Bekas bibir siapa, yang menempel di baju suamiku ini?
Dengan dada yang bergemuruh hebat, kukembalikan lagi, baju-baju suamiku yang tadinya sudah kumasukkan ke plastik.
Aku merasa jijik. Aku jijik dengan baju-baju itu. Dan tiba-tiba aku juga merasa jijik, mengingat peristiwa penyatuan kami yang tadi pagi.
Dengan tangan gemetar, aku hanya memilih baju-bajuku saja, untuk kubawa ke laundry. Aku tidak sudi, membawa pakaian lelaki itu.
"Bu .... Bu Luna ...."
Suara teriakan Risa, mengagetkan lamunanku.Lekas kuseka air mata yang ternyata sudah mengalir deras di pipiku. Jangan sampai, asisten pribadiku itu, melihat tangisanku.
Aku pun gegas berlalu, keluar dari kamarku.
Menuruni tangga dengan setengah berlari, sambil menaruh tas selempang di pundakku, dan membawa kantong plastik berisi pakaian kotor di tangan kananku."Kok, lama, Bu?" tanya Risa begitu mendapati aku keluar dari pintu.
"Maaf, tadi harus mengambil pakaian kotor, mau aku bawa ke tempat laundry sekalian," jawabku.
"Bu Luna, menangis?" tanya Risa lagi, sambil menatap mataku. Mungkin dia mencurigai warna mataku yang memerah.
"Oh, enggak. Ngapain juga, nangis?" jawabku sambil tertawa. Lebih tepatnya, pura-pura tertawa.
"Kita berangkat sekarang, Bu?" tanya Risa.
Aku hanya mengangguk.
"Kamu yang nyetir," titahku.
"Baik, Bu," jawabnya.
"Oh, iya. Makanan yang kemarin, kita bawa saja sekalian ke butik," ucapku.
Aku berlari masuk kembali ke rumah. Mengambil makanan di dapur. Termasuk nasi baru yang tadi dimasak suamiku. Seumur-umur, baru kali ini dia menanak nasi.
Kuambil semua makanan yang ada, tanpa menyisakan sedikit pun.
"Sudah siap berangkat, Bu?" tanya Risa, begitu aku sudah duduk di jok belakang.
"Iya, kita berangkat sekarang," jawabku, sambil memasang sabuk pengaman di tubuhku.
Mobil pun melaju. Berhenti di tempat laundry, kemudian melanjutkan putaran roda, hingga sampailah ke butikku.
Butik yang didirikan dengan modal dari mamaku, saat aku masih kuliah. Dan sekarang butik ini sudah ada kemajuan, setelah empat tahun berdiri.
Aku benar-benar disiplin dalam mengelola keuangan butik. Kuterapkan sistem gaji, untuk diriku sendiri.
Aku tidak akan mengambil uang butik, di luar dari gaji yang sudah kutetapkan untukku. Aku tidak pernah menggampangkan uang, sekecil apa pun itu.
Gaji itu kusimpan sebagai uang pribadiku. Untuk kebutuhan rumah tangga, aku memakai uang nafkah yang diberikan oleh suamiku. Cukup tidak cukup, harus aku cukupkan. Namun sejauh ini, uang nafkah pemberian suamiku, selalu bisa mengcover semua kebutuhan kami. Karena kami memang hanya tinggal berdua.
"Sudah sampai, Bu, jangan melamun terus," celetuk Risa mengagetkan aku.
Risa pun mengambil kue ulang tahun dan makanan yang kubawa, untuk dibawa masuk ke dalam butik.
"Ris, kamu katanya kemarin melihat suamiku di supermarket itu, kamu yakin?" tanyaku. Sebenarnya aku merasa malu untuk bertanya tentang hal seperti itu. Sama saja aku membuka aib suamiku. Sama saja aku membuka rumah tanggaku.
"Yakin, sih, Bu. Tapi kalau Ibu tidak percaya, ya nggak apa-apa. Lupakan saja, Bu. Anggap saja, saya tidak pernah berbicara seperti itu. Saya juga akan menganggap, kalau saya tidak pernah melihat hal itu. Misalnya benar saya memang melihatnya, bisa jadi, perempuan itu mungkin saja, rekan kerjanya, dan mereka juga sedang bekerja. Jangan berfikiran negatif, Bu," ucap Risa.
"Kamu kemarin, melihat suamiku, memakai baju warna apa? Hitam?" tanyaku.
Aku sengaja menyebut warna baju yang berlainan dengan yang dipakai oleh suamiku semalam. Aku ingin menguji kejujuran Risa.
"Kalau saya, sih, melihat suami Ibu, memakai kaos berwarna putih. Terus perempuannya memakai baju kantoran. Baju kantoran yang seksi, roknya di atas lutut, seperti pakaian sekretaris sekretaris di sinetron itu."
Deg. Jawaban Risa yang terlihat polos, dan keterangan tentang warna baju yang memang ada kecocokan dengan baju suamiku itu, membuatku semakin yakin, bahwa yang dilihat Risa kemarin, memang benar suamiku.
Luruh sudah rasaku. Aku merasa seolah tulang-tulangku terlepas dari tubuhku.
Jika benar begitu, itu artinya lelaki yang selama ini kukira mencintaiku itu, ternyata sedang bersandiwara. Dia sudah pulang entah sejak kapan, dan terlebih dahulu menghabiskan waktunya bersama perempuan itu. Jika seperti itu, itu artinya, nafkah batin yang dia berikan tadi pagi, adalah nafkah batin yang sudah basi? Dan aku ibarat memakan barang sisa perempuan itu?
Padahal selama ini, aku sudah berusaha untuk menjadi istri yang baik. Meskipun sebelumnya, masih ada nama orang lain di hatiku, namun begitu aku menerima perjodohan itu, mulai saat itu aku sudah bertekad hanya untuk mencintai suamiku saja.
Dan setelah dua tahun pernikahan ini, aku sudah benar-benar jatuh cinta, kepada lelaki yang selalu menemani hari-hariku itu. Pembawaannya yang lembut, sikapnya yang manis ....
Dan sekarang, ternyata kutemukan kenyataan yang berbeda. Kenyataan yang begitu menyakitkan.
Lelaki yang begitu kusayang, tega berbuat curang. Dia tega bermain api di belakang.
Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba menelpon suamiku. Sebenarnya sudah sejak dari tadi pagi, aku ingin menelponnya. Namun coba kutahan, mengingat dia yang sedang bekerja. Namun detik ini, aku sudah tidak bisa menahan dadaku. Dadaku sudah kian bergejolak, tidak mampu lagi membendung semua prasangka ini.
Kucari daftar nama yang ada. Suami kesayanganku. Membaca daftar nama itu, aku sedikit berfikir. Jika benar bahwa dia bermain curang, dia tidak pantas menyandang gelar nama itu di ponselku.
Akhirnya, daftar nama 'Suami kesayanganku' itu, kuubah menjadi huruf 's' saja.
Berkali-kali aku mencoba menelpon huruf s itu, namun hanya diabaikan saja. Dan terakhir aku memanggilnya, dia justru menolaknya.
Kemudian dia mengirimkan pesan, bahwa nanti saat jam makan siang, dia hendak menelponku.
Saat aku membalas pesan itu, pesan pun hanya centang satu. Itu artinya, dia mematikan ponselnya.
Aku pun berusaha bersabar menunggu, hingga siang tiba.
Sepanjang pagi, aku bahkan gagal berkonsentrasi. Semua pekerjaan, hampir tidak bisa kuselesaikan. Berbagai bayangan tentang suamiku, mengganggu seluruh perangkat tubuhku.
Otakku tidak bisa berfikir, perangkat tubuhku tidak bisa bekerja. Untung saja, ada Risa.
Menunggu hingga siang hari, terasa begitu lama.
"Jangan terlalu dipikirkan, Bu. Saya lihat sih, selama ini Pak Aksa itu, begitu mencintai Ibu. Saya bisa menilainya. Jika pun benar suami Ibu telah berselingkuh, mungkin saja dia khilaf. Mungkin saja perempuannya yang gatal dan terlalu genit menggoda Pak Aksa. Ibarat kucing, kalau dikasih ikan, kan pasti tidak tahan. Bu Luna harus semangat. Nggak boleh sedih. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya."
Risa seolah mengerti dengan beban di hatiku. Meski mata dan tangannya sibuk dengan laptop yang ada di hadapannya, namun otaknya masih sempat memikirkan aku.
Setelah bosan menunggu, jam di dinding pun menunjukkan pukul dua siang. Biasanya di jam-jam seperti ini, Mas Aksa memang rajin menelponku, meski hanya sekedar untuk bertanya, sudah makan atau belum.
Dan dengan perhatian yang sesederhana itu pun, bahkan sudah mampu membuat hatiku begitu berbunga.
Namun siang ini, sepertinya berbeda. Telpon yang kutunggu, tak jua kudengar deringnya. Hingga aku menunggu beberapa menit pun sama saja. Tetap sepi.
Akhirnya, aku pun berinisiatif untuk menelponnya terlebih dahulu.
Lekas kutelpon dia. Namun tidak tersambung. Berkali-kali kucoba, hasilnya sama saja.
Dan saat kulihat balasan pesan yang kukirimkan, ternyata masih sama seperti tadi. Centang satu.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Memikirkan suami yang sepertinya sudah banyak perubahan.
Dia yang biasanya tidak pernah alfa bertanya kabar, kini seolah telah lupa dengan istrinya.
Hingga sore, hingga aku kembali lagi ke kamarku, dan menatap lagi tumpukan baju kotor itu. Ponsel suamiku masih tetap tidak aktif.
Dan menjelang Maghrib, kudengar deru suara mesin mobil itu. Suara khas mobil suamiku. Padahal, seharusnya dia sudah pulang sejak dua jam yang lalu.
Aku pun tak sabar untuk menyambutnya. Namun bukan sambutan yang hangat dan penuh cinta seperti biasanya.
Kini aku menyambutnya dengan rasa marah dan kecewa. Aku menyambutnya, karena aku butuh penjelasan.
Kuambil kaos kotor itu, dengan menggunakan ballpoint. Aku tidak sudi menyentuhnya. Aku jijik.
Kubawa kaos itu menuruni tangga. Aku bahkan sudah tidak sabar menunggu suamiku masuk ke rumah.
Begitu suamiku turun dari mobil, aku langsung menodongkan kaos itu, ke hadapannya. Aku bahkan tidak menyalaminya, tidak mencium tangannya, dan tidak menghamburkan tubuhku ke pelukannya, seperti hari-hari sebelumnya.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Mas Aksa.
Dia menatapku kaos yang ada di tanganku, dengan tatapan heran. Aku tidak menjawab. Aku melempar kaos itu, di depan pintu, di samping keset.
"Oh, maaf, pasti kamu marah sama aku, kan? Karena aku lupa menelponmu. Maaf, tadi sangat sibuk. Ini saja, tadi juga harus lembur satu jam. Maaf, ya?"
Dia berucap dengan begitu lembut. Perlakuannya masih sama, seperti hari-hari sebelumnya.
"Mas, aku butuh penjelasan kamu. Kenapa kaos yang kamu pakai, ada noda lipstiknya?" ucapku sambil menahan sesak.
Bersambung ....
"Bagaimana, Sayang? Kamu mau, diintimidasi seperti ini? Dipaksa-paksa, dibuat malu? Kalau aku sih ogah, bikin malu," ucapku pada suamiku. "Jika Mbak Bunga tidak mau, juga tidak masalah. Masalah Mbak Bunga dan Mas Aksa, akan saya serahkan ke kantor polisi. Biar nanti polisi saja yang akan menangani. Mbak Luna juga katanya sudah siap untuk mengajukan laporan ke kantor polisi. Bagaimana, kalian memilih opsi yang mana?"Lagi-lagi, para warga pun bersorak sorai, menyoraki kami."Baiklah, saya memilih membersihkan komplek saja," jawab Aksa dengan lirih, sambil menunduk. Aku menyikut lengan suamiku. "Kenapa tidak memilih diselesaikan di kantor polisi, kita bisa menyewa pengacara. Kalau membersihkan komplek, kita bakalan malu seumur hidup. Kamu jadi laki-laki, kenapa bodoh sekali?!"Aku berbicara dengan sangat kesal. Bagaimana mungkin, Aksa yang memiliki karir yang cemerlang, tapi bisa sebodoh ini? "Pak Rt, kami memilih untuk diselesaikan di kantor polisi saja. Kami akan menyewa pengacara
Dan tiba-tiba saja, mamanya Aksa keluar dari rumah, menghampiri anak lelakinya. "Aksa, benarkah apa yang telah diucapkan oleh perempuan tidak beradab itu? Kamu sudah menikahinya? Kamu berani menikah, tanpa ijin, dan tanpa restu dari orangtuamu? Pernikahan macam apa, itu? Kalian kira, menikah itu adalah sebuah permainan?""Kamu itu! Entah bagaimana aku akan mengataimu. Apa kurangnya Luna, sampai kamu tega berbuat seperti itu. Luna itu baik, jika kamu tidak menyakitinya!""Sepertinya kamu memang sudah dibuat gila, oleh perempuan rendahan itu, sampai-sampai kamu tega membawanya ke rumah ini!""Perilaku apa itu namanya, jika bukan perilaku binatang!""Perempuan rendahan yang hanya bermodal sel*kangan, kamu bawa pulang. Kamu ajak tidur di kamarmu. Bodoh sekali kamu!"Dan tiba-tiba saja, telapak tangan mamanya itu, sudah melayang menampar pipi anak lelakinya. Dan kemudian beralih menamparku. Lagi-lagi, semua warga pun menyoraki kami. "Diam ... diam ... Mohon semuanya harap tenang, ya? K
Kini bahkan tubuh Aksa sudah ambruk ke lantai. Ayahnya masih tetap berdiri, dengan nafas yang tersengal. Kemudian, papanya Aksa keluar begitu saja, dari kamar ini.Aku melirik mamanya Aksa, sekilas. Namun naas. Ternyata, dia juga sedang menatapku. Hingga tatapan mata kami pun bertemu. Dan tiba-tiba, di luar dugaanku, mamanya Aksa segera naik ke atas ranjang. Dia semakin mendekatiku. Ditariknya, rambutku. "Ini dia, perempuan yang berhasil merubah anakku menjadi bejat seperti ini. Dulu, sebelum bertemu dengan kamu, Aksa itu adalah anak yang baik. Dia juga suami yang baik dan bertanggungjawab. Tapi kamu telah meracuni pikirannya. Kamu manfaatkan selgkaanmu, untuk menjerat anakku. Dan dengan tidak tahu malu, kamu telanjang di kamar tidur anakku. Sudah miskin, masih tidak tahu malu. Entah sebutan apa, yang cocok disematkan untuk perempuan murahan seperti kamu itu. Sepertinya, sebutan jal*ng pun, terlalu baik untukmu!"Rambutku ditarik dengan lebih keras lagi. Sehingga menimbulkan rasa sa
POV. Aksa"Aku sudah tidak peduli. Kamu mau menikahi dia, kamu mau menceraikan dia. Bukan urusanku. Justru sekarang juga, aku yang akan meminta cerai. Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau lagi bersuamikan laki-laki yang kelakuannya bahkan melebihi kelakuan binatang!"Lagi-lagi, Luna berbicara dengan sangat lantang. Perempuan itu. Sudah kuperlakukan dengan baik, tetap saja bersikap angkuh. Lama-lama, aku pun kesal juga. Apalagi, semenjak dia mengetahui perselingkuhanku dengan Bunga, akhir-akhir ini, dia entah sudah berapa kali mengataiku sebagai binatang. Aku juga heran. Dia yang notebenya sebagai bisnis woman, sebagai seorang putri pejabat, namun mulutnya tidak bisa terkontrol. Tingkahnya juga cenderung arogan. "Luna! Kamu dengar tidak. Nyalakan airnya sekarang juga. Kamu jadi perempuan terlalu angkuh. Selalu ingin menjadi yang paling dominan, di setiap keadaan. Laki-laki mana pun, tidak akan tahan, hidup bersama dengan perempuan sepertimu. Kamu itu sudah berani kurang ajar.
POV. AksaBunga pun tampak berbinar. Kemudian dengan manjanya, dia meminta gendong. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Luna. Dengan senang hati, aku pun menggendongnya hingga ke kamar atas. Sayangnya, saat di kamar mandi, Bunga justru menggodaku. Hingga akhirnya, aku pun tidak kuasa untuk menolaknya. Dan terjadilah semuanya. Suara musik yang mengalun dengan merdu, membuat kami lupa. Saat aku bersama Bunga sedang sibuk memadu cinta, tiba-tiba aku dikejutkan dengan air shower yang tiba-tiba mati, tidak mengalir lagi. Dalam sekilat pandangan mata, aku melihat Luna sudah menggenggam sabun cair dalam botol. Di semprotkannya, sabun cair itu ke wajahku, hingga mengenai mataku. Aku pun tidak bisa melihat dengan jelas. Mataku terasa perih. Dan sepertinya, hal yang sama juga terjadi kepada Bunga.Kami yang memang sedang berbaring di lantai kamar mandi, dalam posisi yang tidak siap pun, kalah telak, dengan seorang yang diberikan oleh Luna. Luna juga menyemprotkan sabun cair itu ke
POV. Aksa"Aku nggak bisa tidur. Rasanya aku pingiiiinnn ... banget tidur di rumah kamu. Mungkinkah ini yang dinamakan ngidam?"Bunga berbicara lirih, sambil takut-takut. Kasihan sekali, dia. "Ini bukan keinginanku. Ini keinginan anak kamu. Dia pingin tidur di rumah papanya. Kalau aku sih, sudah terbiasa hidup miskin. Meskipun diajak tinggal dikolong jembatan, asal bersamamu, aku rela ...."Bunga mengusap-usap perutnya. "Kalau besok saja, bagaimana? Biar Luna, aku ungsikan dulu ke rumah orang tuaku,"Aku berusaha beralasan. Terus terang, aku merasa ragu, jika ingin membawa Bunga ke rumahku, sementara di situ ada Luna. Aku takut, Bunga yang sedang hamil, dijadikan bulan-bulanan oleh Luna. Jangan sampai, nanti calon bayiku yang menjadi korban. "Tapi anak kita maunya sekarang. Aku nggak bakalan bisa tidur, jika tidak diajak ke sana," rengek Bunga dengan sangat manja. Akhirnya, aku pun mengalah. Membawa Bunga ke rumahku. Untunglah, Luna sudah tidur. Aku bisa masuk ke dalam rumah denga