Ruang batu itu terasa sejuk, nyaris membekukan. Shangkara merebahkan Cailin di tempat tidur batu yang datar dan dingin. Di luar, suara-suara istana seperti lenyap.
Dengan belati, Shangkara kembali melukai tangannya. Darah vermilionnya menetes perlahan ke bibir Cailin. Cailin yang menggigil, sedikit mengerang saat darah hangat itu masuk. Tangan Shangkara yang lain dengan lembut mengusap dahi Cailin yang basah oleh keringat dingin. Perlahan, suhu tubuh Cailin mulai turun, namun ia masih menggigil, napasnya tersendat.
“Tubuhnya dingin,” Shangkara menoleh kepada Ren, “cari selimut!” perintahya.
Shangkara menggenggam tangan Cailin. Menggososknya dengan tangannya sendiri.
Ren kembali dengan selimut tebal, lalu memberikannya pada Shangkara. Shangkara segera menyelimuti Cailin, tapi gadis itu masih menggigil hebat, bibirnya mulai membiru.
“Tubuhnya masih dingin, Ren. Sangat dingin,” bisik Shangkara. “Aku harus menghangatkannya.”
Ren mengerti, wajahnya berubah pucat. “Yang mulia, anda tidak bisa!” ia memohon. “Ini pantangan! Bagaimana dengan kehormatan anda?!”
“Kehormatan?” Suara Shangkara tajam, nyaris seperti geraman. “Jika dia mati, aku juga akan mati! Dan kehormatan apa yang tersisa dari seorang kaisar yang gagal melindungi takdirnya?” Ia menatap Cailin, matanya dipenuhi rasa takut yang tersembunyi. “Keluar sekarang, Ren. Jangan sampai aku ulangi.”
Setelah Ren pergi, Shangkara menarik napas panjang, dadanya bergetar. “Dia bisa mati,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Shangkara membuka jubah dan pakaian dalamnya, memperlihatkan dadanya yang bidang. Ia berbaring di samping Cailin, mengangkat selimut tebal itu. Tanpa menunggu persetujuan, ia menyingkirkan lapisan kain tipis dari tubuh Cailin dan memeluk tubuh gadis itu yang terasa seperti es.
“Aku akan menghangatkanmu,” bisiknya, dan di sana, dalam keheningan ruang batu yang dingin, dua takdir yang saling bertolak belakang akhirnya menyatu. “Hangatlah… bertahanlah…” bisiknya, menekan dagu ke ubun-ubun Cailin.
Perlahan, napas Cailin mulai teratur. Pipi pucatnya kembali berwarna, tubuhnya yang dingin mulai hangat dalam dekapan Shangkara.
Kelopak matanya bergetar. Perlahan, ia membuka mata. Samar-samar, ia menyadari ada dada bidang yang hangat tempat kepalanya bersandar, suara detak jantung berat yang berirama di telinganya.
“Ka… kau…” suaranya parau, nyaris tak terdengar.
Shangkara menatapnya, sorot matanya lembut tapi penuh wibawa. “Jangan banyak bicara. Tubuhmu belum kuat.”
Cailin berkedip, jantungnya berdegup lebih kencang. Panas di wajahnya mengalahkan rasa dingin. “Kau… memelukku?” tanyanya pelan, pandangannya langsung tertuju pada dada Shangkara yang telanjang. Rasa malu dan bingung menenggelamkannya.
“Untuk membuatmu tetap hidup,” jawab Shangkara singkat. Ia mengusap pelipis Cailin dengan ibu jarinya. “Kau masih menggigil.”
Cailin menggertakkan giginya, berusaha mengalihkan pandangan. “Aku… bisa sendiri.”
Shangkara menunduk sedikit, jarak wajah mereka tinggal sejengkal. Suaranya rendah dan dalam, membuat dada Cailin bergetar. “Tidak. Kau butuh aku.”
Cailin ingin protes, tapi tubuhnya lelah, kepalanya kembali terasa berat. Hangat itu terlalu nyaman, terlalu aman. Perlahan, matanya kembali tertutup.
“Tidurlah lagi,” bisik Shangkara, menempelkan dagunya di atas rambutnya. “Aku di sini.”
Beberapa jam kemudian, tubuh Cailin tak lagi menggigil. Napasnya pun kembali teratur. Shangkara membenarkan posisinya, memastikan gadis itu nyaman dalam pelukannya sebelum akhirnya melepaskan diri. Dengan hati-hati ia menyelimuti Cailin hingga rapat, lalu beranjak pergi.
Namun, energi Cailin masih belum stabil sepenuhnya. Darah Vermilionnya hanya bisa menstabilkan sementara. Ia membutuhkan jawaban, dan ia tahu di mana ia bisa menemukannya.
Ia beranjak, mengenakan pakaiannya, dan bergegas keluar dari ruang batu. Di luar, Ren berdiri menunggu, wajahnya tegang.
“Yang mulia, bagaimana keadaannya?”
“Dia sudah stabil, untuk sementara,” jawab Shangkara. Ia menatap Ren dengan serius.
Shangkara menatap Ren dengan sorot mata yang berat, penuh tekad dan kekhawatiran yang jarang ia tunjukkan. “Aku harus menemui Guru Fen. Hanya dia yang bisa memberiku jawaban. Aku harus tahu apa sebenarnya yang terjadi padanya… dan padaku.”
Ren mengerutkan kening. “Yang mulia, anda baru saja—”
“Tidak ada waktu,” potong Shangkara tegas. Tatapannya sekilas kembali ke pintu ruang batu, ke tempat Cailin beristirahat. Hatinya bergetar, sesuatu yang asing merambat di dadanya, sesuatu yang membuatnya tidak tenang. Tapi ia menepisnya.
“Aku harus tahu apa sebenarnya yang terjadi padanya… dan padaku.”
Dengan langkah lebar, Shangkara melangkah menuju koridor gelap yang membawa ke ruang Guru Fen. Suara langkah beratnya bergema, seperti menggandakan kegelisahan yang ia sembunyikan.
Ren mengikuti dari belakang, diam namun pikirannya penuh tanda tanya.
Di ruang meditasi, Cailin tetap terlelap, wajahnya tenang dalam kehangatan sisa pelukan yang baru saja ia tinggalkan. Ia tidak tahu, perjalanannya baru saja dimulai.
***
Kepalanya terasa berat, tapi ada sisa hangat yang aneh menyelimuti tubuhnya. Hangat itu… bukan dari selimut. Lebih seperti… pelukan.
Cailin mengerjap, menatap sekeliling ruang batu yang sepi. Tidak ada siapa pun. Hanya dirinya, selimut tebal, dan pakaian tipis yang melekat di tubuhnya. Namun, ada sisa kehangatan yang samar, seolah sebuah tubuh masih menempel di sampingnya.
“Apa aku bermimpi?” gumamnya pelan. Pipinya memanas tanpa alasan.
Ia meraba dadanya, merasakan detak jantungnya sendiri yang masih belum tenang. Ada sensasi samar—seolah pernah mendengar detak jantung lain yang kuat, persis di telinganya. Perasaan itu begitu nyata, begitu hangat, dan begitu memalukan.
Cailin menggeleng, mencoba mengusir bayangan itu. “Itu cuma mimpi.”
Dengan tergesa ia mengenakan hanfu yang terlipat di sudut ruangan. Jari-jarinya gemetar, entah karena tubuhnya yang masih lemah atau karena bayangan samar hangat itu yang terus menempel di pikirannya. Ia tidak tahu, bahwa kehangatan itu bukan mimpi. Itu adalah hal yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Terima kasih sudah sampai di Bab 7! 🥺🔥 Bab ini lumayan bikin deg-degan ya? Shangkara yang biasanya tegas dan dingin, akhirnya menunjukkan sisi rapuhnya demi menyelamatkan Cailin. Gimana rasanya lihat mereka sampai segitunya…? Aku pengen tahu banget pendapat kalian tentang adegan ini 😳❤️ Jangan lupa tinggalkan komentar atau ulasan ya~ Setiap kata dari kalian jadi semangat besar buat aku terus lanjut nulis✨
Ruang batu itu terasa sejuk, nyaris membekukan. Shangkara merebahkan Cailin di tempat tidur batu yang datar dan dingin. Di luar, suara-suara istana seperti lenyap. Dengan belati, Shangkara kembali melukai tangannya. Darah vermilionnya menetes perlahan ke bibir Cailin. Cailin yang menggigil, sedikit mengerang saat darah hangat itu masuk. Tangan Shangkara yang lain dengan lembut mengusap dahi Cailin yang basah oleh keringat dingin. Perlahan, suhu tubuh Cailin mulai turun, namun ia masih menggigil, napasnya tersendat.“Tubuhnya dingin,” Shangkara menoleh kepada Ren, “cari selimut!” perintahya.Shangkara menggenggam tangan Cailin. Menggososknya dengan tangannya sendiri.Ren kembali dengan selimut tebal, lalu memberikannya pada Shangkara. Shangkara segera menyelimuti Cailin, tapi gadis itu masih menggigil hebat, bibirnya mulai membiru. “Tubuhnya masih dingin, Ren. Sangat dingin,” bisik Shangkara. “Aku harus menghangatkannya.” Ren mengerti, wajahnya berubah pucat. “Yang mulia, anda tidak
Keesokan paginya, istana timur sudah sibuk dengan berbagai aktivitas. Lian sudah menarik lengan Cailin dengan semangat.“Cailin, ayo ikut aku ke kuil! Kamu terlalu lemah. Kamu harus melatih energimu. Guru Fen akan menguji energi spiritualmu, supaya kita bisa berlatih bersama.”Cailin mengikuti langkah Lian dengan sedikit tertatih, karena luka di lututnya belum sembuh sempurna. “Tapi... aku tidak pernah belajar menggunakan energi. Aku bahkan tidak tahu apa itu energi spiritual.”Lian tersenyum lembut. “Tenang saja. Banyak gadis di sini juga baru mulai. Guru Fen akan membantumu.”Mereka berdua akhirnya tiba di kuil tempat latihan di wilayah istana timur. Lian membawa Cailin menemui seorang tetua berjubah abu-abu yang duduk tenang di depan sebuah batu kristal besar.Guru Fen membuka matanya perlahan. “Siapa ini, Lian?”“Guru, ini Cailin. Dia baru datang. Bisakah anda mengujinya?”Guru Fen mengangguk, lalu menatap Cailin. “Letakkan tanganmu di atas batu ini. Tutup matamu, dan coba rasakan
Cailin duduk di tempat tidurnya. Lian membersihkan luka di lutut Cailin dengan air hangat. “Kau harus hati-hati, Cailin,” ujar Lian. Ia mencelupkan kain ke dalam wadah air hangat, perlahan ia menusap kembali luka di lutut Cailin. “Kau bisa terus-terusan di ganggu Daiyu.”Brak!Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan suara keras.Cailin dan Lian terkejut, menoleh ke arah pintu. Cailin langsung menurunkan roknya untuk menutupi kakinya yang terbuka.Seorang pria tinggi tegap berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tersengal. Matanya langsung menatap ke arah kaki Cailin. Ia melangkah mendekat.Lian langsung berdiri, maju melindungi Cailin, “Siapa Anda?” tanyanya, suara bergetar. “Apa maksud kalian masuk kamar ini tanpa izin. Akan ku panggil penjaga.”Shangkara mengabaikan pertanyaannya. Langkahnya mendekat, matanya terus menatap rembesan darah di baju Cailin. Ia ingin memastikan dugaannya.Ren muncul dari belakang Shangkara, melangkah masuk mengikuti tuannya. Ia mendekati Lian, menunju
“Kau harus ganti baju,” desisnya, membuka lemari dan mengeluarkan sebuah hanfu berwarna pastel. “Pakaianmu yang sekarang... terlalu mencolok. Itu akan membuatmu menjadi target.”“Aku Lian,” kata gadis itu, memecahkan keheningan yang menegangkan setelah ucapannya tentang ‘calon selir’ menggantung di udara. “Ayo, masuk ke kamarmu sebelum yang lain memperhatikanmu lebih jauh.”“Target? Target apa? Aku bukan calon selir!” bantah Cailin, suaranya masih bergetar.Lian hanya menghela napas, “Ah! Kamu tamu?”Cailin mengangguk cepat.Lian melanjutkan, “Di istana timur ini, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Tidak peduli kamu tamu atau calon. Sekarang, ganti bajumu. Akan kuceritakan semuanya.”“Itu pakaian siapa?” tanya Cailin melihat hanfu warna pastel yang dipegang Lian.“Ini disiapkan istana. Kamu penghuni kamar ini, semua yang ada disini berarti milikmu.”Lian membantu Cailin mengganti baju, dan menyisir rambutnya. “Oh, ya. Siapa namamu? Kamu dari keluarga mana?” tanyanya, tangannya
Kesadaran merambat perlahan ke dalam diri Cailin, seperti kabut yang tersibak.Hal pertama yang dirasakannya adalah hangat.Bukan hangatnya selimut, tetapi sebuah kehangatan aneh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, menyebar ke seluruh tubuhnya yang lemas. Dia membuka mata, perlahan, berkedip mencoba menyesuaikan pandangan.Langit-langit batu.Itu bukan langit-langit pondok kayunya di hutan. Ini... berbeda. Dingin. Asing.Ia mencoba duduk, kepalanya pusing. Meski lemah, tubuhnya terasa ringan dan hangat.Ia melihat sekeliling. Ruangan ini aneh. Dindingnya batu marmer yang halus dan dingin, diterangi cahaya biru misterius dari kristal-kristal yang menempel. Ada rak kitab kuno dan botol-botol aneh. “Kau sudah bangun.”Suara itu, rendah dan berwibawa, membuatnya terkejut. Cailin menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri di dekat lengkungan batu, membelakangi cahaya biru sehingga wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayangan. Ia tinggi tegap, mengenakan tunik praktis berwarna ge
Ruangan rahasia itu tersembunyi di balik kemegahan istana yang berlapis emas dan permata. Dindingnya terbuat dari batu marmer yang halus, yang dingin bila disentuh. Beberapa gulungan kitab kuno bersandar usang di rak kayu, bersamaan dengan beberapa botol kecil berisi cairan obat yang tidak diberi label. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur batu polos dan datar—yang biasanya menjadi tempat Shangkara bermeditasi hingga larut malam—kini tergeletak seorang gadis tak dikenal yang napasnya tersengal-sengal. Cahaya biru dari kristal-kristal energi yang tertanam di dinding menerangi segala sudutnya, menciptakan bayangan-bayangan yang menari. Tidak ada satu pun simbol kebesaran kerajaan yang terpajang. Ini adalah tempat Sang Kaisar melepas semua topeng dan mahkotanya, menjadi dirinya yang paling sederhana dan paling tersembunyi—sebuah ruang yang selalu dia sembunyikan dari seluruh dunia.Ren adalah satu-satunya orang yang ia izinkan masuk.Tiba-tiba tubuh Cailin yang terbaring tak sadarkan