Kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. [Sakit? Aku sehat-sehat saja. Kami dari sebelum Magrib tadi menunggu Mas Fahmi, sampai sekarang belum pulang juga.] [Oh, kata Mas Fahmi, Mbak Hanum sedang sakit, makanya nggak bisa datang. Anak-anak menunggui ibunya. Mas Fahmi sudah disini setelah Magrib tadi. Makanya aku tanya sama Mbak Hanum, sakit apa.] Apa? Berarti Mas Fahmi sudah ke rumah Ibu? Kenapa ia nggak mengajak kami? Katanya kami diundang makan ke rumah Ibu. Aku jadi kesal dengan Mas Fahmi. Ada apa sebenarnya dengan Mas Fahmi. [Ooo, ternyata Mas Fahmi mendoakan aku sakit. Padahal kami sudah menunggu, sampai anak-anak sangat kesal, ternyata Mas Fahmi sudah kesitu duluan ya? Mungkin Mas Fahmi sengaja nggak mau mengajak kami. Ya sudah, nggak apa-apa.] Wita pun tidak membalas pesanku lagi. Awas kamu, Mas. Aku menjadi sangat kesal dengan Mas Fahmi. Aku berbaring di tempat tidur, sambil bermain ponsel. Aku sangat kesal dengan Mas Fahmi. Apa maksudnya dia seperti itu? Aku
"Jadi kamu senang kalau aku dipecat?" sahut Mas Fahmi."Tentu saja aku senang! Biar Mas tahu rasa, mentang-mentang punya jabatan, malah seenaknya saja. Tidak peduli dengan keluarga!""Kamu…!" tangannya sudah mulai terangkat."Apa! Mau menamparku? Ayo tampar aku biar Mas puas!"Tangan Mas Fahmi diturunkan dan kami pun saling berdiam diri. Aku segera merebahkan tubuhku dan berusaha untuk tidur. Mata terpejam tapi pikiran mengembara kemana-mana. ***Minggu pagi suasana rumah sedang tidak bersahabat. Aku masih marah dengan Mas Fahmi. Sepertinya anak-anak juga sangat kesal dengan ayahnya. Aku tetap menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Karena itu merupakan tanggung jawabku sebagai seorang istri dan ibu.Selesai semuanya, aku dan anak-anak segera makan. Aku sudah tidak mempedulikan Mas Fahmi lagi. Terserah ia mau melakukan apa.Dari sarapan tadi, kulihat Adiva sangat pucat wajahnya. Mungkin ia kurang istirahat atau karena sedang sakit."Dek, masih pusing?" tanyaku pada Adiva."Enggak
"Alhamdulillah, Pak. Semua baik. Hanya kadang-kadang sedikit berbeda pendapat."Padahal kami juga sedang tidak baik-baik saja. Kami sedang ada masalah, tapi aku tidak mau menambah beban pikiran Bapak dan Ibu."Beda pendapat itu biasa. Jangan sampai beda pendapat membuat kalian bertengkar, saling memaki dan saling menyumpahi. Kalau kalian sedang berselisih paham, jangan sampai anak-anak tahu.""Iya, Pak.""Pak, kalau menurut Bapak, semua yang dikatakan Mbak Hani itu benar atau tidak? Masalah keluarganya," tanyaku pada Bapak."Entahlah, Nok. Bapak nggak mau menduga-duga. Karena itu Bapak mau mendengar penjelasan dari Kevin. Semoga semua ini hanya kesalahpahaman saja.""Kalau menurutku sih janggal, Pak. Mas Kevin itu sepertinya tidak mungkin melakukan yang dituduhkan Mbak Hani. Tapi ya kita nggak tahu seperti apa aslinya. Benar kata Bapak, semoga hanya kesalahpahaman saja.""Belajar dari masalah keluarga Hani, jangan sampai kamu seperti itu. Kalau ada masalah antara kamu dengan Fahmi, se
"Kamu nggak salah, kalau Bapak ada diposisimu pasti marah. Tidak ada laki-laki yang suka, jika istrinya selalu berhubungan dengan laki-laki lain. Kecuali kalau mereka ada hubungan pekerjaan, itu pun nggak mungkin hanya pergi berdua saja terus menerus," kata Bapak dengan bijak."Iya, Pak. Hani marah, katanya saya sangat mencampuri urusannya. Katanya saya mengekang pergaulannya. Padahal saya tidak melarang dia bergaul dan berteman dengan siapa saja. Tapi ya harus dibatasi, apalagi kalau berteman dengan laki-laki, yang dulu pernah punya rasa saling mencintai. Tidak tertutup kemungkinan mereka akan bersatu lagi. Ternyata ketakutan saya benar. Apa wajar mereka hanya berteman tapi sering jalan hanya berdua saja? Ini kan merendahkan harga diri saya sebagai laki-laki dan suaminya. Beberapa teman saya bahkan pernah melihat mereka berdua. Saya sangat malu, Pak," kata Mas Kevin lagi.Mas Kevin mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto-foto kedekatan Mbak Hani dan Kak Rizal. Kalau melihat foto
"Makan dulu ya? Habis itu minum obat," kataku pada Adiva, ketika aku ada di kamar Adiva lagi."Nggak mau makan, mulut terasa pahit.""Kalau nggak makan terus malah semakin pahit. Makan sedikit saja ya? Atau makan roti?" tawarku pada Adiva."Iya, Bu. Roti saja.""Nih, makan rotinya," kataku sambil memberikan roti pada Adiva. Kupandangi ia, sepertinya ia memikirkan sesuatu."Kamu mikirin apa? Kok malah melamun?" tanyaku."Enggak kok, Bu. Hanya kepala pusing sekali," sahut Adiva sambil makan roti sedikit demi sedikit.Selesai makan roti, aku memberikan obat pada Adiva untuk diminum. "Sekarang istirahat saja, ya?" kataku sambil menyelimuti Adiva. Ia pun mengangguk.Aku keluar dari kamar Adiva menuju ke kamarku untuk berganti pakaian. Kulihat Mas Fahmi di kamar sedang sibuk dengan ponselnya. Aku hanya diam saja. Selesai berganti pakaian, aku menuju ke ruang makan untuk menyiapkan makan malam. Walaupun aku masih marahan dengan Mas Fahmi, tapi aku tetap menyiapkan segala keperluannya."Arya
Hari ini Adiva tidak masuk sekolah, ia masih agak demam. Pagi hari aku sudah menyiapkan sarapan untuk keluarga. Bagaimanapun juga ini merupakan kewajibanku sebagai seorang istri dan ibu.Sebelum berangkat ke kantor, kulihat Mas Fahmi sempat melihat Adiva di kamarnya. Tampak Mas Fahmi keluar dari kamar Adiva dengan wajah yang manyun. Seperti sedang kesal. Tapi kesal sama siapa? Masa kesal sama Adiva. Adiva kan kesayangan Mas Fahmi.Aku segera ke kamar Adiva."Masih pusing, Dek?" tanyaku."Iya, Bu.""Nanti makan bubur, ya? Tadi Ibu sudah masak bubur."Adiva mengangguk. Aku keluar dari kamar Adiva untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Drtt...drtt hpku berbunyi, sebuah panggilan dari Opik."Assalamualaikum, Opik," sapaku."Waalaikumsalam. Gimana keadaan Adiva?" tanya Opik."Masih pusing katanya," jawabku."Ternyata Adiva terkena tifus.""Terus obat yang kemarin diminum lagi atau ganti?" "Dilanjutkan saja, nanti aku tambahi lagi obatnya. Aku kirim lewat kurir ya? Petunjuk pemakaian sudah
"Apa maksud kamu Hanum? Kapan Hani bertemu dengan Rizal?" tanya Ibu dengan penasaran."Lihat, Mbak Hani. Bapak dan Ibu belum tahu kalau Mbak Hani bertemu dengan Kak Rizal. Berarti aku tidak pernah mengadu pada Bapak. Beberapa malam yang lalu, Mas Fahmi mengajak aku dan anak-anak makan malam di restoran. Disana kami bertemu dengan Mbak Hani dan Kak Rizal," kataku."Oh, jadi kamu bohong ya malam itu? Ibu pernah mendengar selentingan kalau Hani pergi berdua dengan laki-laki di mall. Tapi bukan bersama dengan Kevin. Berarti itu kamu dengan Rizal ya?" cecar Ibu.Mbak Hani terdiam, ia merasa terpojok."Nggak usah didengarkan omongan orang, Bu. Kita makan juga nggak minta sama mereka," sahut Mbak Hani."Iya, kamu bisa ngomong seperti itu, karena kamu tidak pernah bergabung dengan ibu-ibu disini. Kalau Ibu kan banyak kegiatan, jadi sering bertemu dengan banyak orang," jawab Ibu dengan kesal."Memang ibu-ibu kalau berkumpul bisanya ngomongin orang," ketus Mbak Hani menjawab."Memang, apalagi n
"Hani untuk apa uang sebanyak itu?" tanya Bapak."Untuk keperluanku, Pak.""Sebanyak itu? Memangnya Kevin tidak memberimu uang?" tanya Bapak lagi."Tapi hanya cukup untuk keperluan dan kebutuhan rumah saja. Aku juga ingin senang-senang.""Untuk berkumpul dengan teman-teman sosialitanya. Jalan-jalan dan beli barang-barang mahal, seperti tas, sepatu, jam tangan, pakaian." Aku membacakan pesan dari Mas Kevin.Semua melihat ke arahku. Mbak Hani tampak sangat geram."Tuh, Fahmi lihat kelakuan istrimu. Mencampuri urusanku dan selingkuh dengan suamiku. Ceraikan saja dia!" teriak Mbak Hani.Semua kaget melihat kearah Mbak Hani. "Oh, Mbak Hani meminta Mas Fahmi menceraikanku? Mas mau menceraikanku?" kataku pada Mas Fahmi.Mas Fahmi langsung menggelengkan kepala, mungkin karena ada Bapak dan Ibu. "Mbak Hani keluar dari kerja karena masalah uang. Supaya tidak dituntut pihak perusahaan, terpaksa Mas Kevin mengeluarkan uang." Aku mengeluarkan semua fakta yang kuketahui.Semua kaget mendengar uc