Share

Part 2. Suami pulang dengan bau parfum perempuan.

Kutatap jarum jam yang tidak berhenti berputar. Hingga jarum pendek itu sudah menyentuh angka delapan, dengan jarum panjang yang tegak berdiri di angka dua belas.

Detik demi detik pun terus berlalu, namun tak juga kudengar deru suara mobil suamiku.

Kupadamkan lagi, lilin-lilin yang tadi telah terbakar. Kutinggalkan meja makan, menuju ke ruang tamu.

Menyibak gorden jendela, berharap laki-laki yang kutunggu itu akan segera pulang. Namun nihil. Hanya terlihat bayangan kucing tetangga, yang lewat di depan rumah.

Mungkin sebentar lagi, pikirku. Mungkin dia masih di jalan. Mungkin dia terjebak kemacetan.

Ya Allah, selamatkanlah suamiku, di setiap perjalanannya. Aku tidak henti-hentinya, melantunkan doa, meski hanya di dalam hati saja.

Kenapa tidak kutelpon saja? Ah, ternyata karena terlalu menunggu, membuat otakku tidak bisa berfikir jernih.

Kembali lagi, aku naik ke kamarku. Kuambil benda pipih, yang biasa digunakan untuk bertukar kabar dengan suamiku itu. Siapa tahu, ternyata dia sudah menelponku.

Ah, tapi ternyata hanya kecewa yang kurasa. Layar ponselku bahkan terlihat gelap. Semua sepi. Panggilan yang kuharap dari suami pun, tak ada sama sekali.

Mungkin aku harus mengalah. Tidak ada salahnya, mengesampingkan sedikit rasa gengsiku.

Kutelpon, dia. Namun tidak tersambung. Padahal terakhir kali dia online, baru lima menit yang lalu. Tapi kenapa dia tidak berinisiatif untuk menelponku? Setidaknya agar hatiku tidak terlalu risau.

Kukirimkan sebuah pesan.

[Mas, kamu sudah sampai mana? Aku menunggumu,]

Klik, send.

Pesan yang kukirim, sudah terlihat centang dua, namun masih abu-abu.

Kuletakkan kembali ponsel ini di meja makan. Berharap, nanti jika suamiku menelponku atau membalas pesan yang kukirimkan, aku akan bisa segera menjangkaunya.

Kutatap lilin-lilin yang sudah kutata sedemikian rupa itu, sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun, dalam hatiku, sambil membayangkan wajah lelaki yang begitu kurindu itu.

Aku masih setia menunggu. Kutatap makanan yang tertata itu, tanpa sama sekali aku menyentuhnya. Padahal sebenarnya perut ini sudah sedari tadi, meminta haknya untuk diisi. Biarlah. Aku ingin menunggu suamiku, untuk makan bersama-sama.

Ponsel pun bergetar. Bergegas, aku meraihnya.

Melihat siapa yang mengirim pesannya, mendadak hatiku menjadi begitu berbunga. Lekas kubaca, dengan binar mata yang penuh cinta.

[Sayang, maaf, ya? Aku terjebak macet, mungkin satu jam lagi, baru sampai. Kamu kalau sudah ngantuk, tidurlah dulu. Jangan tunggu aku. I Miss you.]

Ah, betapa membaca pesannya saja, sudah mampu mengobati rasa kesalku beberapa menit yang lalu.

Jam sudah menunjukkan angka sembilan malam. Mungkin sebentar lagi, suamiku sudah sampai di rumah, dan akan segera merengkuhku, ke dalam pelukan.

Kunyalakan lagi, lilin-lilin yang tadi sempat kuredupkan.

Kupakai lagi parfum di tubuhku, yang mungkin tadi sudah berkurang wanginya.

Namun hingga larut malam, hingga lilin-lilin itu tingginya tinggal separuhnya, lelakiku itu tak jua menampakkan batang hidungnya.

Aku pun sudah tak kuat lagi menahan rasa kantukku. Perlahan, mataku terpejam di meja makan. Aku tidak ingin masuk ke kamar. Aku khawatir, jika aku masuk ke kamar, maka aku tidak akan mendengar, jika nanti dia pulang.

Dalam tidurku, aku memimpikan, Mas Aksa sedang tidur, memeluk seorang perempuan. Namun entah siapa, perempuan itu. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Karena cahaya yang tampak, begitu remang-remang.

Aku menangis meraung-raung, mendapati kenyataan itu. Namun tidak lama kemudian, datanglah Bara, membawaku pergi, tinggal di sebuah rumah yang mewah.

Bara, laki-laki yang pergi meninggalkanku, dan berjanji untuk kembali. Namun kutunggu hingga lima tahun lamanya, dia tak kunjung datang. Kabar pun sama sekali tidak kudengar. Dia bak hilang ditelan bumi. Dan sekarang, setelah tujuh tahun perpisahan kami, tiba-tiba saja, dia hadir dalam mimpiku?

Aku terbangun dalam keadaan gugup, ketika mendengar deru suara mobil suamiku yang memasuki halaman rumah.

Segera kuberlari keluar, untuk menyambutnya. Kubenahi rambutku yang mungkin saja sudah berantakan.

Kulihat suamiku keluar dari kendaraan besinya, dengan raut wajah lelahnya.

"Sayang, maaf, tadi jalanan macet total. Aku harus putar arah. Sudah putar arah, ternyata justru jalan yang di sebelah sana ditutup. Balik lagi, ke jalan yang tadi. Benar-benar, sampai mau frustasi, hanya cuma mau pulang menemui istriku yang cantik ini. Padahal Mas sudah kangen banget, sama kamu."

Bahkan sebelum aku bertanya, dia sudah memberi tahukan alasannya.

"Tidak apa-apa, Mas, yang penting Mas bisa pulang dengan selamat. Aku sudah senang sekali. Alhamdulillah," jawabku.

Lelakiku itu segera memelukku dengan erat. Berkali-kali dia mendaratkan bibirnya di wajahku.

Tunggu ....

Kenapa ada yang berbeda dengan wangi parfumnya? Kenapa ini seperti wangi parfum perempuan? Wangi parfum vanilla? Dan bau keringat suamiku, juga seperti bau keringat orang yang baru saja berbuat begituan?

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status