Share

Part 6. Salah menyebut nama.

"Mas, aku butuh penjelasan kamu. Kenapa kaos yang kamu pakai, ada noda lipstiknya?" ucapku sambil menahan sesak.

Mas Aksa menampilkan ekspresi terkejut, mendengar kalimat yang kuucapkan. Tidak lama kemudian, mengambil kaos yang terpuruk di lantai itu, kemudian membolak-balik, memeriksanya.

Dan saat matanya mendapati noda lipstik itu, dia seolah-seolah seperti sedang berfikir.

Kemudian dia bergumam dengan lirih, namun telingaku masih bisa menangkap suara itu.

"Apa mungkin pas di lift itu, ya?" gumamnya.

"Maaf, Sayang, kemarin kan di lift itu, berdesakan, terus ada perempuan yang tubuhnya terdorong sampai wajahnya sempat menempel ke pundak aku," ucapnya.

"Aku berani sumpah. Aku nggak pernah macem-macem. Masak iya sih, aku mau menukar berlian yang ada di rumah, sama batu kerikil di jalanan. Aku nggak sebodoh itu, Sayang ...." ucap suamiku dengan begitu yakin.

Bahkan dia berani menatap mataku. Tidak sedikit pun, terlihat menyimpan kebohongan.

"Sayang, aku punya kejutan buat kamu. Sebentar lagi, kita langsung berangkat. Aku mandi dulu."

Dan tiba-tiba saja, dia sudah mencuri pipiku, kemudian berlalu begitu saja, membawa kaos kotor itu. Dengan setengah berlari, dia menaiki tangga, masuk ke kamar.

Aku hanya bisa berdiri mematung, sambil mengusap bekas bibirnya di pipiku. Kelakuannya masih sama mesranya. Aku bingung.

Selang beberapa detik, sudah terdengar suara air yang mengalir dari shower kamar mandi.

Tidak butuh waktu yang lama, dia sudah menyelesaikan semuanya.

Aku sengaja tidak menyiapkan pakaian gantinya. Aku masih belum mempercayai semua alibinya.

Bisa jadi, dia sedang berusaha mengelabuhiku, membuat satu alasan yang terdengar paling masuk akal, agar aku percaya dengan kebohongannya.

Kulihat dia mulai mengambil pakaian yang ada di lemari. Tanpa bertanya kenapa aku tidak menyiapkannya.

Dan setelah semua tubuhnya tertutup dengan pakaian dengan sempurna, dia mulai mengambil beberapa pakaian lagi. Dua steel pakaian untuknya, juga dua stell pakaianku, lengkap dengan semua pakaian dalam kami.

Dan dia juga meraih dua lembar baju tidurku. Dua duanya berwarna merah. Hanya modelnya saja, yang berbeda. Warna merah. Warna yang dia tidak suka memakainya, namun dia bilang dia sangat suka, saat aku mengenakan pakaian dengan warna seperti itu.

"Kita berangkat sekarang," ucapnya sambil menyeret lenganku.

Aku yang tidak mengerti dengan semua rencananya hanya bisa berdiri mematung. Namun tangan itu kemudian menyeretku mengajak pergi. Bahkan dia juga sudah membawakan tas dan ponsel yang biasa kubawa. Akhirnya aku hanya bisa menurut ketika dia membawaku ke mobil.

Satu jam kemudian, mobil sudah memasuki sebuah hotel bintang lima. Hotel yang aku bahkan belum pernah menjejakkan kakiku di sini, sebelumnya.

"Mama memberikan ini, buat kita. Dia bilang, dia sudah ingin segera punya cucu. Kayaknya kita harus sering lembur. Kalau perlu, tiap malam harus usaha."

Dia berbicara sambil tertawa kecil. Tangannya mengeluarkan sebuah voucher untuk menginap di hotel itu, selama sehari semalam.

Ada rasa bahagia yang menyeruak dari dalam dada. Namun rasa penasaran tentang noda di kaos putih itu, juga masih begitu meraja.

Aku pun duduk menunggu di lobi hotel, sementara suamiku menemui salah satu resepsionis yang sedang bertugas.

Tidak lama kemudian, salah satu petugas hotel mengantar kami, ke salah satu kamar.

Betapa aku dibuat takjub dengan kamar ini. Benar-benar kamar yang mewah. Kamar yang ada di lantai tiga, dengan kaca yang lebar, dengan tirai berwarna putih transparan. Dari jendela ini, mata pun dimanjakan dengan pemandangan laut yang begitu luas, tiada batas. Entah berapa uang yang Mama mertuaku keluarkan, demi membeli voucher ini.

Desain kamar pun terlihat begitu romantis. Dengan ranjang yang bertabur kelopak bunga. Sudah seperti kamar pengantin saja.

"Bagaimana, Sayang? Kamu suka?"

Mas Aksa sudah memeluk pinggangku dari belakang.

Aku pun memutar badanku, menghadap ke arahnya. Ah, seandainya saja, tadi pagi aku tidak melihat noda di bajunya itu. Tentu, malam ini akan menjadi malam yang sempurna.

"Jika aku memiliki perempuan lain, tentu bukan kamu yang kuajak ke sini," ucapnya.

"Kamu tidak perlu meragukan aku. Bukankah selama dua tahun ini, tidak pernah kau temukan kejanggalan dalam perilakuku?" ucapnya lagi.

"Suami yang berselingkuh itu, dia cenderung akan menjadi tidak sayang dengan istrinya. Karena apa? Karena yang diluar, konon terlihat jauh lebih menggoda. Sedangkan aku, tetap menyayangimu. Tidak berkurang sedikit pun. Ponselku juga isinya, kamu bebas melihatnya. Itu artinya, aku tidak selingkuh, Sayang. Kalau cuma soal noda di baju, itu bukan hal yang serius. Jangan terlalu dipikirkan. Malam ini, aku ingin bersenang-senang denganmu."

Lagi-lagi, dia berbicara dengan sangat lembut. Bohong, jika aku tidak terbuai dengan semua perlakuannya.

"Ayo, pakai baju tidur kamu, biar kamu terlihat bertambah cantik."

Dia mengambil baju tidur dari dalam tas, dan mengulurkannya kepadaku.

Aku pun segera melakukan perintahnya. Mengganti pakaianku, dengan baju tidur yang diberikan suamiku.

Dan setelah kami bercengkrama, sambil menikmati pemandangan lampu-lampu kapal nelayan yang terapung di laut malam, nafkah batin itu pun dia berikan.

Lagi-lagi, aku tidak kuasa untuk menolak semua perlakuan manisnya. Meskipun hati kecilku masih mengganjal, namun ragaku begitu menerimanya.

Hingga akhirnya, aku mendengar suaranya, di detik-detik terakhir saat pelepasan itu.

"I love you, Bunga ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status