"Mas, kok, kamu bau parfum perempuan?" tanyaku, heran.
"Ah, enggak, kok. Siapa bilang? Masak iya, bau parfum perempuan? Aku lelah, Sayang, tolong kamu jangan mengada-ada. Aku bahkan dari tadi pagi tidak sempat mandi, karena saking sibuknya."
Suamiku menjawab tanpa sedikit pun terlihat keraguan. Bahkan, kedua matanya itu menatapku dengan penuh keyakinan.
"Aku mencintaimu. Tidak ada yang lebih berarti di dunia ini, selain kamu, Sayang," ucapnya, sambil mengusap pipiku.
"Aku rela bekerja keras untuk kamu. Untuk tabungan kita, jika nanti kita sudah punya buah cinta. Aku melakukan semuanya untuk masa depan keluarga kecil kita, nantinya. Kamu percaya kan, sama aku?" lanjutnya.
Aku mengangguk. Apa pun yang dia katakan, aku percaya. Karena aku pun juga sangat mencintainya.
"Mas, aku rindu ...."
Kutepikan rasa gengsiku. Kulupakan harga diriku. Kukalungkan kedua tanganku, di lehernya. Aku berharap dia akan membalasku, dan mengobati rasa rinduku.
Mas Aksa terlihat menelan ludah. Dia seolah begitu gugup dan gelisah. Hatiku pun bertanya-tanya, apakah ada yang salah?
"Sayang, aku mandi dulu, ya? Bau keringatku nggak enak banget, sudah dari subuh, belum mandi lagi. Aku nggak ingin, nanti kamu justru mual-mual, karena bau badanku. Apalagi kamu sudah dandan cantik, sudah wangi. Aku masih dekil dan bau. Aku nggak pede, mau dekat-dekat sama kamu. Aku mandi dulu, ya?"
Dilepaskannya tanganku dengan pelan. Dan dia pergi begitu saja ke kamar mandi, tanpa melihatku lagi.
Tak sadar, air mata ini pun lolos begitu saja. Rasa sedihku tiba-tiba saja menyeruak. Suami yang begitu kurindu, ternyata mengabaikan aku. Seandainya dia tahu, bahkan aku sudah bersiap untuk menyambutnya, sejak matahari masih di atas kepala.
Tidak, aku tidak boleh cengeng. Ini bukan hal yang serius. Dia bukannya menolak. Dia hanya ingin membersihkan diri, agar bersih dan wangi. Aku harus bersabar.
Akhirnya, kutunggu dia dengan duduk di bibir ranjang. Namun ternyata, dia mandinya sangat lama. Lama sekali. Tidak seperti biasanya. Entah apa saja yang dia lakukan di dalam. Karena sama sekali tidak terdengar suara air yang mengalir.
Aku pun teringat dengan kue ulang tahun, dan dengan aneka macam hidangan yang kubuat tadi.
Kulangkahkan kakiku turun ke bawah. Biar kuambil saja, kubawa masuk ke kamar. Agar suami kesayanganku yang sedang kelelahan itu, tidak harus turun naik tangga.
Dengan setengah berlari, aku mengusung semuanya. Hingga aku harus naik turun tangga, sebanyak tiga kali. Tidak masalah bagiku. Demi cintaku terhadap lelaki itu.
Aneka hidangan beserta kue ulang tahun yang tadi tertata rapi di meja makan, kini berpindah ke meja yang ada di balkon, di depan kamar kami.
Kumatikan semua lampu yang ada. Cukup lilin-lilin ini saja, yang menjadi penerangnya.
Ini akan menjadi kejutan yang sempurna. Suamiku tidak tahu, jika aku sudah menyiapkan semuanya. Dia bahkan masih sibuk di kamar mandi. Semoga saja dia suka.
"Mas, cepetan," ucapku.
"Iya, sebentar, Sayang," jawabnya.
Tidak lama kemudian, dia pun keluar dari kamar mandi, dengan badan yang hanya terlilit handuk, dari perut hingga lututnya.
Lekas kuambil handuk kecil, untuk mengeringkan rambutnya.
Pakaian ganti yang sudah kusiapkan sedari tadi, kini sudah mulai kupasangkan ke tubuhnya. Kulakukan semuanya dengan penuh cinta.
Setelah dia memakai pakaiannya, aku pun mengajaknya untuk ke balkon di depan kamar kami?
Aku berharap, dia akan terharu dengan kejutan yang kuberikan.
Semua lilin itu, sudah menyala dengan sempurna.
"Mas, Selamat ulang tahun, ya? Semoga panjang umur, sehat dan banyak rejeki. Dan semoga, Mas Aksa bisa menjadi suami yang lebih baik lagi. Bisa menjadi imam yang baik, bisa membimbingku, agar lebih baik lagi," ucapku.
Mas Aksa menatap nanar, dengan semua yang ada di hadapannya.
"Kamu menyiapkan semua ini, untuk aku?" tanya dia.
Aku mengangguk kecil. Dia pun membingkai wajahku. Lagi, bibir itu menciumku bertubi-tubi.
"Terimakasih, Sayang. Kamu adalah istriku yang paling baik. Aku janji, aku akan berusaha untuk menjadi suami yang lebih baik lagi," ucapnya.
"Sayang, aku minta maaf, jika selama ini, sering berbuat salah," lanjutnya.
"Tidak, Mas. Kamu adalah suami yang baik. Suami yang sempurna. Justru aku yang seharusnya meminta maaf. Karena sejauh ini, aku belum bisa memberikan cucu untuk orang tua kita," jawabku.
"Oh, tidak apa-apa. Kami semua tidak pernah mempermasalahkan. Kamu jangan khawatir. Jangan dijadikan beban. Kehadiran anak, bukan sepenuhnya kuasa kita. Tidak ada yang menuntut harus punya anak. Lagian kita juga menikah baru kemarin," jawab suamiku.
"Baru kemarin? Sudah hampir dua tahun, Mas," ucapku.
"Tapi rasanya baru kemarin. Mungkin karena aku saking bahagianya, punya istri yang sempurna seperti kamu."
Lagi, dia mencium pipiku. Jika sudah semanis itu perlakuannya, istri mana yang bisa menolaknya?
"Maaf, ya Mas? Lilinnya sudah pada pendek. Sebenarnya tadi sudah sempat aku nyalakan, tapi Mas Aksa tidak pulang-pulang. Akhirnya, aku padamkan lagi," ucapku.
"Kita potong kuenya, ya?" ucapku.
"Oh, iya, sampai lupa," Mas Aksa tertawa, memperlihatkan gigi-giginya yang tertata rapi.
Mas Aksa pun memotong kue itu, kemudian menyuapkannya ke mulutku.
Aku bahkan sampai kewalahan, karena ternyata suamiku itu mengerjaiku. Dia memberikan potongan kue yang besar, ke dalam lubang mulutku yang kecil.
Setelah memakan sedikit kue itu, aku pun berencana untuk makan makanan yang kubuat tadi.
"Mas, kita makan dulu, ya? Perutku sudah sangat lapar, tapi dari tadi, mencoba kutahan. Aku pingin makan bareng kamu."
Aku berbicara sambil meraih piring yang ada. Namun belum juga aku memindahkan nasi dari Magicom ke piring, Mas Aksa sudah berbicara.
"Kamu makan sendiri saja, Sayang, ya? Maaf, aku tadi sudah makan. Tadi pas jalanan macet, ada orang yang jual nasi bungkus keliling. Kasihan banget, dia. Orangnya sudah tua. Akhirnya aku beli, aku makan. Masih kenyang banget, ini. Lagi pula, aku malah tidak ingat, kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Coba, tadi kamu bilang dulu sama aku. Pasti aku akan langsung pulang, dan tidak makan di jalan," jawab suamiku sambil menepuk perutnya berkali-kali.
Kini tanganku hanya bisa mengambang di udara, sambil memegang piring yang ada. Nasi pun, urung kuambil.
Lagi-lagi, aku merasakan kesedihan. Aku yang sudah seharian tadi rela berkutat di dapur, hingga tanganku kebas dan terasa pegal, ternyata hasil kerjaku sama sekali tidak disentuhnya.
Tidak bisakah dia, menyenangkan aku? Tidak bisakah dia, berpura-pura suka, dan memakan masakanku, meski hanya sedikit saja?
"Maaf, Sayang, ya? Mas tadi sudah makan. Sudah kenyang, kamu makan saja sendiri," ucapnya lagi.
Kemudian, dia berlalu pergi begitu saja, masuk ke kamar, tanpa menoleh lagi ke arahku.
"Mas, setidaknya jika memang perutmu sudah tidak kuat menampung makanan, temani aku, suapi aku ...." lirihku dalam hati.
Aku hanya bisa mematung, tanpa beranjak dari tempat dudukku. Kutatap punggungnya yang menghilang, berbelok ke arah ranjang.
Kutatap menu-menu hidangan yang tadi kubuat dengan tanganku. Harapan pesta kecil yang tadi sempat melambung, kini mendadak limbung.
Rasa lapar yang tadi menyergap, kini hilang sudah, menguap entah ke mana. Berganti dengan rasa kecewa yang tiada tara.
Pikiranku kembali berkelana. Memikirkan tentang bau parfum itu, juga tentang bau tubuh suamiku.
Menerka-nerka tentang banyak hal. Apakah mungkin, dia sudah kenyang di luaran sana? Sudah ada yang melayani kebutuhan perutnya, sudah ada yang memenuhi kebutuhan biologisnya? Sehingga begitu pulang ke rumah, dia bisa mengabaikan aku, begitu saja?
Prang!!!
Dengan rasa kesal, kubanting piring yang ada di tanganku. Masih kurang puas, lilin-lilin itu pun kuambil, dan kubanting ke lantai begitu saja.Bersambung ....
Prang!!!Dengan rasa kesal, kubanting piring yang ada di tanganku. Masih kurang puas, lilin-lilin itu pun kuambil, dan kubanting ke lantai begitu saja.Kutinggalkan balkon, masuk ke kamarku. Dan ternyata, Mas Aksa sudah tertidur pulas di ranjang. Bahkan dengkurannya terdengar lebih keras dari biasanya. Dia tertidur, seolah tanpa beban.Kembali, aku menangis. Jika tadi adalah makanan buatanku yang diabaikan, kini justru rasa rinduku, yang tidak terbalaskan.Ada apa, dengan suamiku? Biasanya, begitu dia pulang dari luar kota, dia pasti tidak akan mengabaikan aku seperti ini. Tapi kali ini ....Akhirnya aku berfikir untuk memeriksa ponselnya. Siapa tahu, di situ aku bisa menemukan sesuatu.Kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja itu. Kubuka, aplikasi hijau itu. Semua normal, semua sama. Tidak ada yang mencurigakan.Aku pun membuka aplikasi yang lainnya lagi. Namun lagi-lagi aku tidak menemukan sesuatu.Karena lelah dan mengantuk, akhirnya aku pun tertidur di sampingnya.Lagi-lagi, ak
Bekas bibir siapa, yang menempel di baju suamiku ini?Dengan dada yang bergemuruh hebat, kukembalikan lagi, baju-baju suamiku yang tadinya sudah kumasukkan ke plastik.Aku merasa jijik. Aku jijik dengan baju-baju itu. Dan tiba-tiba aku juga merasa jijik, mengingat peristiwa penyatuan kami yang tadi pagi.Dengan tangan gemetar, aku hanya memilih baju-bajuku saja, untuk kubawa ke laundry. Aku tidak sudi, membawa pakaian lelaki itu."Bu .... Bu Luna ...."Suara teriakan Risa, mengagetkan lamunanku.Lekas kuseka air mata yang ternyata sudah mengalir deras di pipiku. Jangan sampai, asisten pribadiku itu, melihat tangisanku.Aku pun gegas berlalu, keluar dari kamarku.Menuruni tangga dengan setengah berlari, sambil menaruh tas selempang di pundakku, dan membawa kantong plastik berisi pakaian kotor di tangan kananku."Kok, lama, Bu?" tanya Risa begitu mendapati aku keluar dari pintu."Maaf, tadi harus mengambil pakaian kotor, mau aku bawa ke tempat laundry sekalian," jawabku."Bu Luna, menan
"Mas, aku butuh penjelasan kamu. Kenapa kaos yang kamu pakai, ada noda lipstiknya?" ucapku sambil menahan sesak.Mas Aksa menampilkan ekspresi terkejut, mendengar kalimat yang kuucapkan. Tidak lama kemudian, mengambil kaos yang terpuruk di lantai itu, kemudian membolak-balik, memeriksanya.Dan saat matanya mendapati noda lipstik itu, dia seolah-seolah seperti sedang berfikir.Kemudian dia bergumam dengan lirih, namun telingaku masih bisa menangkap suara itu."Apa mungkin pas di lift itu, ya?" gumamnya."Maaf, Sayang, kemarin kan di lift itu, berdesakan, terus ada perempuan yang tubuhnya terdorong sampai wajahnya sempat menempel ke pundak aku," ucapnya."Aku berani sumpah. Aku nggak pernah macem-macem. Masak iya sih, aku mau menukar berlian yang ada di rumah, sama batu kerikil di jalanan. Aku nggak sebodoh itu, Sayang ...." ucap suamiku dengan begitu yakin.Bahkan dia berani menatap mataku. Tidak sedikit pun, terlihat menyimpan kebohongan."Sayang, aku punya kejutan buat kamu. Sebenta
POV. AksaSetelah menghabiskan waktu bersenang-senang bersama Bunga dan mengantarnya pulang, aku pun berniat hendak pulang ke rumahku.Kulajukan mobilku menuju rumah, dan mendapati istriku yang merajuk gara-gara mendapati noda lipstik di kaosku. Ya, itu adalah noda lipstiknya Bunga. Aku yakin, itu. Untunglah aku bisa berkilah, dan bisa meyakinkan Luna.Apalagi aku punya senjata ampuh pemberian Mama, yaitu voucher menginap di hotel bintang lima. Luna pun tampak berbinar bahagia, begitu menyaksikan pemandangan dari dalam hotel itu.Dan akhirnya, kuberikan lagi nafkah batin itu. apalagi Luna memang sangatlah cantik dan menggoda, tatkala memakai baju tidur yang kubawakan tadi.Namun ternyata dalam memberikan nafkah batin itu, aku justru melakukan kesalahan besar yang sama sekali tidak kusengaja.Aku justru teringat dengan tubuh Bunga yang sedang dilulur oleh pegawai salon itu. Hingga saat aku merasa melayang, aku justru menyebut nama Bunga.Mendengar ucapanku yang memang tidak semestinya,
"I love you, Bunga ...."Aku yang semula masih terpejam pun langsung membuka mataku karena terkejut. Spontan, kudorong tubuhnya dengan sekuat tenaga, hingga dia terjengkang.Hati istri mana yang tidak remuk, jika mendapati kenyataan seperti itu.Suami yang begitu kucinta sepanjang waktu, ternyata justru memanggil nama perempuan lain, saat memberikan nafkah batin.Aku kecewa, aku marah, aku sakit. Kini aku semakin yakin, bahwa suamiku memanglah telah berselingkuh. Aku terluka, mendapati kenyataan bahwa dia telah mendua.Aku menjadi teringat dengan beberapa kejanggalan yang telah terjadi terhadapnya. Dan sekarang aku sudah mengantongi sebuah nama, yaitu Bunga. Akan kucari perempuan itu. Akan kupastikan, dia akan menuai balas, atas ulahnya yang berani bermain api dengan suamiku itu.Saat ini bahkan aku gagal mengendalikan diriku sendiri. Kamar hotel yang sejatinya menjadi tempat kami untuk bersenang-senang dengan memadu cinta, mendadak menjadi tempat pertengkaran yang hebat. Bukan perten
Kuusap wajah tampannya, kubersihkan pasir pantai yang menempel di bawah lubang hidungnya, juga di bibirnya. Bibir yang selalu mengucapkan kata-kata yang menenangkan. Bibir yang selalu memanggilku dengan panggilan Sayang. Bibir yang selalu mengucapkan kata-kata yang membuat hatiku begitu berbunga. Bibir yang sudah memberiku berjuta bahagia.Dan hanya satu kali saja, bibir itu salah berucap. Semuanya menjadi begitu fatal. Ibarat nila setitik yang merusak susu sebelanga. Kenapa aku begitu keras kepala?"Untung saja, tempat ini tidak begitu keras, karena memang hanya ada pasir pantai. Coba, jika dia jatuh di sebelah sana. Pasti sudah mati," ucap salah satu orang yang ada di sini."Anda, istrinya? Pihak hotel sedang menelpon rumah sakit," ucap orang yang lainnya."Pak, tolong angkatkan suami saya ke mobil. Biar saya sendiri yang membawanya ke rumah sakit!"Aku berbicara dengan panik, bercampur tangis yang begitu keras. Seandainya aku tahu akan seperti ini jadinya. Tentu tadi aku tidak akan
Namun tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada riwayat chat dengan perempuan. Daftar nama yang sering dihubungi pun adalah daftar namaku. Daftar nama yang terakhir dihubungi, juga adalah aku.Wallpaper ponsel itu juga masih sama. Foto kami berdua.Semua terlihat normal. Tidak ada tanda-tanda dia sedang berselingkuh. Apakah mungkin, dia bermain dengan terlalu pintar, dan hati-hati? Tanpa melibatkan ponsel sama sekali?Kucoba tuk memejamkan mataku. Berusaha melupakan semuanya. Hingga akhirnya aku benar-benar lupa. Entah berapa lama aku tertidur.Aku terbangun, saat ada seorang yang memanggilku."Bu Luna, bangun, Bu." Begitulah yang kudengar.Kubuka mataku dengan pelan, sambil berusaha mengumpulkan kesadaranku. Kuputar tubuhku ke kanan dan ke kiri, untuk menggerakkan tulang-tulangku yang terasa begitu kaku."Bu Luna, suami Ibu, sudah sadar. Beliau sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Beliau menanyakan Ibu."Seseorang berpakaian serba putih, dengan kerudung di kepalanya. Dia berbicara den
POV. Aksa"Aksa, kenapa bisa terjadi seperti ini?" tanya Mama sambil menangis.Mama memelukku, dengan begitu erat. Tentu saja, wanita yang telah melahirkan aku itu, merasa begitu khawatir. Karena aku adalah anak satu-satunya. Dan sejauh ini, aku tidak pernah mengecewakan mereka.Prestasi akademisku bagus. Dan setelah bekerja pun, aku juga menjadi salah satu karyawan teladan di perusahaan. Hal itu membuat Papa bertambah bangga.Bahkan saat mereka berniat ingin menjodohkan aku dengan Luna, aku pun menerima dengan senang hati."Ceritakan kepada Mama. Apa yang terjadi. Mama membeli voucher itu, agar kalian bisa bersenang-senang," kini tangis Mama bertambah pilu, sambil mengusap kakiku yang diperban.Kulirik istriku yang duduk di sampingku. Dia seperti ketakutan. Mungkin jika aku sudah tidak mencintai Luna, aku akan bilang, bahwa perempuan itu, yang mendorongku. Semua orang pasti akan percaya begitu saja. Apalagi, di sini juga ada polisi. Sudah bisa dipastikan, istriku itu akan masuk ke pe