LOGIN
“Tugas pertamamu, antarkan makanan ini untuk Kama sekarang. Kamu bisa minta tolong pada sopir untuk mengantarkanmu. Dia sedang menjalani hukuman dariku.”
Sutra mengernyitkan dahinya. Ada sebuah pertanyaan yang menjejali isi kepalanya saat ini. Sejak ibunya bekerja sebagai pelayan di keluarga Deodola, hidup Sutra ikut terseret dalam kehidupan keluarga itu. Seminggu lalu ia baru lulus sekolah, tapi karena sulitnya mencari pekerjaan, keluarganya tak punya pilihan lain selain terus bergantung pada kebaikan keluarga Deodola. Kini, tanpa benar-benar paham alasannya, Sutra justru diminta membantu pekerjaan ibunya—dan mengantarkan makanan sehari hari untuk anak tunggal keluarga Deodola, yang katanya sedang “dihukum”. “Oh, ya. Katakan padanya kalau kau adalah pelayan baru, putri Zatulini. Semoga saja dia tidak macam-macam.” Suara Amira–Nyona pemilik rumah ini terdengar mengecil saat ia mengatakan kalimatnya yang terakhir. Setelah berbincang sesaat dengan Nyonya besar, Sutra masuk dalam dapur. Mencari sebuah rantang yang sudah terisi makanan untuk sang bos. Tepatnya bos baru. Zatulini— ibunya, menghampiri Sutra dengan kerutan yang begitu kentara di dahinya. “Kau mau ke mana?” “Nyonya menyuruhku untuk mengantar makanan ini ke apartemen Tuan Muda, Bu.” “Tu-tuan Muda? Maksudmu ….” “Tuan Kama.” “Kenapa harus dirimu?” “Apa nyonya Amira tidak memberitahu ibu sebelumnya? jika tugasku adalah mengantar makanan serta keperluan Tuan Kama ke apartemen?” Senyum itu mengembang, melengkung bak bulan sabit yang terang. “Bukankah itu pekerjaan yang terbilang cukup mudah, Bu? Sutra sangat bersyukur karena keluarga Dodola masih mempercayai keluarga kita,” sambungnya sambil menenteng rantang. Langkahnya panjang-panjang, meninggalkan Zatulini yang masih tampak tercengang di dalam dapur. “Tuan Kama bukan orang yang mudah untuk kau ajak tersenyum, Sutra!” gerutunya yang kemudian ikut mengayunkan langkah, mencari keberadaan Sutra. “Sutra, biarkan ibu saja yang mengantar makanan Tuan Kama. Kamu lakukan pekerjaan yang lain saja.” “Itu sudah menjadi tugas Sutra, Lini.” Suara itu melengking. Tidak marah, tapi sedikit menyentak. “Nyonya. Maaf, tapi ….” “Kau tidak perlu khawatir. Kama tidak akan bersikap kurang ajar pada putrimu. Aku mengenal dekat putraku sendiri. Jika dia berbuat kurang ajar terhadap Sutra, aku yang akan tanggung jawab,” ujar pemilik mansion sambil berjalan masuk dalam mobil. Dengan yakin, Sutra berjalan sepanjang koridor apartemen. Mencari nomor unit tempat sang bos tinggal. Sutra menyusuri koridor apartemen. Nomor 506. Ia berhenti di depan pintu, mengetuk pelan, lalu menekan bel. Pintu terbuka. Seorang pria muda berdiri di ambang, rambut berantakan, mata sayu, rokok terselip di jemari. Asap tipis keluar dari bibirnya, menampar wajah Sutra dengan aroma nikotin yang tajam. Kama Deodola. Tatapan singkat pria itu membuat Sutra kaku di tempat. Tanpa berkata apa pun, Kama berbalik menuju sofa. Sutra mengikuti dan meletakkan rantang di atas meja. “Masuk,” ucapnya datar, tanpa menoleh. Sutra mengangguk gugup. “Tuan mau makan sekarang?” Tidak ada jawaban. Hanya suara tarikan napas dalam dan hembusan asap. Sutra menunggu, tapi pria itu tetap diam. “Baiklah, saya tinggalkan makanannya di sini,” katanya lembut. Kama hanya mengangguk sedikit, matanya tetap tertuju ke luar jendela. Sikapnya dingin, membuat ruangan terasa beku. “Maaf, Tuan. Kalau ada yang dibutuhkan, saya masih di sini.” Hening. Sutra akhirnya berbalik hendak pergi, tapi sebelum melangkah keluar, suaranya terdengar lagi— “Kalau mau pergi, pergi saja. Jangan bicara terus. Suaramu berisik.” Sutra menelan ludah, menahan diri agar tidak tersinggung. Ia hanya menunduk sopan. “Baik, Tuan.” Ketika pintu tertutup di belakangnya, napasnya terasa berat. “Siapa namamu tadi?” Lagi lagi Sutra terdiam di pangkal pintu. “Sutra. Namaku Sutra.” jawabnya mendapat tatapan yang datar. Lalu dagu pria itu mengarah ke pintu menandakan dirinya dipersilahkan keluar. Belum pernah ia mendapatkan sambutan seburuk itu dari siapa pun. Di sepanjang perjalanan pulang, Sutra terus saja memikirkan sikap dingin Kama. Ada apa sebetulnya dengan pria itu? Apartemen yang begitu berantakan, bau aroma nikotin yang menyengat, bahkan … gadis itu sempat melihat beberapa botol anggur berjajar di atas mini bar. “Apa kau tahu seperti apa sifat serta keseharian Tuan Kama, Hans?” tanya Sutra pada sang sopir. Sopir yang bernama Hans tersebut mengedikkan pundaknya. “Kau betul-betul tidak mengenal siapa Tuan Kama?” Sutra menggeleng, itu terlihat dari kaca spion yang bertengger di tengah kemudi. “Kau bisa menanyakan seperti apa dia pada pelayan lain di mansion.” “Kenapa tidak kau jawab saja?” Hans memicingkan bibirnya. “Tidak enak. Kami berdua sama-sama laki-laki. Akan lebih baik jika kau mencari tahunya sendiri. Hanya satu pesanku padamu. Hati-hati, jangan termakan rayuannya. Dia suka memakan wanita yang polos.” “Maksudmu?” tanya Sutra tak mengerti. Hingga mobil hitam milik keluarga Deodola masuk dalam pelataran mansion, Hans bergeming, tidak menjawab segala tanya dari Sutra. “Kau hati-hati, Sutra. Karena kau lebih terlihat bodoh dan mudah terperdaya. Bisa jadi kau salah satu sasarannya.”Kama mengerjap-ngerjapkan kedua matanya saat pukul sepuluh pagi. Dia menggeliatkan tubuhnya, dan betapa terkejutnya dia saat mendapati dirinya tengah tertidur di atas lantai beralaskan karpet dengan memakai selimut tebal. Pria itu kemudian duduk, melihat betapa berantakannya setiap sudut ruangan. Sejurus kemudian ujung matanya melirik selimut yang menumpuk di sampingnya. Bergerak. Seketika itu juga, Kama menyibak selimut tebal berwarna putih tersebut. Seorang gadis cantik masih terlelap tidur. Posisinya miring hingga memperlihatkan punggungnya yang sempat ia raba saat Sutra belum pergi dari apartemennya semalam. Bekas luka itu?Kama memukul-mukul kepalanya sendiri dengan pelan, seolah ingin menyingkirkan rasa pusing yang masih mendera. Namun, kedua matanya menangkap sesuatu di atas nakas. Buket bunga lily berwarna putih dengan secumput bunga dandelion berwarna kuning keemasan. Seketika dadanya berdebar. “Kau sudah bangun, Tuan?” Sutra segera bergerak dud
Pagi menjelang, Sutra telah menyiapkan beberapa menu makanan di atas meja. Meskipun dirinya setiap hari mengantar makan untuk Kama. Namun, tidak berarti di dalam kulkas tidak ada bahan apa-apa. Semua lengkap. Bahkan … dapat dipastikan kulkas yang berada di kediaman Sutra sebelumnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan isi lemari pendingain milik Kama. Di atas meja bundar tersebut telah berjejer beberapa menu, ada puding tahu, jianbing, dan susu kedelai. Kama berjalan dengan rasa malas. Saat melihat sang pelayan tengah menata piring serta garpu, pikirannya kembali ingat pada rekaman cctv. Ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya, hingga tanpa sadar pria itu menekan bagian tersebut. “Tuan, sarapannya sudah siap. Saya akan pergi ke toko rajut seperti yang Tuan katakan semalam. Oh, ya. Saya harus membeli apa ke toko itu?”Kama menyeret kursi, meletakkan bokongnya dengan perlahan. Napasnya terkesan berat, tapi dia diam tak menjawab kata-kata Sutr
Sutra berusaha memundurkan langkahnya hingga dia menabrak pintu kamarnya sendiri. Kama mengikuti setiap langkahnya. Dengan menukikkan sebelah bibir, tatapan penuh amarah, bibir pria itu tampak sedikit bergetar. Sutra menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “M-maaf, Tuan. Saya tidak sengaja. Tolong jangan lakukan hal itu lagi ….”Kama tiba-tiba menghentikan langkahnya saat mendengar kata-kata terakhir Sutra. “Melakukan apa? Memangnya sebelum ini aku melakukan apa padamu, hmm?”Sutra terperanjat. Apa jangan-jangan pria yang hanya mengenakan kaos oblong tipis di hadapannya itu tidak mengingat kejadian malam lalu?Kama memegang bibirnya sendiri yang ada bekas luka gigitan. “Kau yang melakukan ini?” dengan sedikit mencondongkan kepalanya, Kama memperlihatkan bibirnya pada Sutra. “Katakan padaku!”Sutra mendorong. “T-tidak. Mana mungkin saya berani menggigit bibir Tuan!”Sutra hendak melangkah menjauh, tapi tiba-tiba pergelangan tang
Saat ini Sutra tengah berdiri di depan pintu apartemen Kama. Dadanya bergetar, tangan kanannya bergerak lamban, antara ingin memencet kode pin atau memilih untuk memencet bel. Satu yang dia takutkan, gadis itu takut jika Kama kembali mabuk. Bagaimana ini? Hingga beberapa menit dia menatap daun pintu itu, sampai akhirnya pintu terbuka dengan sendirinya sebelum sempat ia sentuh. Sutra terperanjat, kedua bola matanya terbelalak. Langkahnya sedikit bergeser ke belakang. “Kenapa kau melamun di depan pintu? Kenapa tidak kau pencet pinnya?” Kama menyapa Sutra dengan pertanyaan datar, bersedekap dada tanpa mengenakan baju. Sial! Dapat Sutra rasakan, udara yang menyapa dari balik pintu apartemen Kama bukanlah aroma alkohol, melainkan parfum beraroma maskulin yang selalu bisa mendamaikan hatinya. “M-maaf, Tuan.” Kama tak menjawab, pria itu melangkah masuk di iringi oleh Sutra. “Mau makan sekarang?” Sutra menata rantang berisi makanan. Kama mengangguk. “Aku kelaparan,” katanya.
"Kenapa tidak ke sini? Apa kemarin malam ada masalah?” Tak ada jawaban, hanya terdengar desah suara yang berat dari Sutra. “Aku tidak mau tahu, nanti malam, kau yang harus mengantar makan untukku. Jika tidak, tidak usah ada yang mengantar makanan ke sini.” Kama kemudian mematikan panggilannya. Pria itu berjalan menuju meja makan. Bukan untuk mencicipi masakan yang telah diantar oleh Lily, akan tetapi Kama memilih untuk menyulut sebatang rokok, mencoba menikmati aroma nikotin sambil mengedar pandangannya ke luar jendela apartemen. Sejenak, pikirannya melambung pada kejadian semalam. Lamat-lamat ia mengingat sesuatu. Kama menyentuh bibirnya. Ada bekas luka di ujung bibir itu. Tak ingin bergelung dengan pikiran yang belum tentu kebenarannya. Kama mematikan puntung rokok lalu menaruhnya di atas asbak. Kemudian pria itu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini, tak ada acara makan siang. Cukup mengkonsumsi sup pereda pengar yang dibuat oleh Sutra pagi tadi sebelum gadis
“Kau ke mana saja, Sutra. Nyonya Amira mencarimu dari semalam. Beliau menelpon Tuan Muda tapi tidak diangkat. Jangan katakan kalian sedang—“ Lily menatap wajah Sutra penuh telisik. Sutra menggeleng. “Lily, semalam aku tidak bisa pulang karena Tuan Muda sudah tidur. Aku ingin ke luar dari apartemennya tidak bisa. Karena aku tidak tahu kode pin apartemen Tuan. Mau membangunkannya, tiak berani. Kau jangan berpikir macam-macam.”“Yasudah, sekarang lebih baik kau temui Nyonya di taman belakang. Sepertinya dia marah padamu.”Sutra mengangguk. “Aku akan menemuinya. Tolong kau sampaikan pada ibu, aku sudah pulang.”“Dari mana saja kau, Sutra? Kenapa semalam tidak langsung pulang?” Wajah Amira menegang. “Apa kau menginap di rumah temanmu?” telisiknya kemudian. “Kama tidak bisa kuhubungi. Kata Lini kau tidak membawa ponsel. Ke mana sebenarnya kau semalam?”Sutra mendekat, kepalanya tertunduk takzim. “Mohon maaf, Nyonya. Semalam saya—“ Sutra menggantung kalimatnya. Gadis itu mencoba untuk menc







