Share

3. KEPANIKAN SUAMIKU

“Lepaskan!” aku berusaha melepaskan diri. Pria ini mengunci tubuhku sangat erat hingga membuatku kesulitan bernapas.

“Diam. Atau kutembak kepalamu!” ucap pria itu dengan menodongkan senjata di samping kepalaku.

“Beraninya kau menangkapku! Awas, akan aku laporkan pada suamiku. Akan kuperintahkan dia untuk memecat dan menghukummu dengan berat!” mencoba mengancamnya. Semoga saja mereka takut dengan ancamanku.

“Justru Boss akan memberiku imbalan yang sangat besar jika aku berhasil menghentikanmu! Karena hanya kaulah yang harus ditendang dari sini! Menyerahlah. Aku akan melepaskanmu! Tapi kalau kau melawan, aku tak segan-segan menarik pelatuk senjata ini dan memecahkan kepalamu!”

Pria itu terlihat serius dengan ucapannya. Para penjaga pasti lebih mementingkan pekerjaannya daripada diriku. Aku harus mengatur strategi. Lebih baik berpura-pura mengalah saja. Biarlah otakku berpikir untuk mengatur strategi kembali.

“Oke. Aku menyerah. Tolong lepaskan aku.” Suaraku sengaja merendah. Lalu mengangkat kedua tanganku tanda menyerah.

“Buang senjatamu!” perintah pria itu. Aku menurut dan membuang balok kayu dan ikat pinggang di lantai.

Mereka terlihat berunding. Sialnya, orang ini tak jua melepasku. Bagaimana ini. Ijab kabul akan segera dilaksanakan. Tak mungkin pulang dengan tangan kosong.

“Ayo, ikut aku!” perintah pria yang menahanku. Sayangnya aku tak mendengar apapun  rencana mereka. Aku terlalu fokus dengan suara yang terdengar dari dalam. Bagaimana ini. Mereka akan membawaku kemana.

Namun belum juga dua langkah, pria yang menahanku menjerit kesakitan. Tanpa sengaja dia melepasku. Kesempatan bagus. Rupanya dia menginjak paku berukuran besar yang tertancap pada balok kayu.

Aku tak boleh melepas kesempatan ini. Segera mengambil senjata api pada tangan pria yang sedang mengaduh kesakitan. Lalu menodongkan senjata kepada para penjilat itu.

“Biarkan aku pergi atau aku tembak kalian!” ancamku pada mereka.

Kudengar mereka berunding. Salah satu dari mereka dengan lantang bersuara.

“Lakukanlah! Kau hanya wanita yang belum pernah memegang senjata! Coba saja tembak kami kalau berani. Ha ... ha ....” riuh tawa yang saling bersahutan membuatku geram. Rasanya tak perlu memberi penjelasan kalau aku lebih mahir dari mereka.

Waktuku sudah tidak banyak. Aku harus mengambil jalan pintas untuk menyelamatkan diriku. Terpaksa segera melumpuhkan mereka dengan menembakkan timah panas tepat di kaki mereka berempat. Ya, aku terpaksa melakukannya. Satu orang yang terkena paku sengaja tak kutembak. Kasihan, dia sudah merasab kesakitan.

Suara jeritan mengundang perhatian. Kulempar begitu saja senjata yang sudah kupergunakan. Menepuk-nepuk tangan sambil melengkungkan sudut bibir.

“Jangan pernah meremehkan seorang wanita yang sedang tersakiti. Dia tak segan menyakiti siapapun yang berhadapan dengannya!”

Segera pergi dan menyelinap di antara para tamu yang berdatangan untuk melihat keadaan. Untung saja aku berhasil melarikan diri. Setidaknya aku bisa mencari mahar terlebih dahulu. Setelah itu baru mengurus Hendra dan si pelakor.

Sayang sekali kalau uang sebanyak itu menjadi milik wanita yang sudah merebut kebahagiaanku.

Aku berhasil menyelinap hingga ruang ijab kabul. Netraku menyapu seluruh ruangan. Mencari kedua mempelai. Mahar pasti diletakkan tak jauh dari posisi mereka.

Tamu-tamu istimewa nampak hadir. Para pejabat, para artis dan juga wartawan. Banyak sekali wartawan yang meliput acara megah ini. Bahkan disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Hanya menjadi istri kedua saja, sok-sokan ingin viral. Benar-benar tak tahu malu dan memuakkan.

Tatapanku berhenti saat melihat kedua calon mempelai. Rahangku mengeras menahan amarah. Tanpa malu mereka saling bergandengan tangan dan tersenyum bahagia. Tak berpikirkah mereka sedikitpun tentang perasaanku. Terasa bagai ribuan pedang menusuk dan mencabik-canik segumpal daging dalam dadaku.

Teganya Hendra menghianati setelah semua yang kulakukan untuknya. Tak pernah sedikitpun aku membantah atau tak menuruti keinginannya. Tega sekali dia menyakitiku.

Aku tak boleh melow. Penghianatan sudah terpampang jelas di depan mata. Bodoh sekali kalau aku masih menangisinya. Segera menghapus airmata dan membusungkan dada. Menanamkan dalam bathin kalau aku tak membutuhkannya lagi. Apapun yang akan kulakukan tak seberapa dibanding dengan rasa sakt yang kuderita.

Aku juga tak peduli lagi dengan kredibilitas suami di mata para kliennya. Juga si pelakor binal itu. Seandainya karier keduanya akan hancur setelah kejadian ini, itu bukan salahku. Tapi salah mereka yang sudah berani menghianatiku.

Sepertinya para penjaga mulai menyisir tamu satu persatu. Artinya mereka sedang mencari diriku. Aku harus berhati-hati dan mempersiapkan diri.

Meraba bagian pinggang. “Astaga!” aku menepuk kening. Kenapa bisa sampai lupa kalau tak membawa senjata. Bodoh sekali kenapa tak membata senjata api tadi. Kenapa aku melemparnya begitu saja. Mungkin karena gugup dan takut tertangkap.

Apa yang bisa kuandalkan sekarang. Tak ada jalan lain aku harus terang-terangan menghentikan pernikahan ini. Tak peduli apa yang akan terjadi nanti. Waktuku sudah tidak banyak. Kulihat pak penghulu sudah mulai menjabat tangan Hendra. Suamiku juga sudah siap untuk mengikrarkan janji suci.

Kuakui kini Hendra terlihat lebih tampan dan berisi. Pantas saja artis sekelas Clarista menyukainya. Belum lagi rekeningnya yang semakin gendut. Aku yakin si pelakor bukan hanya menyukai suamiku tapi juga hartanya. Wanita seperti dia tak bisa hidup susah.

Tak perlu banyak melamun. Bergegas menyusup di antara para wartawan yang sedang meliput. Lumayan sulit menembus para pemburu berita yang saling bergerombol. Mereka pasti tidak mau kehilangan moment yang langka ini. Dimana super model sekaligus aktris terkenal ini melepas masa lajangnya. Apalagi mahar yang digembar gemborkan sangat fantastis. Enah apa lagi selain uang tunai.

Mungkin aku harus menunggu sampai wali si pelakor itu menyebut mahar. Ya. Aku harus sedikit bersabar.

Ada yang membuat kupingku memananas saat pak penghulu membaca status Hendra. Dia seorang duda cerai mati. Kurangajar sekali. Aku yang masih hidup, bisa-bisanya dikira mati.

Aku yakin sekali pasti Hendra menggunakan pelicin untuk mengeluarkan surat itu. Aku benar-benar tidak tahan. Segera keluar dari persembunyianku.

“Tunggu!” aku menghentikan penghulu.

Seluruh mata menatap ke arahku. Aku tak peduli dengan yang lain. Yang kuperhatikan adalah ekspresi dari wajah suamiku dan si pelakor. Mereka berdua terkejut dan saling pandang. Wajah keduanya memucat. Terutama Hendra. Dia pasti ketakutan kalau aku akan membuat kacau acaranya.

Aku tak takut lagi menghadapinya. Segera berjalan menuju sang pengantin.

“Luar biasa. Pernikahan yang luar biasa.” Aku bertepuk tangan dengan santai. Suasana yang semula gaduh menjadi senyap.

Aku melihat Hendra memanggil salah satu anak buahnya dan membisikkan sesuatu. Dengan sigap, beberapa anak buahnya menghadang langkahku

“Dasar pecundang kau Mahendra wicaksana suami sahku!” sengaja aku memberikan penekanan pada kata suami sahku.

Suasana yang semula hening menjadi riuh. Para tamu undangan saling berbisik.

“Apa-apa an ini. Siapa kamu?” tanya wali dari si pelakor. Kulihat wajahnya penuh amarah dan rasa malu.

Aku tak peduli. Tak ada keuntungannya memberi penjelasan kepada orang yang tak ku kenal. Lebih tertarik dengan suara gaduh di belakangku.

Aku menoleh ke arah belakang dimana terdengar suara berisik. Rupanya anak buah suamiku sedang menghalau para wartawan. Mereka diminta untuk keluar ruangan. Namun sebagian dari mereka tidak mau. Mereka sangat ingin meliputnya. Hingga terjadi kegaduhan karena anak buah Hendra memaksa para pemburu warta untuk meninggalkan ruangan.

Baru permulaan saja sudah sangat kacau begini. Namun ini menguntungkan diriku. Artinya kedatanganku tidak sia-sia. Hendra seperti membuat perangkap untuk dirinya dan calon istrinya.

Dengan gagah mereka mengundang wartawan untuk meliput. Namun sayang semua terjadi di luar perkiraan. Kehadiranku tak pernah terpikirkan. Mungkin Hendra berfikir kalau aku takkan datang.

‘Enak saja. Kalau kau tak membawa hartamu untuknya, mungkin aku tak sudi datang ke tempat ini Mahendra.’

Akan kumulai peranku sebagai istri pertama yang tersakiti dan akan membalas dendam. Bersiaplah untuk menanggung malu seumur hidup kalian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status