Prang!!!
Dengan rasa kesal, kubanting piring yang ada di tanganku. Masih kurang puas, lilin-lilin itu pun kuambil, dan kubanting ke lantai begitu saja.Kutinggalkan balkon, masuk ke kamarku. Dan ternyata, Mas Aksa sudah tertidur pulas di ranjang. Bahkan dengkurannya terdengar lebih keras dari biasanya. Dia tertidur, seolah tanpa beban.
Kembali, aku menangis. Jika tadi adalah makanan buatanku yang diabaikan, kini justru rasa rinduku, yang tidak terbalaskan.
Ada apa, dengan suamiku? Biasanya, begitu dia pulang dari luar kota, dia pasti tidak akan mengabaikan aku seperti ini. Tapi kali ini ....
Akhirnya aku berfikir untuk memeriksa ponselnya. Siapa tahu, di situ aku bisa menemukan sesuatu.
Kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja itu. Kubuka, aplikasi hijau itu. Semua normal, semua sama. Tidak ada yang mencurigakan.
Aku pun membuka aplikasi yang lainnya lagi. Namun lagi-lagi aku tidak menemukan sesuatu.
Karena lelah dan mengantuk, akhirnya aku pun tertidur di sampingnya.
Lagi-lagi, aku bermimpi bahwa suamiku tidur memeluk perempuan. Mimpi yang membuatku menjadi begitu sedih.
*****
Aku terbangun saat merasakan ada yang menyentuh pipiku.
"Sayang, bangun. Kita sarapan, yuk? Makanan yang semalam, sudah aku hangatkan. Aku juga sudah menanak nasi, tadi," ucap suamiku. Dia kembali menepuk pipiku dengan pelan.
Samar-samar, aku mendengar suara suamiku. Kukucek mataku, agar bisa melihatnya lebih jelas lagi.
Dia tersenyum ke arahku. Senyum yang sangat manis.
"Maaf, ya? Semalam aku capek banget. Bukan maksudku mau mengabaikan kamu," ucapnya lagi, tepat di samping telingaku.
"Seandainya saja kamu tahu, bahkan saat keluar kota, aku tidak pernah bisa tidur nyenyak, karena mikirin kamu. Di sana, aku selalu merindukan belaian kamu," ucapnya lagi.
"Kamu tahu tidak? Aku bahkan setiap malam selalu memimpikan kamu. Seluruh pikiranku, yang ada hanya tentang kamu. Tidak ada yang lainnya. Jadi janganlah kamu berprasangka buruk terhadapku. Kamu terlalu cantik, kamu terlalu sempurna untuk kukhianati. Aku tidak sebodoh itu. Tidak mungkin aku tega, tidur bersama perempuan lain, sementara ada istri yang secantik bidadari, menungguku di rumah."
Dia memainkan helai demi helai rambutku, kemudian mengusap wajahku.
"Kamu itu yang paling cantik di mataku. Kecantikanmu tidak pernah luntur. Bahkan semakin lama, kamu itu semakin cantik. Baru bangun tidur dengan muka bantal seperti ini pun, kamu tetap cantik. Bukan hanya cantik raga, namun kamu juga cantik jiwa. Mana mungkin, aku sanggup berpaling darimu. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."
Aku sebenarnya masih ingin marah. Namun begitu menerima perlakuan yang begitu lembut seperti ini, rasa marah itu pun menepi.
Dan dia pun semakin mendekat. Jarak di antara kami pun semakin rapat.
Semua terjadi begitu saja, tanpa kuasa aku menolaknya.
Rinduku berlabuh, dalam dekapnya yang begitu kukuh.
****
Setelah semua selesai, aku pun segera membersihkan tubuhku, begitu juga dengan suamiku.
Kuletakkan baju kotorku, di keranjang pakaian kotor. Bercampur dengan pakaian suamiku yang lain.
Keranjang ini bahkan sudah hampir penuh. Wajar saja, karena sepulang dari luar kota, suamiku juga banyak membawa pulang pakaian kotor.
Ah, biar saja. Nanti kubawa ke tempat laundry, sambil berangkat ke butik.
Mas Aksa memang melarangku untuk memiliki pembantu. Dia tidak suka ada orang asing di rumah, katanya.
Bahkan saat ada Mas Aksa di rumah, aku pun jarang mengajak Risa, mampir ke sini. Karena sifat suamiku, yang kadang tidak begitu ramah.
Setelah selesai mandi, aku pun segera keluar ke arah balkon.
Ternyata, meja kecil yang ada di sini, semuanya sudah bersih.
Tidak ada lagi, kue tart yang semalam telah terpotong sebagian.
Tidak ada lagi hidangan makan malam yang semalam sama sekali tidak tersentuh.
Tidak ada lagi, pecahan piring yang semalam sempat kubanting. Bahkan serpihan kacanya pun telah bersih semua. Lilin-lilin yang semalam berhamburan di lantai, kini juga telah berpindah tempat, terletak di dalam kotak, di atas meja.
Sepertinya sudah ada tangan yang membersihkan semua ini.
"Sayang, sarapan, yuk? Aku sudah menyiapkan semuanya," ajaknya.
Tanpa menunggu jawabanku, lelakiku itu sudah meraih tubuhku, dan membawaku turun ke lantai dasar, menuju ruang makan.
Didudukkan tubuhku, di kursi. Kemudian dia pun mengambil tempat duduk tepat di sampingku.
Benar saja, ternyata makanan yang semalam, lauknya sudah dihangatkan.
Dan nasi ini pun, nasi baru. Bukan yang semalam. Sejak kapan suamiku yang tidak pernah turun ke dapur itu, mendadak bisa menanak nasi?
"Kuenya nanti dibawa ke butik saja, biar ada yang makan. Di rumah, toh cuma ada kita berdua. Siapa yang mau makan. Atau kamu mampu, menghabiskan semuanya? Aku suapin, kalau mau."
Mas Aksa berbicara, sambil memasukkan nasi ke mulutnya.
Aku pun hanya menanggapinya dengan anggukan. Memang sebaiknya dibawa ke butik saja.
"Sayang, kamu mau berangkat bareng aku, atau berangkat sendiri?" tanya suamiku.
"Aku nanti nunggu Risa saja, Mas," jawabku.
"Ok, aku berangkat dulu, ya? Jangan marah-marah terus. Jangan banting piring lagi, takutnya nanti tangan kamu kena belingnya. Sayang banget, jika tangan semulus tangan kamu sampai terluka."
Ucapnya sambil mengecup jari-jemariku, kemudian dilanjutkan dengan mencium keningku.
Jika sudah seperti ini, bagaimana mungkin, aku akan marah?
Setelah kepergian suamiku, aku pun segera memanaskan mesin mobilku.
Kuambil kue tar yang sudah tersimpan di lemari pendingin. Kutaruh di jok di samping kemudi.
Setelah itu, aku pun segera naik ke lantai atas, untuk mengambil pakaian-pakaian kotor itu.
Kuambil satu persatu pakaian itu, sambil kuhitung ada berapa banyak.
Namun saat tanganku memegang kaos suamiku yang berwarna putih, aku melihat ada noda merah bekas lipstik, persis di dekat bagian leher.
Ya, tidak salah lagi. Ini adalah bekas lipstik. Bahkan noda merah ini, membentuk gambar yang berupa bibir, dengan sangat jelas.
Bekas bibir siapa, yang menempel di baju suamiku ini?
Bersambung ....
"Bagaimana, Sayang? Kamu mau, diintimidasi seperti ini? Dipaksa-paksa, dibuat malu? Kalau aku sih ogah, bikin malu," ucapku pada suamiku. "Jika Mbak Bunga tidak mau, juga tidak masalah. Masalah Mbak Bunga dan Mas Aksa, akan saya serahkan ke kantor polisi. Biar nanti polisi saja yang akan menangani. Mbak Luna juga katanya sudah siap untuk mengajukan laporan ke kantor polisi. Bagaimana, kalian memilih opsi yang mana?"Lagi-lagi, para warga pun bersorak sorai, menyoraki kami."Baiklah, saya memilih membersihkan komplek saja," jawab Aksa dengan lirih, sambil menunduk. Aku menyikut lengan suamiku. "Kenapa tidak memilih diselesaikan di kantor polisi, kita bisa menyewa pengacara. Kalau membersihkan komplek, kita bakalan malu seumur hidup. Kamu jadi laki-laki, kenapa bodoh sekali?!"Aku berbicara dengan sangat kesal. Bagaimana mungkin, Aksa yang memiliki karir yang cemerlang, tapi bisa sebodoh ini? "Pak Rt, kami memilih untuk diselesaikan di kantor polisi saja. Kami akan menyewa pengacara
Dan tiba-tiba saja, mamanya Aksa keluar dari rumah, menghampiri anak lelakinya. "Aksa, benarkah apa yang telah diucapkan oleh perempuan tidak beradab itu? Kamu sudah menikahinya? Kamu berani menikah, tanpa ijin, dan tanpa restu dari orangtuamu? Pernikahan macam apa, itu? Kalian kira, menikah itu adalah sebuah permainan?""Kamu itu! Entah bagaimana aku akan mengataimu. Apa kurangnya Luna, sampai kamu tega berbuat seperti itu. Luna itu baik, jika kamu tidak menyakitinya!""Sepertinya kamu memang sudah dibuat gila, oleh perempuan rendahan itu, sampai-sampai kamu tega membawanya ke rumah ini!""Perilaku apa itu namanya, jika bukan perilaku binatang!""Perempuan rendahan yang hanya bermodal sel*kangan, kamu bawa pulang. Kamu ajak tidur di kamarmu. Bodoh sekali kamu!"Dan tiba-tiba saja, telapak tangan mamanya itu, sudah melayang menampar pipi anak lelakinya. Dan kemudian beralih menamparku. Lagi-lagi, semua warga pun menyoraki kami. "Diam ... diam ... Mohon semuanya harap tenang, ya? K
Kini bahkan tubuh Aksa sudah ambruk ke lantai. Ayahnya masih tetap berdiri, dengan nafas yang tersengal. Kemudian, papanya Aksa keluar begitu saja, dari kamar ini.Aku melirik mamanya Aksa, sekilas. Namun naas. Ternyata, dia juga sedang menatapku. Hingga tatapan mata kami pun bertemu. Dan tiba-tiba, di luar dugaanku, mamanya Aksa segera naik ke atas ranjang. Dia semakin mendekatiku. Ditariknya, rambutku. "Ini dia, perempuan yang berhasil merubah anakku menjadi bejat seperti ini. Dulu, sebelum bertemu dengan kamu, Aksa itu adalah anak yang baik. Dia juga suami yang baik dan bertanggungjawab. Tapi kamu telah meracuni pikirannya. Kamu manfaatkan selgkaanmu, untuk menjerat anakku. Dan dengan tidak tahu malu, kamu telanjang di kamar tidur anakku. Sudah miskin, masih tidak tahu malu. Entah sebutan apa, yang cocok disematkan untuk perempuan murahan seperti kamu itu. Sepertinya, sebutan jal*ng pun, terlalu baik untukmu!"Rambutku ditarik dengan lebih keras lagi. Sehingga menimbulkan rasa sa
POV. Aksa"Aku sudah tidak peduli. Kamu mau menikahi dia, kamu mau menceraikan dia. Bukan urusanku. Justru sekarang juga, aku yang akan meminta cerai. Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau lagi bersuamikan laki-laki yang kelakuannya bahkan melebihi kelakuan binatang!"Lagi-lagi, Luna berbicara dengan sangat lantang. Perempuan itu. Sudah kuperlakukan dengan baik, tetap saja bersikap angkuh. Lama-lama, aku pun kesal juga. Apalagi, semenjak dia mengetahui perselingkuhanku dengan Bunga, akhir-akhir ini, dia entah sudah berapa kali mengataiku sebagai binatang. Aku juga heran. Dia yang notebenya sebagai bisnis woman, sebagai seorang putri pejabat, namun mulutnya tidak bisa terkontrol. Tingkahnya juga cenderung arogan. "Luna! Kamu dengar tidak. Nyalakan airnya sekarang juga. Kamu jadi perempuan terlalu angkuh. Selalu ingin menjadi yang paling dominan, di setiap keadaan. Laki-laki mana pun, tidak akan tahan, hidup bersama dengan perempuan sepertimu. Kamu itu sudah berani kurang ajar.
POV. AksaBunga pun tampak berbinar. Kemudian dengan manjanya, dia meminta gendong. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Luna. Dengan senang hati, aku pun menggendongnya hingga ke kamar atas. Sayangnya, saat di kamar mandi, Bunga justru menggodaku. Hingga akhirnya, aku pun tidak kuasa untuk menolaknya. Dan terjadilah semuanya. Suara musik yang mengalun dengan merdu, membuat kami lupa. Saat aku bersama Bunga sedang sibuk memadu cinta, tiba-tiba aku dikejutkan dengan air shower yang tiba-tiba mati, tidak mengalir lagi. Dalam sekilat pandangan mata, aku melihat Luna sudah menggenggam sabun cair dalam botol. Di semprotkannya, sabun cair itu ke wajahku, hingga mengenai mataku. Aku pun tidak bisa melihat dengan jelas. Mataku terasa perih. Dan sepertinya, hal yang sama juga terjadi kepada Bunga.Kami yang memang sedang berbaring di lantai kamar mandi, dalam posisi yang tidak siap pun, kalah telak, dengan seorang yang diberikan oleh Luna. Luna juga menyemprotkan sabun cair itu ke
POV. Aksa"Aku nggak bisa tidur. Rasanya aku pingiiiinnn ... banget tidur di rumah kamu. Mungkinkah ini yang dinamakan ngidam?"Bunga berbicara lirih, sambil takut-takut. Kasihan sekali, dia. "Ini bukan keinginanku. Ini keinginan anak kamu. Dia pingin tidur di rumah papanya. Kalau aku sih, sudah terbiasa hidup miskin. Meskipun diajak tinggal dikolong jembatan, asal bersamamu, aku rela ...."Bunga mengusap-usap perutnya. "Kalau besok saja, bagaimana? Biar Luna, aku ungsikan dulu ke rumah orang tuaku,"Aku berusaha beralasan. Terus terang, aku merasa ragu, jika ingin membawa Bunga ke rumahku, sementara di situ ada Luna. Aku takut, Bunga yang sedang hamil, dijadikan bulan-bulanan oleh Luna. Jangan sampai, nanti calon bayiku yang menjadi korban. "Tapi anak kita maunya sekarang. Aku nggak bakalan bisa tidur, jika tidak diajak ke sana," rengek Bunga dengan sangat manja. Akhirnya, aku pun mengalah. Membawa Bunga ke rumahku. Untunglah, Luna sudah tidur. Aku bisa masuk ke dalam rumah denga