Share

8 - Ikatan

Penulis: Luna Maji
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-27 07:39:17

Pintu ruangan terbuka keras. Shangkara berdiri di ambang pintu, napasnya terengah. Wajahnya yang biasanya dingin, kini dipenuhi kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.

Guru Fen membuka matanya perlahan. “Aku sudah menunggumu, Shangkara.”

Shangkara melangkah masuk, pintu menutup di belakangnya. “Guru. Aku butuh jawaban. Apa yang terjadi padaku... dan padanya?”

“Kau sudah melanggar pantangan besar, Shangkara.” ucap sang guru.

Sangkara menatap gurunya, “aku… hanya ingin menyelamatkannya.”

Guru Fen menatap Shangkara lama, suaranya berat tapi tenang. “Duduklah, muridku.” Tatapannya tajam.“Kau sadar apa yang sudah kau lakukan? Darah Vermilion itu… bukan sekadar obat. Itu ikatan.”

Shangkara menatap gurunya dengan datar, tapi rahangnya mengeras. “Ikatan apa maksudmu?”

Guru Fen menghela napas dalam. “Apa yang kau alami adalah Ikatan Darah Jiwa — Soul Blood Bond dalam bahasa kuno. Bukan sekadar transfer energi, Shangkara. Kau telah memindahkan sebagian esensi kehidupan Vermilion-mu ke dalam
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    187 - Harga

    Lian tersedak, matanya terbuka lebar, dan tubuhnya terhisap sepenuhnya ke dalam permukaan cairan logam yang bergolak. Cairan itu beriak keras, lalu menutup di atas kepalanya, seperti air yang menelan korban tenggelam.Ia hilang.Ruangan mendadak sunyi, hanya diisi oleh desisan pasir yang jatuh dan napas berat Ren.Ravia berdiri membeku, tangan masih terangkat, tatapan kosong ke arah cermin di mana Lian baru saja lenyap.Kemudian, perlahan, senyum tipis muncul di bibirnya.“Sekarang,” bisiknya, suaranya mengandung kemenangan yang mengerikan, “dia sepenuhnya milik cermin. Dan aku... tidak perlu lagi menahannya.”Ia berbalik, menghadap cermin sepenuhnya, menga

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    186 - Menghilang

    Suara teriakan Ren bergema di ruang batu yang dipenuhi cahaya menyilaukan.Udara di ruang cermin bergetar.Ia menyerang tanpa peringatan.Api Vermilion meledak dari telapak tangan Ren, menghantam lantai di depan Ravia dan memecah konsentrasinya sepersekian detik.Cukup untuk membuat pasir yang mencengkeram tubuh Lian melemah.Tubuh Lian tertarik ke arah kolam—namun Ravia menahannya dengan paksa.“JANGAN BIARKAN DIA MASUK!” teriak Ravia.Dari bayang-bayang pilar di belakang Ravia, sosok Pria Topi Caping melesat maju. Pedang lengkungnya terhunus, mengarah lurus ke leher Ren yang sedang berlari.

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    185 - Cermin Nasib

    Lorong menurun itu berakhir tiba-tiba.Lian berguling, menahan jeritan saat rusuknya yang retak menghantam tanah. Namun, adrenalin memaksanya segera bangkit.Ia berada di sebuah ruangan luas, melingkar, dan sunyi. Tidak gelap seperti lorong di atas. Ruangan ini bermandi cahaya perak yang menyilaukan.Bukan cahaya obor. Bukan api. Melainkan pantulan dari sesuatu yang berada di tengah ruangan—Cermin Nasib.Bukan cermin dari kaca.Permukaannya berupa cairan logam keperakan, berputar perlahan tanpa suara, seolah menampung langit lain di dalamnya. Cahaya yang dipantulkannya tidak menyilaukan, tapi membuat dada terasa sesak—seperti berdiri terlalu dekat dengan sesuatu yang tidak seharusnya disentuh.Lian menahan napas.Di sisi lain ruangan, seseorang berdiri membelakanginya.Ravia.Perempuan itu tidak menoleh saat Lian melangkah masuk. Tangannya sibuk menyusun lingkaran kecil dari pasir hitam di lantai batu, butiran-butirannya bergerak patuh, membentuk pola rumit yang berdenyut pelan.“Kau

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    184 - ke Bawah

    Cahaya tipis jatuh dari celah di langit-langit ruang sempit itu. Lian duduk bersandar pada dinding batu, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Gulungan kulit binatang itu ia genggam erat, seolah menggenggam benda itu adalah satu-satunya cara untuk menahannya agar tidak hanyut oleh ketakutan. Pasir masih berdesir di lorong luar—suaranya halus, sabar, seperti sesuatu yang tidak perlu terburu-buru karena tahu buruannya kehabisan ruang. Ia menatap sekeliling. Ruangan ini tidak besar. Dinding-dindingnya dipahat rapi, sudut-sudutnya bersih. Batu lantainya rata, bahkan aus di beberapa bagian—seperti sering diinjak. Lian bangkit perlahan, mengabaikan nyeri di rusuknya. Ia melangkah tertatih, menelusuri dinding dengan ujung jarinya. Di sana—di balik lapisan lumut kering—ia menemukan sesuatu yang berbeda. Sebuah pola goresan yang hampir hilang—alur tipis berulang, seperti arah hembusan angin yang dipahat dengan sengaja. Lian meletakkan telapak tangannya di dinding itu. Udar

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    183 - Catatan

    Lian menahan napas di balik celah batu yang sempit. Dari kejauhan, suara langkah menggema di aula kuil. “Lian,” suara Ravia terdengar dingin, menggema di antara pilar batu. “Aku tahu kau belum pergi jauh.” Lian menelan ludah. Ia merapatkan tubuh ke dinding, menahan gemetar. Pasir di lantai berderak pelan, seolah merespons langkah Ravia. Suara itu terlalu dekat. Terlalu tenang. Ia menggeser tubuhnya sedikit, meraba dinding di sekelilingnya. Jarinya menyentuh permukaan batu yang berbeda—lebih halus, penuh ukiran tua yang nyaris terhapus waktu. Ia terus merayap pelan di lorong sempit itu, menggeser tubuhnya beberapa senti lebih dalam. Udara di sini pengap, berbau debu tua dan sesuatu yang busuk. Cahaya dari aula utama tidak bisa menembus masuk, memaksanya meraba-raba dalam kegelapan total. Setiap pergerakannya menyiksa. Rusuknya yang memar bergesekan dengan dinding batu, menciptakan rasa nyeri y

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    182 - Bertahan

    Di ruangan altar Kuil Tua, saat Ravia menyentuh dahi Lian, rasa sakit tajam menghantam kepala Lian. Pasir di lantai kuil bergetar pelan, mengikuti irama yang tidak bisa ia pahami. Lilin-lilin ungu di sekeliling ruangan menyala stabil, nyalanya tenang. Ravia berdiri di hadapannya. “Tenanglah,” kata wanita itu lembut. “Ini cuma sakit sedikit,” katanya, seolah rasa sakit adalah hal sepele. Lian menggertakkan gigi. Ia mencoba menggerakkan jarinya. Tidak bisa. Tubuhnya terasa terlalu berat. Ia mencoba mengangkat kakinya. Gagal. “Tidak perlu melawan,” bisik Ravia. “Aku hanya mengubah arah.” “Takdir bukan benda,” desis Lian. “Kau tidak bisa mengarahkannya sesukamu.” “Tentu saja bisa.” Ravia tersenyum tipis. “Aku membentuk jalurnya.Padahal kau angin—tapi kau memilih diam. Kau tahu?” Ia mendekat ke telinga Lian. “Angin bisa mendorong gadis bulan itu menjauh, atau menarik Kaisar ke pelukanmu. Tapi kau …,” Ravia memutar jarinya di dahi Lian. “... malah bermain dengan pengawal itu.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status