Share

4. MELUMPUHKAN SI PELAKOR

Saat aku sedang asik melihat anak buah suamiku mengusir para wartawan membuatku lengah. Hingga tak menyadari saat seseorang menarik tangan dan memaksaku untuk menjauh.

Badannya yang tinggi besar membuat tenaganya sangat kuat. Percuma berusaha untuk melepas cengkeramannya. Semakin berusaha lepas, tanganku terasa semakin sakit.

“Lepaskan tanganku!” aku berteriak sembari terus berusaha melepaskan tangan. Pria yang menarik tanganku menoleh. Tak membuang waktu segera kutonjok matanya. Walau tangan kiri yang kugunakan tetap bisa membuat pria itu mengaduh sambil memegangi matanya.

Lalu kutendang perutnya hingga dia terjatuh dan cengkeraman tangannya terlepas. Kutinggalkan dia dan berlari menuju calon pengantin.

Beberapa anak buah Hendra berusaha menghalangi. Aku melawan mereka dengan membabi buta. Menendang, meninju, memukul kepala serta seluruh gerakan yang pernah kupelajari. Beberapa orang berhasil kulumpuhkan. Namun anak buah Hendra sangat banyak. Mereka juga menuju kemari dengan tujuan yang sama.

Aku tak mungkin bisa menang. Jumlah mereka begitu banyak. Hanya dalam kedipan mata mereka sudah mengepungku. Aku kurang cepat dalam bertindak. Hanya berpikir dan berpikir saja yang membuat terperangkap dalam lingkaran yang bisa merenggut nyawa.

“Cepat ringkus dan bawa menjauh dari sini! Kalau perlu lenyapkan saja dengan rapi!” teriakan Hendra membuatku makin memuntahkan api amarah. Tanganku mengepal ingin meninju mulutnya yang kotor. Teganya dia berniat untuk menghilangkan nyawaku. Bukan hanya kelakuannya yang jahat. Ternyata otaknya juga kriminal. Hanya gara-gara dada yang montok dan tubuh sexy hasil operasi membuatnya lupa daratan.

Tanganku mengepal menahan amarah. Dia saja sudah tidak menghargaiku. Akupun akan melakukan hal yang sama.

Bukk. “Aw.” Aku memekik. Lagi-lagi aku terkena tendangan saat lengah hingga membuatku terjatuh. Bukan hanya ketahanan fisik sempurna yang kubutuhkan saat ini. Namun konsentrasi dan fokus juga harus bekerja dengan selaras.

Aku harus berhati-hati. Mereka tidak main-main dengan serangannya. Aku akan berpura-pura tak sadarkan diri untuk membuat para penjaga itu lengah. Semoga berhasil mengelabui mereka.

Aku heran, begitu banyaknya tamu yang hadir, tak ada satu orangpun yang mau menolongku. Tak ada rasa belas kasihkah dalam hati mereka. Atau mungkin saja mereka sama laknatnya dengan suamiku.

Aku bertahan dan masih berpura-pura tak sadarkan diri. Kupingku mendengar derap langkah menuju ke arahku.

“Bagaimana keadaannya?” itu adalah suara suamiku. Aku sangat mengenalinya. Sayangnya, aku tak dapat mengartikannya. Cemaskah atau gembira karena aku tak berdaya.

“Kelihatannya dia pinsan boss.”

“Cepat bawa dia pergi. Atau buang saja ke jurang. Aku tak mau dia mengganggu pernikahanku. Kalau sampai gagal, aku bisa gila. Aku gak mau kehilangan muka. Pernikahan ini disaksikan mata seluruh indonesia. Mereka pasti akan memakiku sebagai pelakor. Dan karierku pasti hancur. Aku tidak mau!”

Pelakor itu pasti cemas. Dan ternyata otaknya sama kriminalnya dengan suamiku.

“Tenanglah, Sayang.”

Sepertinya si pelakor sangat kesal. Isak tangisnya terdengar jelas membuat panas telinga. Apalagi saat suamiku menenangkannya. Untung saja aku tak membuka mata. Ingin sekali membunuh keduanya kalau saja tak ingat akan dosa. Harus sabar untuk menunggu kesempatan baik.

“Erik! Cepat bawa pergi wanita itu sekarang juga! Dan pastikan tak ada tamu undangan dan juga wartawan yang berada di dalam. Jangan biarkan ada seorangpun yang meliputnya! Kau mengerti?!” ucap Hendra dengan lantang.

“Mengerti, Bos.”

“Cepat laksanakan!”

“Siap, Boss.”

Aku memicingkan sebelah mata untuk memastikan si pelakor ada di posisi sebelah mana. Walau sulit aku terus berusaha menyapu pandangan. Dari sepatu dan pakaian yang dikenakan, aku tahu dia ada dua sisi dari hadapanku. Aku harus bersiap-siap untuk melakukan serangan.

Ups, untung saja aku belum bangun. Salah satu penjaga mengecek keadaanku. Posisinya sangat dekat sekali. Sedikit membuka mata dan mencari senjata yang mungkin dia bawa. Benar saja. Senjata tersembunyi di balik bajunya.

Perlahan, pria itu membalikkan tubuhku hingga posisi telentang. Saat dia siap menggendongku, aku menggerakan siku ke arah dadanya dengan keras. Pria itu mengerang kesakitan.

Tanpa menunggu lama, aku segera mengambil senjata dari balik pakaiannya. Semua penjaga terlihat panik dan bersiap menyerangku. Aku tak ingin dikalahkan. Segera berlari menuju si pelakor dengan menodongkan senjata api pada lehernya.

“Mundur kalian semua. Atau kutembak kepala pelakor ini!” ancamku kepada anak buah Hendra.

“Sayang! tolong aku!” teriak si pelakor sambil tangannya berusaha menggapai suamiku. Cuiih, panggilan itu membuat telingaku panas.

“Vania! Tolong. Jangan sakiti dia. Ini urusanku denganmu. Dia tidak bersalah. Tolong, dengarkan aku.”

“Kau bilang dia tidak bersalah?! Jelas salah. Dia sudah merebutmu dariku. Dan kau sama saja. Kalian berdua penghianat dan peselingkuh yang menjijikkan!” jawabku dengan lantang sembari tetap waspada. Sesekali menyapu pandangan ke arah para penjaga.

Dor. Aku terpaksa menembak kaki salah satu anak buah suamiku yang berusaha mengangkat senjata untuk menembakku.

“Aku sudah peringatkan kalian untuk mundur, atau kutembak wanita ini! Aku tidak main-main!” Aku kembali mengancam. Kalau mereka tak mau mundur, terpaksa aku akan melawan mereka. Namun terlebih dulu aku lumpuhkan hendra dan pelakor di hadapanku.

“Mundur kalian. Cepat!” Hendra memberi perintah kepada anak buahnya. Hal itu makin membuatku murka. Pertanda bahwa Hendra benar-benar takut kehilangan si pelakor.

Perlahan mereka mundur beberapa langkah.

‘Turunkan senjata kalian!” teriakku dengan kesal.

“Cepat. Turunkan senjata kalian!” kembali suamiku memerintahkan kepada anak buahnya. Mereka meletakkan senjata di lantai. Walau begitu aku harus tetap waspada. Senjata itu tak jauh dari hadapan mereka. Bisa saja mereka berhianat dan mengambil senjata lalu menembakku.

“Apa maumu?” tanya si pelakor dengan songongnya.

“Kau tanya apa mauku?! Seharusnya kau tak bertanya seperti itu, penghianat!”

“Bukan dia yang penghianat. Tapi kaulah yang tak tahu malu!” jawab si pelakor itu dengan berani.

“Apa masksudmu?!” aku menekan lehernya dengan lebih kuat. Tak peduli dia akan kesulitan untuk mengambil napas.

“Lepaskan aku! Uhuk ... uhuk ...”

“Jawab pertanyaanku, perebut suami orang!”

“Aku tidak merebutnya. Uhuk ... uhuk ... dia yang sudah tak menginginkanmu. Tapi kau yang memaksa Mas Hendra untuk tak menceraikanmu. Padahal, Mas Hendra sudah muak dengan kelakuanmu dan juga bau tubuhmu yang membuatnya tak berselera!”

“Oh. Cari mati kamu ya!”

Aku benar-benar kesal mendengar jawabannya. Asap seperti mengepul dari kepalaku. Rasanya tak sabar ingin menembakkan senjata ini ke kepalanya.

“Kau sudah menguji kesabaranku! Bersiaplah untuk mati! Akan kutembak kepalamu supaya otakmu yang tak berguna itu mati!”

Amarah yang kutahan kini tak berarti. Wanita binal ini benar-benar cari mati denganku. Dia pikir aku bermain-main. Salah besar jika dia mengganguku. Bidikanku selalu tepat sasaran. Akan ku pecahkan kepalanya saat ini juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status