Share

5. MEMBALAS SI PELAKOR

Bugg. “Aw.” Aku memekik kesakitan. Satu tendangan pada punggungku membuat senjata yang berada di tangan terjatuh. Aku limbung dan berusaha menyeimbangkan tubuh sambil terus memegangi si pelakor.

Bugg. Kembali satu tendangan mendarat pada punggungku. Kali ini terasa lebih keras dan menyakitkan hingga membuatku jatuh tersungkur. Secara otomatis tubuh wanita menjijikan itu lepas dari genggamanku. Sial. Aku merutuki diri sendiri.

Mereka sangat pandai membaca situasi. Jumlah mereka sangat banyak. Pasti bisa membagi tugas dengan baik. Sedangkan aku, terlalu nekat datang seorang diri.

Walaupun nantinya mereka bisa melumpuhkan atau bahkan mungkin mengambil nyawaku, tidak akan memberikan kebanggaan apapun. Seluruh dunia akan mengecam saat mengetahui bahwa satu wanita dikeroyok oleh banyak lelaki.

“Angkat senjata kalian! cepat habisi dia!” suara teriakan si pelakor membangunkan lamunan. Aku harus segera bertindak kalau tak mau mati konyol.

Menyapu pandangan. Anak buah Hendra sudah siap dengan senjata di tangan. Gila, mereka benar-benar berniat membunuhku. Bahkan saat aku tak bersenjata, mereka tetap saja ingin menghabisiku. Tak memberi kesempatan sedikitpun bagiku untuk melawan dengan senjata yang sama. Dasar pecundang.

Aku tak boleh pasrah dan harus bertindak cepat. Kutendang kaki wanita sialan itu. Saat tubuhnya hampir terjatuh segera menangkapnya dan menjadikan tameng untuk menutupi tubuhku dari serangan musuh.

Mengambil senjata yang terjatuh dengan kaki dan melempar ke udara lalu menangkapnya. Kemudian menggulingkan tubuh dengan memegang erat tubuh si pelakor. Aku tak peduli kalau dia yang akan kena peluru. Siapa suruh dia berbuat curang. Inilah balasan untuknya.

“Aw. Lepaskan aku! Aku tidak mau tertembak! Aw ....” teriak wanita licik itu seraya menutupi matanya.

“Nyawamu berada di ujung tanduk karena kebodohanmu! Siapa yang menyuruh mereka mengangkat senjata. Itu namanya senjata makan tuan, Bodoh! Bersiaplah untuk mengantar nyawamu!”

Aku terus menghindari timah panas dengan menggulingkan tubuh ke sisi yang aman. Sesekali menembakkan senjata ke arah musuh. Untung saja aku sudah terlatih dalam menghadapi situasi seperti ini. Menangkap para penjahat bahkan gembong narkobapun sudah pernah kulakukan.

“Mas, Hendra. Tolong hentikan mereka! Aku bisa mati!” teriak si pelakor dengan ketakutan. Dan aku sangat menikmati rasa takutnya.

“Aku sudah bilang, hati-hati dengannya! Dia mantan anggota kepolisian! Jangan meremehkan dia!” teriak suamiku. Rupanya dia masih mengingatnya. Aku pikir setelah sekian lama dia menekan kebebasanku dalam pengawasannya, dia sudah lupa bagaimana sepak terjang Briptu Vania dulu.

“Aw! Cepat perintahkan mereka untuk menghentikannya!” teriak si pelakor makin ketakutan. Jiwanya kini terpenjara dalam bisingnya suara tembakan dan dentingan barang-barang yang kulempar ke arah musuh. Apapun yang ada di hadapanku kuangkat dan juga menendang ke arah musuh. Walau lelah, aku harus terus bertahan.

Aku sangat menikmati ketakutan si pelakor dan juga suamiku.

“Bersiaplah! Aku akan melempar tubuhmu ke udara dan akan menghentikan dengan senjata ini ha ... ha ... ha ...” aku sangat menyukai permainan ini. Wanita ini berteriak sambil menutup matanya.

Aku melihat salah satu anak buah hendra bersiap menembak ke arahku. Segera mengangkat senjata bersiap untuk menembaknya terlebih dahulu. Sial. Peluru dalam senjataku sudah habis. Aku segera mengguling ke samping beberapa kali.

Harus segera mencari akal untuk menyelamatkan diri. Bagaimanapun caranya aku harus tetap hidup. Posisiku tak jauh dari dinding. Segera merapat ke dinding dan berusaha bangkit. Kutarik lengan Clarista yang berusaha untuk kabur.

‘Mau kemana kau?!” aku mencekik lehernya. Dengan sengaja merapatkan tubuh menjijikan itu pada tubuhku yang bersandar di dinding. Supaya anak buah Hendra tak berani menembakku. Minimal mereka akan berhati-hati.

“Lep ... paskan ... aku.”

“Kau perintahkan dulu kepada mereka untuk menurunkan senjatanya!” teriaku dengan sangat keras. Supaya hendra mendengarnya. Namun lelaki itu tetap bergeming seolah tak mendengarku. Dasar lelaki tak berguna. Tetap saja dia hanya mementingkan kepentingannya sendiri.

Aku menyapu pandangan. Tak ada seorangpun akan buah Hendra yang menurunkan senjata. Mereka tetap bersiap dengan senjata di tangan.

“Kau lihat calon suami kesayanganmu itu? Dia tidak peduli kepadamu! Dia hanya memikirkan dirinya sendiri seperti kebiasannya! Kau tak dipedulikan olehnya! Kasihan sekali. Dia lebih memilih aku membunuhmu!”

“Tidak mungkin!”

“Kau lihat saja sendiri.” Ucapku sambil menekan lebih keras leher si pelakor.

“Mas, tolong. Perintahkan mereka untuk menurunkan senjata, cepat!”

“Ba-baik.” Jawab Hendra terbata. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

‘Turunkan senjata kalian!” perintah Hendra kepada anak buahnya.

“Bukan hanya menurunkan saja! Kumpulkan semua senjata dan bawa ke hadapanku!” perintahku kepada mereka.

“Cepat lakukan perintahnya!” perintah Hendra kepada anak buahnya.

Satu persatu anak buah hendra mendekat dan meletakkan senjata tepat di hadapan. Walau begitu aku harus tetap waspada. Bisa saja salah satu dari mereka masih menyembunyikan senjata api dari balik pakaiannya.

“Cepat lepaskan aku!”

“Baik.” Aku memang memenuhi janji untuk melepasnya. Tapi tidak dengan melepas dia untuk menjauh dariku. Tetap bersiap kalau dia akan melangkah aku harus siap menahannya kembali.

Tak menyangka. Dia tidak kemana-mana. Namun seperti sedang merencanakan sesuatu. Sorot mata kupertajam. Entah kelicikan apa yang sedang tertanam dalam otaknya. Harus bersiap dengan segala kemungkinan.

Terus memperhatikan segala gerak geriknya. Sesekali dia melirik ke arah senjata yang tak jauh dari hadapanku. Aku mengerti sekarang. Dia pasti akan mengambil senjata itu dan berniat untuk menembakku.

Baiklah akan kulihat seberapa jauh keberaniannya. Dia bahkan tak tahu kalau aku bisa membaca apa yang direncanakannya. Aku akan berpura-pura lengah.

Uhuk uhuk. Aku berpura-pura batuk dan memegangi dadaku. Benar saja dia menunduk dan mengambil senjata. Tak kubiarkan rencananya berjalan mulus. Kuinjak tangannya hingga wanita itu mengaduh kesakitan. Senyum puas mengembang dari sudut bibirku. Lalu mensejajarkan diri dengannya.

“Apa kau ingin menembakku, hmm?” kuambil senjata dan menelusuri pipi mulusnya dengan pucuk senjata api. Dia terlihat sangat ketakutan. Wajahnya memucat dan bibirnya bergetar. Make up pengantin yang begitu sempurna akan kurusak.

Menarik rambut dan juga mahkota di kepalanya dengan paksa. Terdengarlah pekik suara mengenaskan. Gaun pengantin berwarna putih yang sangat indah dengan belahan dada yang  rendah sengaja kurobek hingga dadanya menyembul.

Clarista berteriak dan berusaha menutupi dadanya. Dia terus memakiku. Hampir seluruh penghuni kebun binatang keluar dari mulutnya.

“Kenapa? Kau marah karena gaun pengantin dan riasanmu kuhancurkan? Untung saja bukan wajahmu yang kuhancurkan!”

“Dasar wanita iblis kau! Jauhkan pistol itu dariku!”

“Apa kau takut? Anggap saja pistol ini adalah jemari selingkuhanmu.” Ucapku dengan nada sinis. Kembali menekan jemarinya dengan kakiku hingga bunyi kreek. Bunyi apa itu. Apakah tulangnya remuk. Padahal aku tak menginjaknya dengan keras. Syukurlah kalau memang remuk. Hingga tak bisa membelai pipi suamiku lagi.

“Ahhh ....” Lolongan panjang si pelakor sangat menyayat hati.

“Kenapa? Sakit?” tanyaku berpura-pura kasihan dan sekali lagi menginjaknya hingga dia kembali menjerit kesakitan.

“Vania! Jangan keterlaluan kamu!”

“Diam ditempatmu atau kubunuh dia! Aku akan mengurusmu nanti! Kau ada bagiannya sendiri! Tunggulah!” aku menghentikan langkah suamiku.

“Kalau kau nekat. Kupastikan wanita yang kau cintai ini akan meregang nyawa di hadapanmu!” aku menekan senjata api pada wajah wanita sialan itu untuk mengancam suamiku.

Hendra mundur beberapa langkah. Sial. Ternyata dia perhatian juga dengan nyawa selingkuhannya itu hingga membuatku makin muak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status