Share

2. MELAWAN PENJAGA

Bergegas melangkah dengan mengendap-endap dan sangat berhati-hati. Anak buah hendra berada di mana-mana. Bahkan dapur saja tak luput dari penjagaan ketat. Sok merasa menjadi seorang pejabat.

Kembali melanjutkan langkah dengan ekstra hati-hati. Tiba-tiba tanpa sengaja kakiku menendang pot bunga kecil hingga hancur berantakan. Walau tak menyebabkan bunyi yang sangat nyaring, tetap saja mengundang perhatian salah satu penjaga dengan pendengaran sempurna.

Ah sial. Sebentar lagi dia pasti menuju kemari. Bisa-bisa ketahuan sebelum tujuan tercapai.

“Siapa di situ?!”

Suara penjaga mengagetkanku. Mencoba menahan napas, lalu merapatkan tubuh ke dinding. Otakku masih terus berpikir apa yang harus dilakukan. Keringat mulai membanjiri wajah. Aku cemas. Apa jadinya kalau sampai ketahuan. Bagaimana nasib anakku kalau mereka menghabisiku di tempat ini.

Harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri. Demi Raisya putri semata wayangku, harus berani berjuang untuk melawan mereka.

Penjaga sudah semakin dekat. Aku bahkan belum bisa menemukan cara untuk menghindar darinya. Oh Tuhan, tolonglah hamba-Mu ini. Berikan jalan keluar dengan segera.

“Maong.”

Kulihat seekor kucing tak jauh dariku. Mudah-mudahan saja ini sebagai petunjuk dari yang kuasa. Benar saja, sang penjaga mengurungkan niatnya untuk mendekat. Setelah melihat seekor kucing, pria berpakaian safari warna hitam itu menjauh. Aku bisa bernafas lega sekarang.

Sesaat kemudian.melanjutkan langkah lebih hati-hati.

Telingaku mulai menangkap suara pembawa acara. Artinya acara akan segera dimulai. Aku harus segera sampai di sana sebelum ijab kabul terlaksana. Mahar itu tak boleh menjadi milik si pelakor. Kalau dia mau memiliki suamiku, silakan. Namun jangan harap harta akan ikut menjadi miliknya. Aku tidak rela.

Langkahku mengikuti ke mana arah angin yang membawa pesan suara. Dada mulai tak karuan. Degup jantung yang bertalu-talu menandakan kecemasan tengah melanda. Bukan hanya cemas, jujur saja rasa takut mulai menyelinap dalam hati. Tak mungkin aku bisa menghadapi anak buah Hendra yang sangat banyak dan tersebar di mana-mana.

Mungkin aku harus menggunakan cara yang cerdas. Ya. Otak lah yang harus banyak bekerja daripada fisik.

Kembali merapatkan tubuh ke dinding saat melihat ada dua penjaga yang sedang berkeliling. Tiga orang lagi berada tak jauh dari mereka. Satu-satunya pintu yang bisa dilewati, dijaga begitu ketat. Tak ada lagi jalan lain untuk menuju ruang utama.

Langkah terhenti sesaat. Harus segera menemukan cara untuk bisa masuk ke sana. Tak ada orang yang lalu lalang. Bahkan pihak catering tak ada yang terlihat. Mungkin saja mereka tak diperbolehkan masuk selama acara akad nikah berlangsung.

Dasar maling. Tetap saja ketakutan akan kedatanganaku.

Terus memutar otak. Namun belum ada ide satupun yang masuk dalam pikiran. Berjuta-juta sel dalam otak terasa tak berfungsi. Apalagi mendengar acara yang sudah dimulai membuatku makin panik.

Tak ada cara lain. Aku harus menghadapi para penjaga. Ya. Apapun resikonya.

Menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Aku sudah siap sekarang. Bersiap untuk menantang maut. Tapi bagaimana kalau mereka bersenjata.

Aku tidak boleh takut. Dulu aku terbiasa menghadapi para penjahat. Kini aku harus menjadi Briptu Vania yang dulu cerdas dan pandai melumpuhkan lawan.

Saat melangkah, kaki tersandung balok kayu yang cukup besar. Kupandangi sejenak, lalu mengambilnya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu nanti diperlukan.

Berusaha santai aku melangkah menuju pintu utama.

Belum hitungan empat langkah, para penjaga yang melihat kehadiranku berusaha menghentikan. Namun aku tak peduli dan tetap melanjutkan langkah.

“Diam di tempat atau aku tembak kau!” ucap salah satu penjaga yang berbadan tinggi besar. Terpaksa menghentikan langkah. Aku yakin dia benar-benar membawa senjata. Bukannya takut, tapi  tak ingin mati konyol sebelum bertemu dengan Hendra dan si pelakor.

“Siapa kamu?! buka penutup kepala dan maskermu!”

“Kalau aku tidak mau?” jawabku dengan lantang. Walau menantangnya, aku harus berhati-hati. Salah langkah sedikit saja, bisa membuatku mati konyol.

Lima orang sudah mengepungku. Benar-benar harus extra hati-hati dan perhitungan. Tetap tenang dan mencoba mengendalikan situasi.

Dasar pecundang. Hanya menghadapi satu wanita saja harus keroyokan. Benar-benar memalukan.

“Artinya kau adalah penyelundup. Kami wajib untuk menangkapmu!”

“Majulah kalau berani!” aku mengedarkan pandangan ke arah lima pria pengecut yang mengepungku.

“Jangan cari masalah dengan kami. Karena kami tak segan untuk menembak kepalamu!”

“Jangan banyak omong. Majulah. Lawanlah seorang wanita. Dan besok akan keluar di media kalau istri dari Mahendra meninggal karena dikeroyok oleh anak buahnya yang pengecut karena hanya berani menghadapi wanita saja!” jawabku dengan membusungkan dada.

Mengangkat kepala untuk menunjukkan bahwa aku bukanlah seorang penakut. Walau jauh dari lubuk hatiku sedikit gentar menghadapi lima orang yang bersenjata. Anak buah suamku sangat loyal kepada sang majikan. Hingga mereka berani melakukan apapun termasuk juga membunuhku.

Aku melihat wajah kelima pria itu memucat. Saling pandang dan menggelengkan kepala. Sepertinya mereka tak mengira kalau istri sah big boss akan datang. Namun entahlah, aku tak bisa membaca yang ada dipikiran kelima pria itu. Aku harus tetap waspada. Siapa tahu mereka dengan tiba-tiba menyerangku.

“Kami tak peduli siapa kamu! kami hanya menjalankan tugas. Siapapun yang masuk tanpa ijin dia harus keluar dari rumah ini!”

Huuch benar-benar membuang waktu saja. Acara sudah dimulai dan aku belum menemukan mahar itu. Bisa kacau kalau sampai pernikahan itu terjadi. Otomatis mahar itu menjadi milik si pelakor. Takkan kubiarkan itu terjadi. Dengan terpaksa aku harus menghadapi mereka. Ilmu yang aku pelajari saat bekerja sebagai abdi negara dulu, akan kugunakan untuk menghadapi mereka.

“Kalau begitu tangkap aku sekarang!” aku segera menarik ikat pinggang yang kupakai dan sudah terpasang banyak paku kecil di dalamnya. Senjata ini bisa dengan cepat melumpuhkan mereka. Gak akan mematikan senjata andalanku ini. Hanya untuk membuat luka sayatan kecil pada tubuh mereka. Minimal aku bisa melumpuhkan lawan.

Ini adalah cara yang diajarkan kakek kepadaku. Dulu tempat tinggalku dengan sekolah lumayan jauh. Aku yang hanya menggunakan sepeda kala itu dibekali ikat pinggang yang berisikan paku kecil. Dulu kakek tidak menyuruhku untuk memakainya. Namun menyimpannya di dalam tas demi keamananku. Dan kini cara itu akan aku gunakan untuk menghadapi lawanku.

Satu balok dan ikat pinggang sudah berada dalam genggaman. Bismillah. Aku sudah siap menghadapi lawan apapun hasilnya nanti. Aku akan berusaha hingga titik darah penghabisan.

“Ayo bersiaplah. Majulah kalian semua! Aku tak punya waktu banyak!”

Tak berapa lama mereka menyerangku dari segala penjuru. Aku membalasnya dengan menendang dan memukulkan balok dan ikat pinggang dengan membabi buta.

Teriakan satu persatu yang terkena sabetan ikat pinggangku menggema. Ada yang terkena kaki, lengan dan dada. Ada yang mengaduh dan tumbang. Namun masih ada dua orang yang tak merasakan sakit walau ada luka di tangan dan kaki mereka. Kuacungi jempol keberanian mereka.

“Aarrgh.” Sial. Saat aku lengah, salah satu dari mereka berhasil mengunci tubuhku. Bagaimana ini. Aku tidak bisa bergerak. Arrgh, semakin aku berusaha lepas, tubuhku makin terkunci. Tubuhnya yang kekar membuatku kesulitan untuk melepaskan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status