Share

Bab 3

"Kamu yakin dengan keputusan ini, Mas? Yakin lebih memilih memberikan semua aset itu padaku daripada membatalkan pernikahan keduamu itu?" Pertanyaan Zilva kemarin kembali mengusik hatiku.

 

"Aku sudah mengingatkanmu berulang kali ya, Mas. Jangan sampai suatu hari nanti kamu menyesal atas keputusanmu sendiri."

 

Kalimat terakhir yang diucapkan Zilva kemarin benar-benar membuatku tak tenang hingga detik ini. Namun, aku berusaha menepisnya. Yang penting sekarang urusan dengan Zilva sudah kelar dan pernikahanku dengan Lala hari ini pun akan digelar.

 

Awalnya aku meminta Zilva untuk datang, setidaknya agar orang-orang tahu jika istri pertamaku itu menyetujui pernikahan ini. Kehadirannya juga akan meredam emosi para ibu yang biasanya akan menghujat istri kedua dengan sebutan pelakor.

 

Solidaritas perempuan di negeri ini cukup kuat jika membahas soal madu dan dimadu. Biasanya mereka akan mendukung penuh istri pertama dan menghujat habis-habisan istri kedua. 

 

Sebagian perempuan tetap tak menyukai poligami sekalipun itu tak pernah dilarang dalam agama. Bagi sebagian dari mereka, berbagi suami adalah hal menjijikkan yang harus dihindari. 

 

Slogan yang sering kudengar dari bibir para ibu saat berkumpul di rumah tetangga adalah," lebih baik hidup sendiri daripada dimadu. Jelek tak apa asalkan jadi yang pertama, daripada cantik hasil merampas dan hanya dijadikan yang kedua. 

 

Semua sudah kupikirkan cukup matang. Tak ingin nasib Lala terancam dan dihujat habis-habisan, aku pun kembali mengirimkan pesan pada Zilva agar dia mau datang. Lima menit pun tak apa asalkan dia menampakkan diri di sini saat akad nanti. 

 

Hanya saja, belasan kali aku mengirimkan pesan pada Zilva, tak ada satu pun balasan darinya. Puluhan kali kutelepon, tak sekalipun dia mau menerima. Entah kemana Zilva detik ini. Aku benar-benar mengkhawatirkannya.

 

Akad akan dimulai sebentar lagi, sementara hatiku semakin tak tenang karena memikirkan Zilva. Tak biasanya dia seperti ini. Diam seribu bahasa tanpa mengirimkan kabar secuilpun. 

 

Zilva yang kukenal dua tahun belakangan cukup aktif bersosial media. Dia tak mungkin mengabaikan handphonenya begitu saja sebab di sana juga ada grup-grup kajian yang dia ikuti dan aktif setiap hari. 

 

Namun, entah mengapa sejak kemarin kulihat status whatsappnya kosong bahkan dia terlihat aktif terkahir kali kemarin siang. Setelahnya hening. Tak ada satu pun pesan yang masuk darinya padahal aku menunggu momen itu sejak semalam. 

 

Zilva sangat berubah sejak aku terang-terangan minta izin untuk menikah lagi. Pesan dan panggilan tak erjawab yang biasanya selalu memenuhi w******p dan layar handphoneku, kini benar-benar kosong. Zilva seolah menghilang ditelan bumi. Entah ke mana dia, aku pun tak tahu.

 

"Kamu kenapa gusar begitu sih, Ran? Mikirin Zilva?" Mama bertanya sedikit ketus saat melihatku gusar dan kebingungan sedari tadi. Berulang kali menelpon, berulang kali pula dijawab oleh operator. Zilva belum juga mengaktifkan handphonenya. 

 

"Zilva nggak ada, Ma. Dia nggak ngasih kabar sejak kemarin," balasku cemas sembari terus mencoba menelponnya meski tetap saja tak bisa. Tak menyerah, aku pun menghubungi Arumi, tapi jawabannya tetap sama. Nomor Arumi pun tak aktif. 

 

Ya Allah ... kemana Zilva saat ini. Aku benar-benar takut dia kenapa-kenapa. Aku nggak mau kehilangan dia sebab aku sangat mencintainya. Zilva adalah cinta pertamaku. Dia juga istri terbaik dan terhebat bahkan nyaris sempurna. 

 

Hanya saja, aku terpaksa menikah dengan Lala demi mendapatkan keturunan yang aku dan mama idamkan selama ini. Keturunan yang belum bisa dipenuhi Zilva selama dua tahun tinggal di atap yang sama. 

 

"Sebentar lagi penghulu datang, Amran. Bukannya fokus pernikahanmu dengan Lala, justru terus memikirkan perempuan itu. Jangan sampai nanti kamu salah ucap saat akad. Bisa-bisa Lala ngambek dan mama malu dengan besan," ucap Mama ketus sembari melotot ke arahku. 

 

Mungkin mama benar, aku harus fokus dengan pernikahan ini. Lagipula, Zilva juga sudah setuju. Namun, aku benar-benar tak bisa tenang jika perempuan yang sangat kucintai itu tak jua memberi kabar. 

 

Handphoneku terasa begitu sepi dua hari belakangan ini tanpa pesan dan panggilan darinya. Aku sangat merindukan sosoknya. Dia yang biasanya selalu aktif dan perhatian bahkan cenderung protektif, entah mengapa kini menghilang begitu saja. Sikap yang bertolak belakang dibandingkan sebelumnya ini cukup menjadi pertanda betapa perihnya batin Zilva.

 

Mungkin saat ini dia tengah merintih kesakitan bahkan tak enak makan dan tidur tiap kali mengingat suaminya akan menikah lagi. Suami yang dia pikir akan setia hingga menua bersama, nyatanya telah mendua dan membuatnya kecewa dan nelangsa.  

 

"Stop memikirkan perempuan itu, Amran. Percuma ragamu di sini kalau batinku kemana-mana. Kasihan Lala kalau kamu tak juga bisa melepaskan perempuan itu. Bukannya kamu kemarin bilang kalau dia sudah mengizinkanmu menikah dengan Lala?" cecar mama lagi. Aku pun hanya mengiyakan saja. 

 

"Kalau dia sudah izinkan, kenapa kamu malah kebingungan? Sudahlah, Amran. Jatahmu bersama Lala itu seminggu. Jadi, gunakan waktu itu sebaik mungkin. Kalau perlu, fokuskan untuk membuatnya segera berbadan dua. Stop memikirkan istri pertamamu itu. Saat ini, jatah waktumu bersama Lala, bukan bersama dia!" Mama menajamkan tatapannya padaku. Namun, aku hanya menunduk, tak menjawab sepatah katapun. 

 

"Lihat, penghulu sudah datang. Hafalkan kembali kalimat qabul itu. Jangan sampai lupa, apalagi salah sebut nama. Jangan malu-maluin keluarga, mama nggak suka! Jangan mikirin perempuan itu terus, sepertinya dia sengaja menghilang supaya kamu nggak fokus dengan pernikahan ini. Stop terlalu over mencintainya, Amran. Dia bukanlah perempuan terbaik, sebab perempuan yang baik tentu bisa memberimu keturunan!" sentak Mama lagi lalu memintaku untuk segera bertemu dengan penghulu. 

 

Kata-kata mama memang terdengar begitu menyakitkan. Apa mama lupa jika istri kesayangan Baginda Rasulullah juga tak memiliki keturunan hingga akhir hayatnya? Kenapa sampai hati mama menyebut perempuan yang tak memiliki keturunan bukanlah perempuan yang baik. 

 

Kupejamkan mata sesaat lalu melangkah perlahan ke meja dan kursi yang sudah disiapkan untuk akad. Di sana calon papa mertua sudah duduk di samping penghulu yang baru saja datang. Setelah bersalaman, aku pun duduk di depan Om Galih yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku. Ada meja kecil sebagai pemisah antara aku dan dia. 

 

Zilva ... dimana kamu sekarang? Sesakit itulah kamu dengan keputusanku untuk menikah lagi? Hingga kamu sengaja menghilang begitu saja dan tak pernah bisa kuhubungi? Apakah saat ini kamu masih berusaha menenangkan diri atau kamu memang sengaja membuatku sebimbang dan sekhawatir ini?

 

Zilva ...  apakah sebaiknya aku tak perlu melanjutkan pernikahan ini? Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan. Saat ini hatiku bimbang kembali. Ingin rasanya pergi untuk mencari Zilva, tapi di sisi lain aku kembali mengingat permintaan mama. 

 

***

 

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Nyaprut
kenapa banyak perempuan murahan nikah harus sama laki orang ...
goodnovel comment avatar
Falistiq
geregetan sama mama dan suaminya, emang keturunan tugas istri doang yg menuhin?
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
suami banci dan mertua rasa pelakor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status