POV. Aksa"Aku sudah tidak peduli. Kamu mau menikahi dia, kamu mau menceraikan dia. Bukan urusanku. Justru sekarang juga, aku yang akan meminta cerai. Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau lagi bersuamikan laki-laki yang kelakuannya bahkan melebihi kelakuan binatang!"Lagi-lagi, Luna berbicara dengan sangat lantang. Perempuan itu. Sudah kuperlakukan dengan baik, tetap saja bersikap angkuh. Lama-lama, aku pun kesal juga. Apalagi, semenjak dia mengetahui perselingkuhanku dengan Bunga, akhir-akhir ini, dia entah sudah berapa kali mengataiku sebagai binatang. Aku juga heran. Dia yang notebenya sebagai bisnis woman, sebagai seorang putri pejabat, namun mulutnya tidak bisa terkontrol. Tingkahnya juga cenderung arogan. "Luna! Kamu dengar tidak. Nyalakan airnya sekarang juga. Kamu jadi perempuan terlalu angkuh. Selalu ingin menjadi yang paling dominan, di setiap keadaan. Laki-laki mana pun, tidak akan tahan, hidup bersama dengan perempuan sepertimu. Kamu itu sudah berani kurang ajar.
"Bu, itu sepertinya suami Ibu, deh, Pak Aksa. Iya, Bu, tidak salah lagi. Dia berjalan keluar, bersama seorang per ...."Saat aku sedang sibuk memilih barang belanjaan, tiba-tiba saja, Risa--asistenku, menepuk punggungku dengan rusuhnya, sambil mengucapkan kalimat yang sulit diterima logika.Mana mungkin, suamiku ada di sini. Mungkin Risa salah lihat. Atau mungkin Risa melihat orang yang mirip dengan suamiku. Sehingga asistenku mengira, bahwa dia adalah suamiku.Sejak dua hari yang lalu, Mas Aksa sedang dinas ke luar kota. Dan sore nanti, pekerjaannya baru selesai. Jadi baru nanti malam, dia akan sampai di rumah.Jadi jika Risa bilang, dia baru saja melihat suamiku, kupastikan, dia pasti salah lihat."Risa, Mas Aksa itu sedang dinas di luar kota. Sudah tiga hari ini. Nanti sore, pekerjaannya baru selesai. Nanti malam, baru sampai rumah," jawabku tanpa menoleh.Aku sedang sibuk mencocokkan catatan belanjaanku dengan tulisan-tulisan yang tertempel di produk-produk yang terpajang ini. Ja
Kutatap jarum jam yang tidak berhenti berputar. Hingga jarum pendek itu sudah menyentuh angka delapan, dengan jarum panjang yang tegak berdiri di angka dua belas.Detik demi detik pun terus berlalu, namun tak juga kudengar deru suara mobil suamiku.Kupadamkan lagi, lilin-lilin yang tadi telah terbakar. Kutinggalkan meja makan, menuju ke ruang tamu.Menyibak gorden jendela, berharap laki-laki yang kutunggu itu akan segera pulang. Namun nihil. Hanya terlihat bayangan kucing tetangga, yang lewat di depan rumah.Mungkin sebentar lagi, pikirku. Mungkin dia masih di jalan. Mungkin dia terjebak kemacetan.Ya Allah, selamatkanlah suamiku, di setiap perjalanannya. Aku tidak henti-hentinya, melantunkan doa, meski hanya di dalam hati saja.Kenapa tidak kutelpon saja? Ah, ternyata karena terlalu menunggu, membuat otakku tidak bisa berfikir jernih.Kembali lagi, aku naik ke kamarku. Kuambil benda pipih, yang biasa digunakan untuk bertukar kabar dengan suamiku itu. Siapa tahu, ternyata dia sudah me
"Mas, kok, kamu bau parfum perempuan?" tanyaku, heran."Ah, enggak, kok. Siapa bilang? Masak iya, bau parfum perempuan? Aku lelah, Sayang, tolong kamu jangan mengada-ada. Aku bahkan dari tadi pagi tidak sempat mandi, karena saking sibuknya."Suamiku menjawab tanpa sedikit pun terlihat keraguan. Bahkan, kedua matanya itu menatapku dengan penuh keyakinan."Aku mencintaimu. Tidak ada yang lebih berarti di dunia ini, selain kamu, Sayang," ucapnya, sambil mengusap pipiku."Aku rela bekerja keras untuk kamu. Untuk tabungan kita, jika nanti kita sudah punya buah cinta. Aku melakukan semuanya untuk masa depan keluarga kecil kita, nantinya. Kamu percaya kan, sama aku?" lanjutnya.Aku mengangguk. Apa pun yang dia katakan, aku percaya. Karena aku pun juga sangat mencintainya."Mas, aku rindu ...."Kutepikan rasa gengsiku. Kulupakan harga diriku. Kukalungkan kedua tanganku, di lehernya. Aku berharap dia akan membalasku, dan mengobati rasa rinduku.Mas Aksa terlihat menelan ludah. Dia seolah begit
Prang!!!Dengan rasa kesal, kubanting piring yang ada di tanganku. Masih kurang puas, lilin-lilin itu pun kuambil, dan kubanting ke lantai begitu saja.Kutinggalkan balkon, masuk ke kamarku. Dan ternyata, Mas Aksa sudah tertidur pulas di ranjang. Bahkan dengkurannya terdengar lebih keras dari biasanya. Dia tertidur, seolah tanpa beban.Kembali, aku menangis. Jika tadi adalah makanan buatanku yang diabaikan, kini justru rasa rinduku, yang tidak terbalaskan.Ada apa, dengan suamiku? Biasanya, begitu dia pulang dari luar kota, dia pasti tidak akan mengabaikan aku seperti ini. Tapi kali ini ....Akhirnya aku berfikir untuk memeriksa ponselnya. Siapa tahu, di situ aku bisa menemukan sesuatu.Kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja itu. Kubuka, aplikasi hijau itu. Semua normal, semua sama. Tidak ada yang mencurigakan.Aku pun membuka aplikasi yang lainnya lagi. Namun lagi-lagi aku tidak menemukan sesuatu.Karena lelah dan mengantuk, akhirnya aku pun tertidur di sampingnya.Lagi-lagi, ak
Bekas bibir siapa, yang menempel di baju suamiku ini?Dengan dada yang bergemuruh hebat, kukembalikan lagi, baju-baju suamiku yang tadinya sudah kumasukkan ke plastik.Aku merasa jijik. Aku jijik dengan baju-baju itu. Dan tiba-tiba aku juga merasa jijik, mengingat peristiwa penyatuan kami yang tadi pagi.Dengan tangan gemetar, aku hanya memilih baju-bajuku saja, untuk kubawa ke laundry. Aku tidak sudi, membawa pakaian lelaki itu."Bu .... Bu Luna ...."Suara teriakan Risa, mengagetkan lamunanku.Lekas kuseka air mata yang ternyata sudah mengalir deras di pipiku. Jangan sampai, asisten pribadiku itu, melihat tangisanku.Aku pun gegas berlalu, keluar dari kamarku.Menuruni tangga dengan setengah berlari, sambil menaruh tas selempang di pundakku, dan membawa kantong plastik berisi pakaian kotor di tangan kananku."Kok, lama, Bu?" tanya Risa begitu mendapati aku keluar dari pintu."Maaf, tadi harus mengambil pakaian kotor, mau aku bawa ke tempat laundry sekalian," jawabku."Bu Luna, menan
"Mas, aku butuh penjelasan kamu. Kenapa kaos yang kamu pakai, ada noda lipstiknya?" ucapku sambil menahan sesak.Mas Aksa menampilkan ekspresi terkejut, mendengar kalimat yang kuucapkan. Tidak lama kemudian, mengambil kaos yang terpuruk di lantai itu, kemudian membolak-balik, memeriksanya.Dan saat matanya mendapati noda lipstik itu, dia seolah-seolah seperti sedang berfikir.Kemudian dia bergumam dengan lirih, namun telingaku masih bisa menangkap suara itu."Apa mungkin pas di lift itu, ya?" gumamnya."Maaf, Sayang, kemarin kan di lift itu, berdesakan, terus ada perempuan yang tubuhnya terdorong sampai wajahnya sempat menempel ke pundak aku," ucapnya."Aku berani sumpah. Aku nggak pernah macem-macem. Masak iya sih, aku mau menukar berlian yang ada di rumah, sama batu kerikil di jalanan. Aku nggak sebodoh itu, Sayang ...." ucap suamiku dengan begitu yakin.Bahkan dia berani menatap mataku. Tidak sedikit pun, terlihat menyimpan kebohongan."Sayang, aku punya kejutan buat kamu. Sebenta
POV. AksaSetelah menghabiskan waktu bersenang-senang bersama Bunga dan mengantarnya pulang, aku pun berniat hendak pulang ke rumahku.Kulajukan mobilku menuju rumah, dan mendapati istriku yang merajuk gara-gara mendapati noda lipstik di kaosku. Ya, itu adalah noda lipstiknya Bunga. Aku yakin, itu. Untunglah aku bisa berkilah, dan bisa meyakinkan Luna.Apalagi aku punya senjata ampuh pemberian Mama, yaitu voucher menginap di hotel bintang lima. Luna pun tampak berbinar bahagia, begitu menyaksikan pemandangan dari dalam hotel itu.Dan akhirnya, kuberikan lagi nafkah batin itu. apalagi Luna memang sangatlah cantik dan menggoda, tatkala memakai baju tidur yang kubawakan tadi.Namun ternyata dalam memberikan nafkah batin itu, aku justru melakukan kesalahan besar yang sama sekali tidak kusengaja.Aku justru teringat dengan tubuh Bunga yang sedang dilulur oleh pegawai salon itu. Hingga saat aku merasa melayang, aku justru menyebut nama Bunga.Mendengar ucapanku yang memang tidak semestinya,