LOGINBrengsek!” desis Kama saat tiba di apartemen. Dirinya tidak pernah menyangka jika hubungan yang pernah terjalin dengan Sutra akan berakhir seperti ini. Jujur saja, dia frustrasi. Bagaimana jika apa yang dikatakan dokter Arif benar adanya. Jiwanya sudah tidak mau lagi mengenal sosok lain. Lalu, bagaimana dengan Angsa Putih, yang dengan segenap jiwanya akan selalu dicintainya. “Tuan, Sutra tidak pergi ke kota itu. Saya sudah mengecek semua penerbangannya, Tuan.” Suara Hans terdengar nyaring dari balik telepon genggam Kama. Wajah pria itu memerah, kedua rahangnya mengeras tegas. Sebelumnya, ia tidak pernah segila ini dalam menanggapi persoalan wanita. Sekarang, giliran wanita itu hanya berstatus sebagai pelayan, dia seperti ingin gila memikirkannya. “Kau sudah benar-benar mencarinya?” Kama menekan ucapannya. “Sudah, Tuan.” Kama kemudian mematikan ponselnya, lalu melempar tepat ke kaca berbentuk oval di hadapannya. “Rupanya kau ingin bermain-main denganku, Sutra!” gerutunya de
Benar saja, sesampainya di tempat praktek seorang dokter, Kama langsung masuk dan meminta agar pria yang bergelar dokter dengan nama Arif tersebut segera memeriksanya. “Jadi, maksudmu, aku impoten?” cicit Kama, telapak tangannya menggebrak meja konsultasi hingga dokter Arif terkejut. Wajahnya kenegang, sorot matanya menusuk, rahangnya menegas. Dokter Arif menganjur napas, mencoba untuk tetap tenang. “Bukan begitu, Tuan. Organ reproduksimu baik, tidak ada kerusakan. Hanya saja, ada hal yang tidak beres dengan otak Anda.”“Apa kau bilang? Otakku?” Kama mengulang dengan wajah mengerut. Sebelah tangannya menunjuk sisi bagian kepalanya sendiri. Dokter Arif mengangguk. “Jika boleh tahu, kapan Anda berhubungan? Kapan dan dengan siapa?” tanyanya dengan nada cukup penuh kehati-hatian. Kama mendengus kesal, kemudian melirik Hans yang berdiri di sampingnya dengan malas. “Haruskah aku menjelaskan hal itu juga? Bukankah kau seorang dokter, yang seharusnya lebih tahu kondisi pasiennya!”“Tuan,
Kama memutuskan untuk menemui Nerezza sebelum gadis itu kembali ke London. Awalnya, Nerezza hendak kembali dua hari lalu, tapi karena merasa waktunya dengan Kama masih kurang, ia memutuskan untuk kembali besok. “Sebelum aku pergi, apa kau tidak ingin memberiku hadiah? Anggaplah sebagai perpisahan kita untuk sementara waktu.” Nerezza kemudian meneguk sedikit anggur yang yerauguh di atas meja. Kama memicingkan senyumnya. “Aku bahkan tidak sempat membelikanmu hadiah. Jika kau mau, minta antar Hans. Kau bisa memilih hadiah apa yang kau inginkan.”“Aku tidak ingin kau membeli sesuatu. Aku hanya ingin kau memberikan hatimu untukku. Itu saja, Kama.” Nerezza menunjuk dada Kama dengan telunjuknya. “Maksudmu?”“Aku tahu, jika selama ini kau begitu mencintai Angsa Putih, dan kau tahu jika itu adalah aku. Tapi, entah kenapa aku merasa jika kau tidak sepenuhnya mencintaiku.”“Nerezza, aku sudah menjadi kekasihmu jauh sebelum aku tahu jika kau adalah orang yang selama ini aku cari, dan kau masih
Kama memundurkan langkahnya. Ia sadar, jika permohonannya pada Sutra tidak akan pernah merubah keputusan gadis itu. Gadis tersebut lebih memilih untuk pergi jauh karena memang menganggap apa yang telah terjadi di antara mereka hanyalah sebuah mimpi. Mimpi buruk yang tak akan pernah dibiarkannya kembali singgah. “Baiklah, aku akan melepaskanmu. Tapi dengan satu syarat!” Sutra membulatkan kedua matanya. “Apa?” “Jangan pernah lagi kau berani menampakkan batang hidungmu di kota ini. Jika tidak, aku tidak akan segan-segan membuat hidupmu tertindas! Bahkan, wanita yang kau anggap sebagai ibumu selama ini, akan kubuat menderita.” “T-tapi, Tu—“ “Terserah kau mau pergi ke mana. Jangan pernah menginjakkan kakimu di kota ini lagi. Sekarang, PERGI!” Sutra benar-benar memundurkan langkahnya, kemudian berbalik arah dan berjalan dengan limbung. Kenapa? Kenapa pria itu mengancmanya begitu? Jika tidak kembali ke kota ini, lantas Sutra harus kembali ke mana? Sedangkan ibunya juga masih beke
Kama berdiri tak jauh darinya. Memakai sebuah hans man panjang lengkap dengan syal yang melingkar di lehernya. “Setelah apa yang kau dapat dari hidupku, kau akan pergi begitu saja?” Langkahnya mendekat, sangat dekat, hanya berjarak beberapa centimeter di hadapan Sutra, pria itu menganjur napas panjang, hingga aroma napasnya menerpa anak rambut Sutra yang menutupi bagian dahinya. Sutra segera mengundurkan langkahnya karena tak ingin terlalu dekat dengan Kama. “T-Tuan, kau—“ Ia menatap dalam. “Kenapa? Apa kau terkejut karena aku bisa berdiri di sini? Hmm?”Sutra mengangguk pelan-pelan. “Maaf, Tuan. Tapi—“Belum sempat melanjutkan kata-katanya, pria itu langsung menarik pergelangan tangan Sutra, menyeretnya untuk ikut melangkah ke suatu tempat. “Lepaskan saya, Tuan!” Sampai di parkiran, Kama menyuruh Sutra masuk dalam mobil. “Tidak.” Sutra menggeleng. “Kau betul-betul ingin membangkang? Baiklah, aku akan membuat semua orang di sini menyaksikan bagaimana aku menciummu dengan pana
Hampir setiap sudut ruangan tempat tidur itu disentuhnya. Namun, Nerezza sama sekali tidak menemukan sesuatu yang mengarah pada wanita yang selalu menjadi fokus Kama—Angsa Putih. Wanita itu berjalan mondar-mandir sambil sesekali menggigit ujung kukunya. Lalu, tatapannya tertuju pada sebuah lemari yang belum sempat ia buka sebelumnya. Langkahnya pun tertuju pada lemari berukuran kecil tersebut, dengan perlahan, Nerezza mulai membukanya. Ia menemukan sebuah seprai putih di sana, terlipat rapi dan sebuah kotak kecil hitam berada di sampingnya. Dengan sedikit rasa ragu, gadis itu mulai mengambil seprai tersebut. Membuka perlahan, untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa mengarah pada si Angsa Putih. “Bercak darah?” Suaranya terkesan berat, Nerezza kemudian menekan bagian dadanya. Tak banyak memang bercak itu, hanya beberapa titik tapi jelas kalau itu adalah bercak darah. Darah nyamuk? Tentu bukan. Itu adalah bekas darah percintaan Kama dengan Sutra kemarin. Pria itu sengaja menyimpannya







