Share

Kaisar, Jangan Meminta Lebih
Kaisar, Jangan Meminta Lebih
Penulis: Luna Maji

1 - Luka

Penulis: Luna Maji
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-25 18:33:41

“Kau membawa sial!” bisik wanita itu, matanya penuh kebencian. “Pergi! dan jangan pernah kembali!”

Kabut masih menyelimuti hutan, cahaya matahari menerobos di antara celah pepohonan yang sudah hidup selama berabad-abad. Dinginnya menusuk tulang, namun tidak lebih dingin dari rasa hampa di dada Cailin. Ia tinggal sendiri sejak ibu tirinya membuangnya ke tempat terpencil ini, dengan alasan yang tidak bisa ia pahami. 

Cailin menyampirkan kantong anyaman di bahunya, jari-jarinya yang kotor mencengkeram erat tali kantong. Isinya sedikit—beberapa umbi-umbian liar dan jamur yang dia temukan pagi tadi. Itu seharusnya cukup untuk bertahan hari ini. Napasnya membentuk kabut putih. Setiap langkah kakinya meninggalkan jejak di tanah yang basah.

Cailin menggosok-gosokkan kedua tangannya. “Kalau aku jadi es batu, mungkin wanita itu akan senang. Dasar perempuan gila.”

Tiba-tiba, langit di atasnya seakan berwarna kemerahan sesaat, diikuti gemuruh yang menggetarkan tanah. Bau besi terbakar dan sesuatu yang lain... sesuatu yang manis dan memabukkan, memenuhi indra penciumannya.

Hatinya berdebar kencang. Instingnya berteriak untuk lari, tetapi rasa ingin tahu atau mungkin hanya keputusasaan bodohnya, menariknya mendekati sumber bau itu. Dia menyusuri semak belukar, tangannya menyingkirkan ranting yang menghalangi.

Dan di sana, di tengah lingkaran tanah yang hangus dan pepohonan yang patah, terbaring seorang pria. Cailin menahan napas. 

Pria itu tergeletak dalam kondisi yang mengerikan. Bajunya yang tadinya pasti sangat mewah, kini compang-camping dan berlumuran darah yang... aneh. Darahnya tidak berwarna seperti darah manusia biasa, melainkan berwarna merah keemasan, serta memancarkan hawa panas hingga Cailin bisa merasakannya dari jarak beberapa langkah.

Wajahnya pucat, tapi garis rahangnya menampilkan keteguhan bahkan dalam keadaan tidak sadar. Dia terlihat agung, seperti yang dia bayangkan tentang para dewa dalam cerita-cerita yang pernah ia dengar. Hanya saja, dewa tidak seharusnya sekarat di hutan.

“Lukanya aneh,” Cailin menggedikkan bahu, “tapi tampan. Apa dia dewa yang jatuh ke bumi?”

Tanpa pikir panjang lagi, naluri kemanusiaannya mengambil alih. Cailin berlutut di sampingnya, tangan gemetar menyentuh dahi pria itu. Panas! Cailin langsung menarik tangannya dan meniupnya cepat.

Itu sudah cukup bagi Cailin. Dia membalut luka dengan kain dari bajunya, berusaha menghentikan pendarahan. Saat jarinya tanpa sengaja menyentuh darah yang masih hangat, sebuah sensasi aneh merayap di kulitnya.

Seperti energi menyambar melalui jarinya, membanjiri tubuhnya. Cailin terhuyung ke belakang, dadanya terasa seperti ditusuk ribuan jarum panas. Matanya berkunang-kunang. Dia mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya desahan napas yang tersendat.

Dia merasakan sesuatu yang asing mengalir dalam tubuhnya, membakar dari dalam. Penglihatannya mulai gelap, dan hal terakhir yang dia ingat sebelum kegelapan adalah sepasang mata yang tiba-tiba terbuka—mata yang berwarna merah vermilion, menatapnya penuh dengan kejutan.

Dan kemudian, semuanya menjadi hitam.

***

Bau darah dan tanah basah memenuhi penciuman Shangkara saat kesadarannya perlahan kembali. Rasa sakit yang luar biasa di dadanya mulai mereda. Luka di tubuhnya masih terbuka, tapi darahnya sudah bekerja, menyembuhkan dengan perlahan namun pasti.

Lalu ia membuka mata. Pandangannya samar, tapi ia bisa menangkap sosok seorang yang terhuyung kemudian jatuh tak jauh dari tempatnya.

Seorang gadis. Wajahnya pucat bagai bulan, dan napasnya tersengal-sengal.

Orang biasa? Pikirnya bingung. Apa yang dia lakukan disini?

Kemudian, pandangannya jatuh pada jari gadis itu. Ada bekas noda merah keemasan. Darahnya.

Sial.

Shangkara mencoba bergerak, tapi tubuhnya masih cukup lemah. Sumpah serapah keluar dari bibirnya. Ia tidak hanya celaka, tapi malah membawa gadis tidak bersalah dalam bencana. 

Energinya yang membara terlalu kuat untuk tubuh yang tidak terlatih. Gadis ini akan mati.

“Demi langit…” gumamnya, suaranya serak.

Tiba-tiba bayangan bergerak dari balik pohon. Shangkara langsung siaga walau tubuhnya masih lemah.

“Yang mulia!”

Seorang pria gagah dengan bekas luka di alis segera mendekat. “Aku menemukan jejak energi yang mulia,” lapor Ren, orang kepercayaannya. “Apa yang terjadi? Siapa… ini?” Pandangannya beralih pada gadis yang sekarat tak jauh dari Shangkara.

“Jangan tanya,” potong Shangkara, “Dia menyentuh darahku. Energinya terserap.” 

ajudan—ajudannya—langsung memeriksa nadi Cailin, menghela napas dan menggeleng perlahan. “Dia tidak akan bertahan, yang mulia. Energi milik Anda membakarnya dari dalam.”

Shangkara menatap gadis malang  itu. Seorang kaisar tidak boleh berhutang budi, dan tidak akan membiarkan orang tak bersalah mati karenanya.

“Ren,” ucapnya tegas penuh wibawa, mengesampingkan rasa sakitnya. “Bawa dia. Bawa dia ke Istana. Sekarang.

Ren terlihat ragu, “Yang mulia? Itu terlalu berisiko—”

“Sekarang!” suara Shangkara bergetar, meski lemah. Cahaya vermilion menyala singkat di matanya. “Dia menyelamatkanku. Dia tanggung jawabku sekarang.”

Kalimat itu menggantung di udara, lebih berat dari kabut pagi. Ren mengangguk patuh. Ia tidak memahami, tetapi ia taat.

“Istana adalah satu-satunya tempat yang memiliki sumber daya untuk menyelamatkan nyawanya.” Shangkara berhenti, matanya tertuju pada gadis itu.

Ia menekan dadanya yang tiba-tiba berdebar tak karuan. Bukan karena luka, tapi karena ia tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi kalau ia membiarkan gadis ini kehilangan nyawanya.

“Dengarkan aku, Ren!”

Suara tegas Shangkara membuat gerakan Ren yang hendak mengangkat Cailin terhenti, “Baik, Tuan.”

“Jangan sampai dia tahu siapa aku sebenarnya.”

Ren melihat mata tuannya. Itu bukan hanya perintah. Itu adalah keputusasaan. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk. "Seperti yang Tuanku perintahkan."

“Langsung bawa ke kamar rahasia,” instruksi Shangkara, suaranya pelan tapi tegas. “Ciptakan kabut sebagai pelindung,” tambahnya.

Ren mengangguk. Dengan sigap, dia mengeluarkan energinya, kabut tebal tiba-tiba menyelimuti mereka, menyembunyikan mereka dari pandangan siapa pun. 

Mereka melesat masuk ke dalam kegelapan hutan. Di pundak Ren, Cailin tergantung lemas. Shangkara berjalan tertatih di samping ajudannya. Setiap langkah terasa lebih berat daripada luka di dadanya, seolah ia sedang menyeret sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada tubuh lemah seorang gadis.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    7 - Peluk

    Ruang batu itu terasa sejuk, nyaris membekukan. Shangkara merebahkan Cailin di tempat tidur batu yang datar dan dingin. Di luar, suara-suara istana seperti lenyap. Dengan belati, Shangkara kembali melukai tangannya. Darah vermilionnya menetes perlahan ke bibir Cailin. Cailin yang menggigil, sedikit mengerang saat darah hangat itu masuk. Tangan Shangkara yang lain dengan lembut mengusap dahi Cailin yang basah oleh keringat dingin. Perlahan, suhu tubuh Cailin mulai turun, namun ia masih menggigil, napasnya tersendat.“Tubuhnya dingin,” Shangkara menoleh kepada Ren, “cari selimut!” perintahya.Shangkara menggenggam tangan Cailin. Menggososknya dengan tangannya sendiri.Ren kembali dengan selimut tebal, lalu memberikannya pada Shangkara. Shangkara segera menyelimuti Cailin, tapi gadis itu masih menggigil hebat, bibirnya mulai membiru. “Tubuhnya masih dingin, Ren. Sangat dingin,” bisik Shangkara. “Aku harus menghangatkannya.” Ren mengerti, wajahnya berubah pucat. “Yang mulia, anda tidak

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    6 - Energi

    Keesokan paginya, istana timur sudah sibuk dengan berbagai aktivitas. Lian sudah menarik lengan Cailin dengan semangat.“Cailin, ayo ikut aku ke kuil! Kamu terlalu lemah. Kamu harus melatih energimu. Guru Fen akan menguji energi spiritualmu, supaya kita bisa berlatih bersama.”Cailin mengikuti langkah Lian dengan sedikit tertatih, karena luka di lututnya belum sembuh sempurna. “Tapi... aku tidak pernah belajar menggunakan energi. Aku bahkan tidak tahu apa itu energi spiritual.”Lian tersenyum lembut. “Tenang saja. Banyak gadis di sini juga baru mulai. Guru Fen akan membantumu.”Mereka berdua akhirnya tiba di kuil tempat latihan di wilayah istana timur. Lian membawa Cailin menemui seorang tetua berjubah abu-abu yang duduk tenang di depan sebuah batu kristal besar.Guru Fen membuka matanya perlahan. “Siapa ini, Lian?”“Guru, ini Cailin. Dia baru datang. Bisakah anda mengujinya?”Guru Fen mengangguk, lalu menatap Cailin. “Letakkan tanganmu di atas batu ini. Tutup matamu, dan coba rasakan

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    5 - Lutut

    Cailin duduk di tempat tidurnya. Lian membersihkan luka di lutut Cailin dengan air hangat. “Kau harus hati-hati, Cailin,” ujar Lian. Ia mencelupkan kain ke dalam wadah air hangat, perlahan ia menusap kembali luka di lutut Cailin. “Kau bisa terus-terusan di ganggu Daiyu.”Brak!Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan suara keras.Cailin dan Lian terkejut, menoleh ke arah pintu. Cailin langsung menurunkan roknya untuk menutupi kakinya yang terbuka.Seorang pria tinggi tegap berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tersengal. Matanya langsung menatap ke arah kaki Cailin. Ia melangkah mendekat.Lian langsung berdiri, maju melindungi Cailin, “Siapa Anda?” tanyanya, suara bergetar. “Apa maksud kalian masuk kamar ini tanpa izin. Akan ku panggil penjaga.”Shangkara mengabaikan pertanyaannya. Langkahnya mendekat, matanya terus menatap rembesan darah di baju Cailin. Ia ingin memastikan dugaannya.Ren muncul dari belakang Shangkara, melangkah masuk mengikuti tuannya. Ia mendekati Lian, menunju

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    4 - Istana Timur

    “Kau harus ganti baju,” desisnya, membuka lemari dan mengeluarkan sebuah hanfu berwarna pastel. “Pakaianmu yang sekarang... terlalu mencolok. Itu akan membuatmu menjadi target.”“Aku Lian,” kata gadis itu, memecahkan keheningan yang menegangkan setelah ucapannya tentang ‘calon selir’ menggantung di udara. “Ayo, masuk ke kamarmu sebelum yang lain memperhatikanmu lebih jauh.”“Target? Target apa? Aku bukan calon selir!” bantah Cailin, suaranya masih bergetar.Lian hanya menghela napas, “Ah! Kamu tamu?”Cailin mengangguk cepat.Lian melanjutkan, “Di istana timur ini, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Tidak peduli kamu tamu atau calon. Sekarang, ganti bajumu. Akan kuceritakan semuanya.”“Itu pakaian siapa?” tanya Cailin melihat hanfu warna pastel yang dipegang Lian.“Ini disiapkan istana. Kamu penghuni kamar ini, semua yang ada disini berarti milikmu.”Lian membantu Cailin mengganti baju, dan menyisir rambutnya. “Oh, ya. Siapa namamu? Kamu dari keluarga mana?” tanyanya, tangannya

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    3 - Bangun

    Kesadaran merambat perlahan ke dalam diri Cailin, seperti kabut yang tersibak.Hal pertama yang dirasakannya adalah hangat.Bukan hangatnya selimut, tetapi sebuah kehangatan aneh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, menyebar ke seluruh tubuhnya yang lemas. Dia membuka mata, perlahan, berkedip mencoba menyesuaikan pandangan.Langit-langit batu.Itu bukan langit-langit pondok kayunya di hutan. Ini... berbeda. Dingin. Asing.Ia mencoba duduk, kepalanya pusing. Meski lemah, tubuhnya terasa ringan dan hangat.Ia melihat sekeliling. Ruangan ini aneh. Dindingnya batu marmer yang halus dan dingin, diterangi cahaya biru misterius dari kristal-kristal yang menempel. Ada rak kitab kuno dan botol-botol aneh. “Kau sudah bangun.”Suara itu, rendah dan berwibawa, membuatnya terkejut. Cailin menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri di dekat lengkungan batu, membelakangi cahaya biru sehingga wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayangan. Ia tinggi tegap, mengenakan tunik praktis berwarna ge

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    2 - Darah

    Ruangan rahasia itu tersembunyi di balik kemegahan istana yang berlapis emas dan permata. Dindingnya terbuat dari batu marmer yang halus, yang dingin bila disentuh. Beberapa gulungan kitab kuno bersandar usang di rak kayu, bersamaan dengan beberapa botol kecil berisi cairan obat yang tidak diberi label. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur batu polos dan datar—yang biasanya menjadi tempat Shangkara bermeditasi hingga larut malam—kini tergeletak seorang gadis tak dikenal yang napasnya tersengal-sengal. Cahaya biru dari kristal-kristal energi yang tertanam di dinding menerangi segala sudutnya, menciptakan bayangan-bayangan yang menari. Tidak ada satu pun simbol kebesaran kerajaan yang terpajang. Ini adalah tempat Sang Kaisar melepas semua topeng dan mahkotanya, menjadi dirinya yang paling sederhana dan paling tersembunyi—sebuah ruang yang selalu dia sembunyikan dari seluruh dunia.Ren adalah satu-satunya orang yang ia izinkan masuk.Tiba-tiba tubuh Cailin yang terbaring tak sadarkan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status