Share

8. ANAK HARAM

Atama POV

*****

Aku memesan minum, sebotol Wishkey mungkin bisa menghangatkan hatiku yang beku. Atau setidaknya aku bisa melepaskan kepedihanku walaupun sesaat, dan tentu saja aku belum pernah menyentuh minuman beralkohol sebelumnya.

Kutuang minuman berwarna pekat itu ke dalam gelas model Serry copita yang berlekuk, menggoyangkannya sampai isinya teraduk.

Aku meminumnya, tidak peduli minuman ini memiliki rasa yang kuat, pahit, dan aroma tajam yang terasa tabu bagi lidahku. Namun, aku tidak mencari rasa. Aku hanya ingin lupa jika hari ini pernah ada.

Selama Whiskey masih di mulut, minuman ini dapat berganti rasa. Unik memang. Bisa manis, sedikit pahit, sedikit rasa buah, dan sebagainya yang sulit kudefinisikan.

Aku menyulut sebatang rokok. Menikmatinya, tidak peduli aku bagaikan perempuan jalang hari ini. Aku hanya ingin melupakan sejenak saja sakit hati, sejenak saja tanpa air mata.

Jujur aku lelah.

Perkataan Wahyu semakin membuatku berantakan, apakah benar semua yang dia katakan, dan seribu asumsi ini-itu terus berkecamuk di hatiku.

Tuhan...

Takdir apa yang kau siapkan untukku?

Aljabar terasa seperti membunuhku secara perlahan. Aku membencinya dengan seluruh cinta. Aku menangisinya dengan semua air mata yang kumiliki.

"Kamu ngapain di sini? Kamu minum, Ta?"

Laki-laki itu, aku tidak tahu kapan datang, ya Tuhan, semua makhluk sudah seperti jailangkung yang datang tak dijemput pulang tak diantar.

Aku diam. Tidak menjawabnya barang sepatah pun.

Kuraih gelasku lagi, mengisinya hingga penuh lalu menghabiskannya sekali teguk.

"Ada apa, Ta?" Lelaki itu mengambil botol minumanku. Mencoba menghentikanku dan merebut botol sesaat setelah kuraih gelas kedua.

"Nggak usah ikut campur! Aku mau sendiri. Balikin minumanku," ucapku angkuh.

Lexi menatapku, kepala ini terasa pusing dan berdenyut, tapi aku masih bisa melihatnya dengan sangat jelas.

"Kamu kurus banget, Ta. Ada yang salah? Apa dia nggak bisa menghidupi kamu?"

Aku menatapnya sendu. Tersenyum getir.

Lebih dari itu, Lexi. Dia hampir membunuhku dengan cinta ini. Hatiku berbunga lalu aku terpedaya sampai tak berdaya, ucap batinku pedih.

"Bisa lah, beliin Hp ceweknya aja dia mampu, apalagi cuma ngasih makan aku," ucapku sambil tertawa hambar.

"Ata... " ucap Lexi cepat. "Ata, ada apa?" ulangnya.

Mataku menatapnya, lalu berlarian meneliti seluruh ruangan seolah mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang menggantung di benakku. Apakah Al sudah tidak mencintaiku lagi?

"Al selingkuh, Lex." Ucapan spontanku membuatnya mengerjap. Aku tidak tahu kenapa aku hanya bisa menangis dan hanya ingin menangis.

"Aku udah pernah bilang sama kamu, dia nggak pantes buat kamu," kata Lexi sambil mengusap bahuku.

Aku berdiri impulsif. Terhuyung lalu menarik-narik bajunya dan memukul-mukul dadanya dengan tangisan yang semakin menjadi-jadi. Bagaimana mungkin aku sendiri tidak tahu, kenapa Al Mampu menjadikan aku serapuh ini?

"Aku benci sama dia, Lex... aku benci. Benci karena aku nggak bisa ninggalin dia."

"Buat apa kamu masih bertahan? Kamu bisa mengasuh bayi kamu sendiri, membesarkannya sendiri, dan setelah itu kamu bisa menata masa depan kamu."

Nyatanya tak semudah itu, aku tak sanggup menyaksikan bayiku hidup tanpa ayah. Aku juga tak sanggup jika harus kehilangan dia. Bodohnya aku.

"Aku cinta sama dia, Lex. Dia masa depanku."

Tangisan ini tidak pernah bisa kuhentikan, aku tidak tahu kenapa mencintai Al akan semenyakitkan ini?

"Bentar lagi aku bakalan lulus, kamu bisa ngelanjutin hidup bareng aku. Tinggalin dia. Kita mulai semuanya, aku udah pernah bilang sama kamu, aku bakal nerima kamu kapan pun kamu mau, dan aku pasti nerima kamu," ucapnya tulus. Dan ketulusan semacam ini pernah juga kudapatkan dari Aljabar. Laki-laki macam apakah yang masih pantas kupercaya?

"Mempunyai status sebagai janda? Aku belum dua puluh tahun, Lex."

"Ini soal hati, bukan soal umur."

"Plis, balikin minumanku," pintaku.

"Nggak akan!"

"Plis, Lex... kali ini aja!"

Aku merebut botol minuman, meneguknya kembali, membuat perutku mual seperti teraduk. Kepalaku pusing dan berat, tubuhku terasa aneh. Sedikit mengantuk.

Lantai marmer yang kupijak terasa seperti lunak, meja yang kusentuh seperti lembek. Mendadak rasanya ingin tertawa, lalu tiba-tiba aku sedih dan ingin menangis. Sesaat kemudian aku merasa seperti berada di sebuah labirin dan aku terperangkap di dalamnya.

Aku berlari, bernapas terengah-engah, dan Aljabar berada di hadapanku, aku meraih tubuhnya, mencium bibirnya dalam-dalam memeluknya begitu erat.

Aku tidak ingin melepasnya. Dan dia menyambutku dengan hangat, sejenak aku merasa sangat bahagia dan beban ini terlalu ringan di pikiran. Sampai aku merasa tubuhku sulit bergerak.

Tidak tahu apa yang terjadi malam itu, banyak potongan-potongan ingatan yang masih berada di kepala. Namun, sebagian lainnya hilang. Seperti puzzle yang tidak lengkap. Aku tidur di kamar lamaku, kamar yang kurindukan.

Siapa yang membawaku pulang semalam? Kemana Aljabar yang semalam begitu hangat kepadaku? Dan benarkah Aljabar yang membawaku pulang ke rumah ini?

Aljabar, kamu kah itu?

*****

Mencoba mengingat-ingat siapa yang membawaku pulang malam itu, dan hal yang tertinggal di ingatan adalah Aljabar yang menggendong dan menyelimuti tubuhku semalam, tapi kemana dia pergi?

Aku menghambur keluar, masih dengan celana pensil dan kaos gambar kartun karakter Doraemon yang kupakai semalam. Sempat berpapasan dengan Wulan di dekat meja dan hendak berjalan menuju kamarnya.

"Dek, Kak Al, semalem ke sini, kan? Kemana dia sekarang?"

"Aku nggak tau, Mbak. olang aku udah tidul dali jam setengah sembilan," ucapnya dengan suara cadel khasnya.

"Eh... sundalnya Mama udah bangun, gimana tidurnya? Nyenyak?" celetuk Arlan yang sedang mengambil air dari lemari pendingin. Nadanya sangat sinis, membuatku muak, apakah dia orang suci bisa terus memakiku sesuka hatinya?

Aku menunduk, tidak berani menatap mata Arlan yang sudah pasti menatapku penuh kebencian. Dia mendekat padaku setelah meneguk air dari botol di lemari es. Bersedekap dan berdiri angkuh di hadapanku.

"Masuk kamar, Wulan! Kamu harus belajar jadi anak baek-baek, jangan jadi sampah!"

Wulan mengangguk patuh, lalu pergi.

"Al selingkuh? Sukurin!" ucapnya sadis.

Aku hanya diam, berusaha untuk meredam sakit hati.

"Dan ngapain mabok-mabokan? Mau jadi apa? Kimcil? Alasan patah hati kamu yang jadi kambing hitamnya? Emang kamu punya hati, kok masih patah?"

"Kakak nggak berhak ngomong kayak gitu!" Jawabku tidak terima dengan kalimat yang Kak Arlan lontarkan.

PLAK!

Aku memegangi pipiku yang memerah.

Lagi?

Untuk yang kesekian kali Kak Arlan memukulku!

Adilkah ini untukku?

"Apa sih salah Ata sama Ka---?"

PLAK!

Panasnya tamparan kembali menyalami pipiku lagi sebelum aku selesai dengan kalimatku.

"Contoh tuh, Wulan. Anaknya Papa, adik aku tuh. Nggak kayak kamu. Bisanya cuma bikin malu keluarga doang. Anak haram!" Dia menunjuk-nunjuk wajahku dengan tatapan penuh kebencian.

Apa tadi?

Apa aku salah dengar?

Anak haram katanya?

Apa aku sehina itu di matanya hanya karena aku anak dari hasil perselingkuhan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status