Share

Bab 5 Pengorbanan Cinta

Part 5

Pengorbanan cinta

Kata orang cinta tak hanya sebatas rasa dan kata, tetapi butuh tindakan nyata disertai kepercayaan, pengakuan dan pengorbanan. Jovan telah berhasil mengoyak hatiku seperti secangkir kopi yang telah dibanting hingga hancur berkeping-keping. Namun, sisi lembut dari rasa manusiawiku masih mengasihinya. Mungkinkah ini karena cinta yang terlalu kuat mengikat ataukah hanya sekedar rasa iba? Entahlah ....

"Aku punya usul. Mungkin kau setuju?" ucapku memberanikan diri. Jovan menoleh ke arahku. Iris kelamnya menatapku teduh. 

"Apa itu, Na?" balasnya penuh tanda tanya

"Sebaiknya kita bikin surat perjanjian," usulku.

"Maksudmu?"

"Berapa uang yang harus kubayar agar kau bisa mendapatkan jumlah yang sama dengan warisan yang akan kau terima dari Pak Wijaya? Dan kau bebas menikahi Siska."

"Sangat banyak," jawabnya ragu. Rasa bimbang tampak jelas di wajah putihnya.

"Sebutkan saja jumlahnya, kau tak perlu sungkan atau pun ragu," balasku berusaha meyakinkan.

"Sekitar sepuluh milyar. Kau akan minta sama ayahmu?"

"Hanya sebagian mungkin. Boleh sisanya aku angsur?" ucapku mantap penuh keyakinan.

"Bagaimana kau mengangsur sisanya?"

"Aku akan bekerja di perusahaan ayah. Gaji yang kuperoleh sebagian akan kugunakan untuk mengangsur kekurangan pembayaran uangmu. Ok, deal?"

"Deal," jawabnya mantap. Segera ia meraih telapak tanganku dengan menggenggamnya erat disertai tatapan  begitu lekat. 

Selarik senyum kuhadirkan untuk menutupi kesedihan. Kali ini tak akan kubiarkan setitik kabut ataupun sepasang bulir bening membias di kaca netraku. Aku harus kuat sesakit apa pun itu.

Allah ... seandainya Jovan tahu, bahwa dialah satu-satunya lelaki yang telah berhasil menjamah hatiku? Pun setelah sekian lama aku menunggu, tetapi ia tak pernah menyadari semua itu.

*****

Sebelum berangkat ke rumah mama, Jovan memberikan surat perjanjian padaku. Aku membaca kalimat demi kalimat yang tertera di kertas itu. Tanpa kusadari lelaki bermanik kelam itu menatapku tajam. Memperhatikan naik turun gerak bulu lentik mataku. Sesekali dapat kulihat ia nampak tersenyum. Menyangga dagunya dan kadang menelan saliva, kala memperhatikanku mengulum bibir atas, karena pengaruh perasaan atau sedang tak sadar saat memahami makna pasal demi pasal.

"Stop! Jangan teruskan, Na." Tiba-tiba ia sudah mendekatkan wajahnya.

Aku terlonjak. Jantungku mencelos, manakala wajah kami tak berjarak lagi. 

"A-ada apa, Jovan?" tanyaku memberi sekat wajah kami dengan kertas perjanjian itu.

"Jangan kau kulum bibir atasmu! Aku jadi tergoda ingin melumatnya. Kau tahu desir halus sedang membangkitkan gairah kelelakianku," balasnya. Perlahan menurunkan penyekat kertas. Sorot  tajam dari manik kelamnya seakan menembus ke ulu hati.

Deg.

Gemuruh kurasakan dari dalam dada. Degup iramanya nyaris tanpa suara dan sontak mengirim sinyal gemetar ke tangan. Segera kusembunyikan tangan ke dalam saku rok panjang. Berusaha menguasai perasaan dengan memundurkan badan. Memberi jarak  di antara kami.

"Baiklah, Jovan. Maaf, Aku tidak tahu," balasku tertunduk malu.

"Bagaimana dengan surat perjanjiannya, apa kau setuju?" 

"Ya, aku setuju."

"Bubuhkan tanda tanganmu di sini," titahnya sembari memberikan pena.

Setelah selesesai menandatangani surat perjanjian kami bergegas berangkat ke rumah Jovan.

*****

"Masuk, Na. Sudah lama Tante menunggumu," ucap Pak Wijaya tersenyum manis menyambut kedatangan kami.

"Makasih, Om," jawabku sembari meraih telapak tangan dan mencium punggung tangannya dengan khidmat sebagai rasa hormat. Lelaki paruh baya itu mengusap rambutku. 

"Ma, Riana datang, nih! Ke sini, dong. Biar Bi Inah yang nerusin memasaknya."

"Tanggung, Pa. Bentar lagi kelar. Minta saja Riana nyusul aku ke dapur," pinta Tante Desy.

"Baiklah, Om. Biar Riana saja yang ke dapur," ucapku meminta ijin.

" Ok, aku ijinkan," jawab Pak Wijaya.

Satu jam kemudian.

Semua hidangan telah tersaji di meja makan. Kami berempat duduk saling berhadapan.

"Malam ini sangat spesial. Selain kita bisa makan malam bersama, ada menu istimewa yang dibuat oleh Riana," ucap Tante Desy tersenyum semringah.

"O, ya, apa itu? Hmmm ... perutku sudah berorkestra, nih. Minta segera diisi, karena bau masakan yang menggoda selera," ujar Pak Wijaya tak sabar untuk mencicipi masakanku.

"Nasi kapau. Lihat, tuh, baunya saja sudah harum begitu juga penyajiannya, sangat menarik. Apalagi rasanya, pasti pingin nambah."

"Waah ... benar, Ma. Rasanya enak sekali. Benar-benar lezat! Baru kali ini Papa makan nasi kapau senikmat ini," puji Pak Wijaya setelah menghabiskan seporsi nasi kapau.

"Bagaimana, Jovan? Enak, 'kan?" tanya Tante Desy yang melihat Jovan sedang lahapnya menghabiskan seporsi nasi kapau.

"Iya, Ma. Nasi kapau buatan Riana, benar-benar nikmat," ucapnya sambil menghabiskan nasi kapau di piring tanpa sisa.

"Tak salah aku memilih Riana sebagai istrimu, Van. Selain cantik, ia juga pandai memasak. Betul kan, Pa? puji Tante Desy dengan senyum terkembang melirik Pak Wijaya yang duduk di sampingnya.

"Orang tua selalu mempunyai feeling yang kuat. Apalagi memilihkan jodoh terbaik buat anak-anaknya," timpal Pak Wijaya.

"Setuju! Makanya aku menolak Siska, karena ia tak pantas untukmu, Van. Meskipun cantik, tapi ia hanya pandai berdandan dan suka berfoya-foya bak selebritis. Wanita, secantik atau setinggi apapun pendidikannya, kalau gak bisa masak atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, percuma! Dan lelaki yang memilih wanita seperti itu akan sial hidupnya," ujar Tante Desy penuh penegasan.

Seketika suasana berubah. Mendadak semua terdiam. Jovan membiarkan suapan terakhir dari sendok besar   menggantung di bibir. Lalu, perlahan terdengar ia tersedak. Aku segera memberinya segelas air putih. Kemudian ia berdiri dan meninggalkan kami.

Aku melihat perubahan di garis wajah tampannya. Ada rasa kecewa dan marah. 

"Kita pulang saja, Na. Suasana hatiku berubah menjadi tak nyaman," ucapnya lirih dengan menatapku sendu.

"Tapi, Van ...?" Kuletakkan tanganku di bahu dengan mengelusnya lembut.

"Gak papa, kalau kau masih ingin di sini. Aku tidak melarangmu. Kau bisa pulang sendiri naik ojol. Tapi aku ingin pulang sekarang." Suara baritonnya terdengar meninggi. Sepertinya ucapan Tante Desy membuat lelaki berahang keras itu emosi.

"Kau tersinggung dengan ucapan mamamu, ya?" tanyaku lembut memberanikan diri.

"Kau pilihan mereka, sedangkan Siska adalah pilihanku, Na. Aku telah menghargai pilihan mereka dan selalu menghormati keputusan perjodohan kita. Tak pernah menghina atau pun mencaci maki seperti barusan yang telah mereka lakukan. Aku tak punya kebebasan. Bahkan, untuk menentukan wanita--dengannya kuhabiskan masa kebahagiaan dalam hidup," jawab Jovan dengan menumpahkan segala beban di dada.

"Baiklah, aku ikut pulang bersamamu." 

"Makasih atas pengertianmu, Na."

Setelah berpamitan pada kedua orang tua Jovan, kami pun pulang ke rumah.

*****

Sinar mentari menyembul dibalik awan. Tersenyum hangat menyapa hari. Aku bergegas ke dapur membuat sarapan. 

"Buatkan aku nasi goreng seafood, Na. Aku ketagihan dengan rasa lezat dari masakanmu, " pinta Jovan yang masih memakai piyama tidur sedang menyeret kursi mendekat ke meja makan.

"Baiklah. Tunggu sepuluh menit. Aku sedang memasaknya ini," balasku diselimuti rasa heran.

"Cepetan, Na. Aku sudah lapar ini. Bau masakanku begitu menggoda."

"Nih, sudah matang. Silakan dinikmati dan selamat makan!" jawabku sembari menyodorkan sepiring nasi goreng di hadapan Jovan. Ia segera melahapnya.

"Eitts ... tunggu! Apa kau gak takut alergi, kalau makan seafood?"

"Ah masa bodoh. Aku sudah rindu makan nasi goreng seafood," balasnya tanpa menghiraukan pertanyaanku. Sepuluh menit kemudian makanan itu sudah ludes disantapnya.

"Masih mau lagi? Ambil punyaku, karena perutku cuma muat separuh." Aku menawarkan setengah piring nasi goreng pada Jovan.

"Makasih. Ini sudah lebih dari cukup, Na," 

"Oh, baiklah kalau begitu," balasku mengambil kembali piring yang ada di hadapannya.

"Mengapa orang tuaku tak pernah menyukai Siska, Na?" Tiba-tiba lelaki itu mengajukan pertanyaan yang sangat tak kuduga.

Kuhela napas panjang, lalu menghempaskannya perlahan. Rasa sesak yang muncul tiba-tiba harus kutahan.

"Mungkin kau belum begitu baik mengenalkan Siska pada mama. Membuat mama tak mengerti bagaimana Siska yang sebenarnya?" jawabku memberi saran.

"Kau benar. Aku memang belum pernah mengenalkan Siska pada mama. Mungkin memang ini saatnya, aku harus segera mempertemukan mereka," balasnya dengan wajah dipenuhi rasa bahagia.

Sekejap bulir hangat meluncur deras  membasahi pipi. Kali ini  aku tak bisa lagi menyembunyikan perihnya luka, tetapi aku tetap berusaha untuk merasakannya sendiri dan melengkungkan bibir ke atas, saat menatap wajah Jovan.

"Kau menangis?" tanya Jovan terkejut.

"Ini tangis kebahagiaan, Van. Kau jangan marah, ya?" Segera kuusap airmataku.

"Kau tak seperti yang kuduga. Maafkan, aku yang telah bersikap kasar, Na." Lelaki berkulit putih itu mengelus lembut punggung tanganku. Tatapan lembut dari manik kelam netranya  sanggup menenggelamkanku ke dasar samudera cintanya, hingga aku tak mampu  bangkit meraih tepian. Meski seribu luka telah ia goreskan.

"Tidak apa-apa, Van. Aku senang kau menerima saranku. Untuk pertama kalinya kita bisa berbicara dalam suasana seperti ini."

"Riana, aku janji. Kita akan berbicara seperti ini dan tak ada pertengkaran lagi." Kali ini aku melihat Jovan yang seperti dulu. Lembut, hangat dan meneduhkan.

Seandainya tak ada alasan yang mengharuskan kita membuat jarak pada hubungan ini ... sungguh aku merasa cintaku sempurna, karena memiliki Jovan seutuhnya. 

Ah, seandainya saja ....

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status