Share

Part 3. Aku meminta terlebih dahulu.

"Mas, kok, kamu bau parfum perempuan?" tanyaku, heran.

"Ah, enggak, kok. Siapa bilang? Masak iya, bau parfum perempuan? Aku lelah, Sayang, tolong kamu jangan mengada-ada. Aku bahkan dari tadi pagi tidak sempat mandi, karena saking sibuknya."

Suamiku menjawab tanpa sedikit pun terlihat keraguan. Bahkan, kedua matanya itu menatapku dengan penuh keyakinan.

"Aku mencintaimu. Tidak ada yang lebih berarti di dunia ini, selain kamu, Sayang," ucapnya, sambil mengusap pipiku.

"Aku rela bekerja keras untuk kamu. Untuk tabungan kita, jika nanti kita sudah punya buah cinta. Aku melakukan semuanya untuk masa depan keluarga kecil kita, nantinya. Kamu percaya kan, sama aku?" lanjutnya.

Aku mengangguk. Apa pun yang dia katakan, aku percaya. Karena aku pun juga sangat mencintainya.

"Mas, aku rindu ...."

Kutepikan rasa gengsiku. Kulupakan harga diriku. Kukalungkan kedua tanganku, di lehernya. Aku berharap dia akan membalasku, dan mengobati rasa rinduku.

Mas Aksa terlihat menelan ludah. Dia seolah begitu gugup dan gelisah. Hatiku pun bertanya-tanya, apakah ada yang salah?

"Sayang, aku mandi dulu, ya? Bau keringatku nggak enak banget, sudah dari subuh, belum mandi lagi. Aku nggak ingin, nanti kamu justru mual-mual, karena bau badanku. Apalagi kamu sudah dandan cantik, sudah wangi. Aku masih dekil dan bau. Aku nggak pede, mau dekat-dekat sama kamu. Aku mandi dulu, ya?"

Dilepaskannya tanganku dengan pelan. Dan dia pergi begitu saja ke kamar mandi, tanpa melihatku lagi.

Tak sadar, air mata ini pun lolos begitu saja. Rasa sedihku tiba-tiba saja menyeruak. Suami yang begitu kurindu, ternyata mengabaikan aku. Seandainya dia tahu, bahkan aku sudah bersiap untuk menyambutnya, sejak matahari masih di atas kepala.

Tidak, aku tidak boleh cengeng. Ini bukan hal yang serius. Dia bukannya menolak. Dia hanya ingin membersihkan diri, agar bersih dan wangi. Aku harus bersabar.

Akhirnya, kutunggu dia dengan duduk di bibir ranjang. Namun ternyata, dia mandinya sangat lama. Lama sekali. Tidak seperti biasanya. Entah apa saja yang dia lakukan di dalam. Karena sama sekali tidak terdengar suara air yang mengalir.

Aku pun teringat dengan kue ulang tahun, dan dengan aneka macam hidangan yang kubuat tadi.

Kulangkahkan kakiku turun ke bawah. Biar kuambil saja, kubawa masuk ke kamar. Agar suami kesayanganku yang sedang kelelahan itu, tidak harus turun naik tangga.

Dengan setengah berlari, aku mengusung semuanya. Hingga aku harus naik turun tangga, sebanyak tiga kali. Tidak masalah bagiku. Demi cintaku terhadap lelaki itu.

Aneka hidangan beserta kue ulang tahun yang tadi tertata rapi di meja makan, kini berpindah ke meja yang ada di balkon, di depan kamar kami.

Kumatikan semua lampu yang ada. Cukup lilin-lilin ini saja, yang menjadi penerangnya.

Ini akan menjadi kejutan yang sempurna. Suamiku tidak tahu, jika aku sudah menyiapkan semuanya. Dia bahkan masih sibuk di kamar mandi. Semoga saja dia suka.

"Mas, cepetan," ucapku.

"Iya, sebentar, Sayang," jawabnya.

Tidak lama kemudian, dia pun keluar dari kamar mandi, dengan badan yang hanya terlilit handuk, dari perut hingga lututnya.

Lekas kuambil handuk kecil, untuk mengeringkan rambutnya.

Pakaian ganti yang sudah kusiapkan sedari tadi, kini sudah mulai kupasangkan ke tubuhnya. Kulakukan semuanya dengan penuh cinta.

Setelah dia memakai pakaiannya, aku pun mengajaknya untuk ke balkon di depan kamar kami?

Aku berharap, dia akan terharu dengan kejutan yang kuberikan.

Semua lilin itu, sudah menyala dengan sempurna.

"Mas, Selamat ulang tahun, ya? Semoga panjang umur, sehat dan banyak rejeki. Dan semoga, Mas Aksa bisa menjadi suami yang lebih baik lagi. Bisa menjadi imam yang baik, bisa membimbingku, agar lebih baik lagi," ucapku.

Mas Aksa menatap nanar, dengan semua yang ada di hadapannya.

"Kamu menyiapkan semua ini, untuk aku?" tanya dia.

Aku mengangguk kecil. Dia pun membingkai wajahku. Lagi, bibir itu menciumku bertubi-tubi.

"Terimakasih, Sayang. Kamu adalah istriku yang paling baik. Aku janji, aku akan berusaha untuk menjadi suami yang lebih baik lagi," ucapnya.

"Sayang, aku minta maaf, jika selama ini, sering berbuat salah," lanjutnya.

"Tidak, Mas. Kamu adalah suami yang baik. Suami yang sempurna. Justru aku yang seharusnya meminta maaf. Karena sejauh ini, aku belum bisa memberikan cucu untuk orang tua kita," jawabku.

"Oh, tidak apa-apa. Kami semua tidak pernah mempermasalahkan. Kamu jangan khawatir. Jangan dijadikan beban. Kehadiran anak, bukan sepenuhnya kuasa kita. Tidak ada yang menuntut harus punya anak. Lagian kita juga menikah baru kemarin," jawab suamiku.

"Baru kemarin? Sudah hampir dua tahun, Mas," ucapku.

"Tapi rasanya baru kemarin. Mungkin karena aku saking bahagianya, punya istri yang sempurna seperti kamu."

Lagi, dia mencium pipiku. Jika sudah semanis itu perlakuannya, istri mana yang bisa menolaknya?

"Maaf, ya Mas? Lilinnya sudah pada pendek. Sebenarnya tadi sudah sempat aku nyalakan, tapi Mas Aksa tidak pulang-pulang. Akhirnya, aku padamkan lagi," ucapku.

"Kita potong kuenya, ya?" ucapku.

"Oh, iya, sampai lupa," Mas Aksa tertawa, memperlihatkan gigi-giginya yang tertata rapi.

Mas Aksa pun memotong kue itu, kemudian menyuapkannya ke mulutku.

Aku bahkan sampai kewalahan, karena ternyata suamiku itu mengerjaiku. Dia memberikan potongan kue yang besar, ke dalam lubang mulutku yang kecil.

Setelah memakan sedikit kue itu, aku pun berencana untuk makan makanan yang kubuat tadi.

"Mas, kita makan dulu, ya? Perutku sudah sangat lapar, tapi dari tadi, mencoba kutahan. Aku pingin makan bareng kamu."

Aku berbicara sambil meraih piring yang ada. Namun belum juga aku memindahkan nasi dari Magicom ke piring, Mas Aksa sudah berbicara.

"Kamu makan sendiri saja, Sayang, ya? Maaf, aku tadi sudah makan. Tadi pas jalanan macet, ada orang yang jual nasi bungkus keliling. Kasihan banget, dia. Orangnya sudah tua. Akhirnya aku beli, aku makan. Masih kenyang banget, ini. Lagi pula, aku malah tidak ingat, kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Coba, tadi kamu bilang dulu sama aku. Pasti aku akan langsung pulang, dan tidak makan di jalan," jawab suamiku sambil menepuk perutnya berkali-kali.

Kini tanganku hanya bisa mengambang di udara, sambil memegang piring yang ada. Nasi pun, urung kuambil.

Lagi-lagi, aku merasakan kesedihan. Aku yang sudah seharian tadi rela berkutat di dapur, hingga tanganku kebas dan terasa pegal, ternyata hasil kerjaku sama sekali tidak disentuhnya.

Tidak bisakah dia, menyenangkan aku? Tidak bisakah dia, berpura-pura suka, dan memakan masakanku, meski hanya sedikit saja?

"Maaf, Sayang, ya? Mas tadi sudah makan. Sudah kenyang, kamu makan saja sendiri," ucapnya lagi.

Kemudian, dia berlalu pergi begitu saja, masuk ke kamar, tanpa menoleh lagi ke arahku.

"Mas, setidaknya jika memang perutmu sudah tidak kuat menampung makanan, temani aku, suapi aku ...." lirihku dalam hati.

Aku hanya bisa mematung, tanpa beranjak dari tempat dudukku. Kutatap punggungnya yang menghilang, berbelok ke arah ranjang.

Kutatap menu-menu hidangan yang tadi kubuat dengan tanganku. Harapan pesta kecil yang tadi sempat melambung, kini mendadak limbung.

Rasa lapar yang tadi menyergap, kini hilang sudah, menguap entah ke mana. Berganti dengan rasa kecewa yang tiada tara.

Pikiranku kembali berkelana. Memikirkan tentang bau parfum itu, juga tentang bau tubuh suamiku.

Menerka-nerka tentang banyak hal. Apakah mungkin, dia sudah kenyang di luaran sana? Sudah ada yang melayani kebutuhan perutnya, sudah ada yang memenuhi kebutuhan biologisnya? Sehingga begitu pulang ke rumah, dia bisa mengabaikan aku, begitu saja?

Prang!!!

Dengan rasa kesal, kubanting piring yang ada di tanganku. Masih kurang puas, lilin-lilin itu pun kuambil, dan kubanting ke lantai begitu saja.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status