamang

Jiwa pun tak lagi tentram

Teringat rupanya yang menawan

Juga bibir yang begitu ranum

Sekelumit kisah tentang kami

Yang selalu harapkan buah hati

Haruskah ikhlas berbagi

Merelakan dia hadir di antara kami?

Sekalipun mata terpejam,

luka tak pernah mau beranjak

Sekalipun bibir mengukir senyum,

sesak di dada tak henti membelenggu

Aku terluka, tetapi harus menerima

Berharap kelak ada buah di balik kesabaranku

~~~

"Istri mas lagi ngapain?" tegur Mas Hanan membuatku segera menyimpan kembali buku itu.

Sebuah buku yang selalu menjadi tempat pelarianku selama ini. Di dalamnya berisi banyak puisi sebagai bentuk curahan hati.

Jam sudah menunjuk angka sembilan, tetapi aku masih belum mengantuk. Bagaimana bisa sementara hati terus memikirkan omongan Bu Wenda.

"Mas, aku mau nanya sesuatu sama kamu."

"Nanya apa?"

Aku beranjak dari kursi, kemudian duduk di samping Mas Hanan yang bersandar pada kepala ranjang. Jantung berdegup tidak normal, ada rasa ragu dan takut mendominasi jiwa.

"Mas tahu Syahdu?"

"Tahu. Dia salah satu perempuan yang belajar lughoh dan syariah. Kenapa?"

"Di-dia anu, Mas. Syahdu itu mencintaimu." Aku memejamkan mata, kemudian menggigit bibir setelah mengucapkan kalimat tadi agar bulir bening tidak jatuh membasahi pipi.

Seperti inilah cara setiap perempuan menahan luka. Walau sulit dan butuh perjuangan, paling tidak aku sudah berusaha menyampaikan maksud pada suami.

"Lalu kenapa kalau Syahdu mencintai mas?"

Aku membuka mata, kemudian menatap netranya yang indah. Lelaki bermata teduh itu selalu berhasil mengirim angin sejuk dalam dada. Akhirnya bibir mengukir senyum beriring air mata.

Tanpa kata. Kini aku menatap suami tanpa tahu harus menjawab apa. Biasanya setiap malam dia memintaku menceritakan semua hal yang sudah terjadi siang tadi, begitu pun sebaliknya. Kini berbeda karena ada yang mengganjal dalam hati.

"Nikahi Syahdu, Mas. Aku yakin dia bisa memberimu anak yang lucu dan juga taat pada Tuhan. Syahdu gadis yang baik, aku rasa bisa menerimanya sebagai adik madu."

"Baiklah, mas akan menikahinya."

Ucapan Mas Hanan bagai belati yang menusuk jantung. Aku terpengarah mendengarnya, bahkan sampai sulit menyembunyikan raut cemburu di wajah.

Bibir ingin mengukir senyum, tetapi sulit. Aku seketika beku dengan perasaan hampa. Jantung rasanya ingin berhenti berdegup, entah mengapa sesakit ini mendengar jawaban yang memang ingin kudengar.

"Mas bercanda. Mas hanya ingin melihat apa kamu benar bisa menerima Syahdu sebagai adik madu atau tidak. Nyatanya tidak, 'kan?" Mas Hanan meraih tubuhku membawa dalam pelukannya. "Mas tahu kamu cemburu."

Aku meremas baju karena tersulut emosi. Ibu benar, aku tidak ikhlas berbagi. "Aku ikhlas, Mas. Mungkin di awal akan sulit, tetapi nanti juga pasti terbiasa."

"Sampai kapan pun, mas hanya akan punya satu istri dan itu kamu. Mas gak mau menikahi Syahdu. Biar saja kita hidup menua berdua, dengan itu kamu bisa mengurusku dengan baik, 'kan? Kita bisa leluasa ke mana-mana, hanya berdua."

"Tidak, Mas. Aku memahami nalurimu yang ingin menjadi seorang ayah. Apa mas mengira aku tidak peka ketika meminta Fatimah memanggilmu Abi Hanan dan bukan lagi paman?"

Air mata mengucur deras, Mas Hanan tahu aku sedang menangis karena bahu terguncang hebat. Dia mengurai pelukan, kemudian kedua ibu jarinya menyeka air mataku.

Rasa takut kehilangan semakin menjadi. Aku dilema terutama mengetahui Mas Hanan menolak permintaan ini. Entah bagaimana Tuhan menjawab doa kami.

***

"Kenapa kamu tidak coba beli tespeck lagi, Dek?" tanya Mas Hanan begitu kami selesai sarapan.

Hari jumat pengajiannya diliburkan, maka Mas Hanan senantiasa membantuku mengurus rumah. Dia mencuci piring sementara aku sibuk menyapu dan mengepel lantai atau sebaliknya.

"Aku lagi dapet, Mas," jawabku lesu.

"Biar mas saja!" Mas Hanan menyambar piring kotor di kedua tanganku, lalu membawanya ke wastafel.

Dia dengan cekatan membersihkan itu semua. Aku kembali duduk di meja makan karena rasa semangat sudah hilang. Sepanjang malam aku memikirkan Syahdu dan Mas Hanan.

Selain perempuan itu, masih banyak yang menaruh hati pada suamiku. Akan tetapi, aku merasa hanya Syahdu yang tidak genit. Selama ini tidak pernah ada gosip berlebih tentangnya kecuali hanya rumor tetangga.

Syahdu begitu menjaga harga diri sebagai perempuan. Aku juga bingung bagaimana bisa tetangga lain tahu mengenai isi hati Syahdu.

"Mas, tolong pikirkan sekali lagi. Syahdu mencintaimu, kenapa kamu tidak mau menikah dengannya?"

"Syahdu, Syahdu, Syahdu." Mas Hanan meletakkan sapu asal. "Kenapa kamu selalu menyebut nama itu?"

"Karena Mas harus menikah dengannya."

Mas Hanan membuang pandang. Sebelum aku sampai memeluknya, dia sudah melangkah ke luar rumah. Entah ke mana dia dalam suasana hati yang kacau itu.

Aku jadi semakin merasa bersalah karena mendesaknya menikah lagi. Bukan mengekang, tetapi Mas Hanan berhak mendapat kebahagiaan.

Bingung sendiri di rumah, aku memilih duduk di teras untuk menenangkan pikiran. Akan tetapi, sepertinya nasib buruk kembali menimpa karena harus bertemu Bu Arin.

"Kenapa dengan Gus Hanan, Yum? Apa dia mulai marah karena kamu belum hamil juga?"

"Mas Hanan gak apa-apa, Bu. Tidak usah kepo dengan rumah tangga orang. Jujur ya, Bu, mohon maaf ... kenapa sih kalian selalu hadir di saat seperti ini?" Aku bertanya sedikit dongkol.

"Memang benar kamu gak ngebiarin Gus Hanan menikahi Syahdu? Kasihan loh suami kamu itu, dia pasti mau punya anak juga."

"Bu Arin, urusan rumah tanggaku bukan urusan ibu."

"Padahal di masjid, Gus Hanan beberapa kali beradu pandang dengan Syahdu. Pasti ada bunga-bunga cinta yang mekar di antara mereka karena setelah memandang, ada senyuman di wajahnya."

Aku mengusap wajah pelan. Entah yang dikatakan Bu Arin itu benar atau tidak, sudah pasti melukai hati. Tanpa merespon, aku segera masuk rumah merogoh ponsel dan mencari sebuah nama di aplikasi F******k.

[Assalamualaikum, Syahdu. Bisa kita bertemu di pelataran masjid?] Sengaja aku mengirim pesan itu padanya untuk memecahkan teka-teki. Untung saja dia sedang online.

[Wa'alaikumussalam, nggih boleh, Mbak.]

[Sekarang aku ke sana!]

Rumah nenek Syahdu berada di samping masjid sehingga tidak perlu menunggu lama. Aku mengganti jilbab, kemudian melangkah cepat ke masjid.

Hati merasa gundah, tidak henti-hentinya lisan melafazkan zikir sebagai penenang hati. Beberapa ibu-ibu melirik sinis padaku ketika kami berpapasan, tetapi itu tidak penting sekarang.

Sesampainya di lokasi tujuan, aku sudah melihat Syahdu berdiri dengan gamis lebar berwarna abu basah. Dia cantik, apalagi setelah mengukir sebuah senyum yang melukai hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status