Share

KUKIRA MISKIN, RUPANYA CEO
KUKIRA MISKIN, RUPANYA CEO
Penulis: Rora Aurora

BAB 1_LAMARAN DITOLAK

"Kami sudah sepakat. Hantaran yang harus dibawa itu dua ratus juta dan perlengkapan buat Belinda. Sebenarnya itu pun masih kurang. Segala jenis makanan dan perlengkapan rumah tangga juga sangat perlu. Tapi kalau memang gak bisa, ya kami akan coba maklumi," ucap Bu Yuni.

"Kalau perlengkapan rumah tangga untuk Belinda, itu sudah menjadi kewajiban saya, Bu. Tentang aneka makanan, saya akan usahakan dengan maksimal," jawab Aditya sekenanya.

"Perlengkapan rumah tangga buat kalian dengan yang dibawa ke sini beda dong. Kami sudah membesarkan Belinda sampai jadi sarjana dan bekerja di perusahaan besar itu butuh waktu dan tenaga. Dia sudah kami kasih perlengkapan hidup yang mewah. Soal begitu aja perhitungan," tanggap calon ibu mertua Aditya itu kecut.

Aditya menelan salivanya. Bagaimana ada seorang ibu yang tega menghitung-hitung jasanya sebagai orang tua?

"Soal uang hantaran, saya hanya sanggup lima puluh juta tunai, Bu."

"Loh, kok bisa sedikit sekali? Bisa malu kami sebagai keluarga terhormat di komplek ini."

"Tetangga sebelah aja, anaknya cuma lulusan D3, seabrek-abrek hantarannya. Belum lagi emasnya, penuh. Ini gimana sih, calon suami kamu, Bel?" ketus wanita tua itu membuang wajah.

Belinda yang sedari tadi agak gelisah hanya menggigit bibirnya. Dia tidak bisa membohongi perasaannya pada Aditya tapi tak punya nyali untuk melawan ibunya.

"Maaf ya, Bu. Saya hanya mampu segitu. Lagi pula, saya sudah menyanggupi mahar emas dua puluh gram sesuai permintaan Belinda. Untuk resepsi, saya sudah siapkan dananya," ujar Aditya menambahkan.

Biar bagaimana pun, Aditya sungguh-sungguh mencintai Belinda. Pemuda itu mencoba terus menawar pada calon mertuanya, tapi bukan berarti menuruti semua permintaannya.

"Bel! Kamu kok minta sedikit sekali?!" berang Yuni melotot pada anak gadisnya.

"Memangnya itu sedikit ya, Ma?" tanya Belinda polos.

"Iiih kamu ya. Zaman sekarang, itu cuma harga sapi doang."

Tiba-tiba ayah Belinda menyela ucapan istrinya.

"Ma ... kontrol mulutmu itu," bisik Pak Imron, ayah Belinda. Suaranya masih jelas terdengar oleh Aditya.

Pria yang sudah dipenuhi uban di kepalanya itu mencubit paha istrinya karena gemas.

"Maaf ya, Pak, Bu, istri saya memang orangnya nyablak," kekeh Pak Imron membuang rasa malunya.

"Tak apa-apa, Pak Imron. Kami maklum, Belinda anak gadis satu-satunya," jawab Parjo yang dianggukan oleh Romlah. Mereka berdua adalah kedua pelayan setia Aditya yang sudah dianggap seperti orang tuanya.

"Jadi bagaimana ya? Apa bisa Minggu depan, saya kembali membawa keluarga besar ke sini?" tanya Aditya meminta kejelasan.

Semakin lama pemuda itu mulai muak dengan gerak-gerik dan ucapan calon ibu mertuanya itu.

"Kami serahkan semuanya pada Belinda," ujar Pak Imron mencoba mengambil keputusan sebagai kepala keluarga.

Namun tiba-tiba, Bu Yuni memukul bahu suaminya yang tua itu.

"Jangan gegabah kamu, Pak! Aku gak mau ya, anak gadisku menikah dengan laki-laki yang gak jelas bobotnya."

Hati Aditya rasanya seperti disengat, namun melihat sosok wanita yang dicintai seperti berusaha menenangkan ibunya, Aditya mencoba sabar.

"Gak apa-apa, Ma. Please, terima aja Mas Aditya ya, Ma."

"Terserah kalau kamu mau hidup miskin."

Belinda langsung menggeleng-geleng keras. Gadis berambut blonde yang terawat itu melipat bibirnya seperti berpikir. Otaknya sedang berputar menimbang-nimbang semua ucapan ibunya itu. Yang gadis itu tahu, Aditya hanya karyawan biasa, sebagai admin pemasaran di perusahaan tempat mereka bekerja. Sedangkan Belinda adalah sekretaris yang memiliki gaji yang jauh berbeda dengan Aditya.

Kliiink!

Suara cangkir yang sedikit beradu dengan meja kaca di depannya membuyarkan pikiran Belinda. Belinda menatap Aditya lalu menunduk.

"Silahkan diminum," ucap sosok yang bersuara lembut yang sedari tadi menyebarkan cangkir-cangkir teh. Sepintas ekor mata Aditya melirik. Rupanya, seorang wanita berhijab yang manis.

"Bel, kamu mau kan terima lamaranku?" tanya Aditya menatap sendu wanita yang dicintainya itu.

"Gimana ya? Aku berat Mas. Apa kamu beneran gak bisa memenuhi permintaan ibuku?" tanya Belinda seperti berbisik.

"Aku cuma mampu segitu, Bel. Kamu tahu kan posisiku di kantor, baru sebagai admin pemasaran."

Aditya menggenggam kedua tanggannya sendiri. Nafasnya sedikit tersedat. Akan sulit jika benar sesuai firasatnya, Belinda akan menolaknya hanya karena kurang harta.

"Kamu jangan pelit-pelit dong, Mas. Jual apa kek. Katanya kamu cinta sama aku. Kok gak ada usahamu sedikit pun."

"Ini aku sedang usaha, Bel. Aku cinta sama kamu. Tapi kamu juga harus percaya sama aku. Aku janji, akan rajin kerja dan bahagiain kamu. Kamu percaya deh, aku pasti naik pangkat," ujar Aditya mencoba meyakinkan calon istrinya.

Belinda hanya belum tahu siapa Aditya yang sebenarnya dan belum saatnya dia tahu.

"Kamu baru kerja enam bulan, mau naik pangkat dari Hongkong, Mas. Kamu minjem online ajalah Mas," usul Belinda.

Aditya menghela nafasnya kuat-kuat. Pemuda itu tak suka nada bicara Belinda juga usul gilanya itu. Hidup tenang itu sederhana. Salah satunya, jangan banyak gaya lalu membebani diri dengan hutang hanya untuk sebuah pengakuan.

"Jadi intinya gimana?" tanya Aditya dengan nada tegas.

"Kok, masih bisa nanya intinya sagala," ketus Yuni dengan mata memincing sinis.

"Anak gadisku gak ditakdirkan buat hidup miskin apalagi sama laki-laki kere. Dengar-dengar, kamu hanya admin di sana. Gimana ceritanya, bisa suka sama anakku yang sudah jadi sekretaris? Lucu."

Setiap ucapan Yuni bagai sembilu bagi Aditya. Namun Aditya masih menahan diri. Jawaban Belinda adalah kunci setiap tindakannya ke depan.

"Maaf, Bu. Saya ingin dengar ucapan Belinda secara langsung. Gimana Bel? Apa ucapanmu mau menemaniku berjuang itu masih berlaku?"

Belinda mengigit bibirnya. Gadis itu menatap Aditya. Sepertinya dia sudah memiliki keputusan.

"Kamu memang tampan tapi tak modal, Mas. Mulai hari ini kita putus. Kamu cari perempuan lain ajalah."

Sejenak hanya hening di ruang itu. Kecuali suara tangan gadis pembawa teh tadi yang sedang meletakkan tisu makan di atas meja. Gadis itu seolah abai dengan segala pembicaraan di ruangan itu. Kini dia bersiap kembali lagi ke dapur.

"Baiklah. Aku akan menikahi wanita itu," ucap Aditya menoleh pada sosok gadis pembawa teh yang sedang melangkah menjauh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status