LOGINMasib baik masih belum bersedia menghampiri Nerezza. Perempuan cantik itu sebentar lagi harus mengalami kesialan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Pasalnya, Kama telah menyiapkan kejutan yang akan membuat hidupnya tidak lebih baik dari seekor tikus dalam got.“Hai, maaf, kau harus menungguku terlalu lama. Aku sedang berganti pakaian, karena kurasa tidak mungkin jika harus menemuimu dengan keadaan berantakan.” Wanita itu menyunggingkan senyum hangat oada Kama. Pria itu berdiri di depan pintu rumah Nerezza dengan sebuah jaket jubah musim dingin berwarna hitam. Tatapannya sukit di artikan. Namun, Nerezza menebak jika tatapan Kama saat ini adalahs ehuah kerinduan yang lama dipendam. “Ayo, masuklah.” Wanita itu mengaitkan kedua lengannya pada lengan Kama. Pria itu tidak menolak, bahkan terkesan menerima perlakuan Merezza dengan baik. “Aku ingin bicara serius denganmu.” Tiba-tiba suaranya terdengar dingin, dan itu membuat kedua tangan Nerezza mendadak lepas dari lengan Kama. “Bi-b
[Apa imblannya untukku? Aku tidak ingin membuang buang waktuku begitu saja, Kama. Karena jujur, mengejarmu membuatku berpikir realistis, jika menginginkan sesuatu memang harus mengorbankan sesuatu.] Kama membaca balasan dari Nerezza berulang kali. Seperti sebuah sinyal jika memang wanita itu tahu keberadaan Nala. [Kau mau apa dariku? Katakan saja. Aku benar-benar sudah tidak tahu lagi harus begaimana, Rezza.] [Baiklah, besok aku akan ke Kota S. Kua bisa menemuiku lusa di rumah. Bagaimana?] Satu balasan dari Nerezza membuat Kama menarik kedua ujung bibirnya hingga melengkung, tapi dalam senyum itu tersirat sebuah amarah yang terus dihalaunya. Setidaknya sampai wanita licik itu benar-benar mengakui di mana keberadaan Nala. [Aku menunggumu.] Basa Kama. Baru saja ia ingin memasukkan ponselnya ke dalam sakunya. Tiba-tiba sebuah panggilan dari Zatulini menerobos masuk dalam ponsel tersebut. “Ada apa, Bibi.” “Kau ke mana saja? Kenapa tidak pernah menghubungiku, Tuan? Ap
“Aku adalah orang yang tidak suka dikhianati, Yura.” Mendengar suara Kama begitu berat dan dalam, membuat wanita itu menangis histeris. Mang tidak seharusnya dia melakukan hal yang membuat Kama semurka itu. Hanya demi sejumlah uang, dia rela menggadaikan pekerjaannya. “Katakan, di mana anakku!” Kini giliran Sutra yang bersuara. Wanita itu meremas kerah baju Yura dengan kasar, hingga membuatnya sedikit menjinjing kakinya. “Jahat sekali kau jadi manusia, hmm! Apa selama ini kebaikanku padamu masih kurang? Apa salahku terhadap dirimu, hingga kau berlaku jahat padaku, Yura!” Air matanya luruh, sebetulnya Sutra tidak bisa marah dan menyakiti orang lain, tapi ini sudah keterlaluan. Wanita yang selama beberapa bukan ini ia percaya untuk menjaga putrinya, dengan sadar membuka celah untuk penjahat agar menculiknya. “Maafkan aku, Nyonya. Aku khilaf.” “Apa? Khilaf? Kau tahu, siapa yang diculik? Nala, Yura, Nala! Dia masih bayi. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengannya? Apa kau tidak me
Allard berjalan menuju rumah Nyonya Amira. Satu Dua Tiga kali ketukan pintu, rumah tersebut tampak terbuka. Tebakan Hans tidak meleset sama sekali. Nyonya Amira berdiri di ambang pintu dengan mengenakan sebuah sweater hitam lengkap dengan syalnya. Cuaca memang sangat dingin. “Kau siapa? Mamu mencari siapa?” tanya Nyonya Amira. Allard mulai menyunggingkan senyumnya. “Aku tetangga barumu di sini, kebetulan aku baru pindah pagi tadi. Rumahku sebelah ujung sana,” ujarnya sambil menunjuk ke arah jalan. “Oh, ya. Kebetulan aku juga baru tinggal di sini. Namaku Amira.” “Boleh aku masuk?” tanya Allard. “Masuklah,” ajak Nyonya Amira. Baru saja mereka masuk dan hendak duduk. Tiba-tiba pintu ditendang. Sontak Nyonya Amira terkesiap, sejurus kemudian, kedua tangannya dicekal oleh Allard. “Apa-apaan kau! Lepaskan aku!” Nyonya Amira berontak. Sejurus kemudian, Hans masuk dengan senyum mengembang di kedua sudur bibirnya. “Apa kabar Nyonya Besar. Lama kita tidak bertemu,
“Bagaimana Allard, kau sudah menemukan?” tanya Hans saat sebuah panggilan masuk atas nama Allard dia terima. “Sebaiknya kita bertemu saja, Tuan. Ada banyak hal yang harus aku sampaikan padamu,” ajak Allard. “Baik, kita bertemu di apartemenku. Satu jam lagi aku sampai.” Hans kemudian mematikan panggilannya. Satu jam berlalu, Allard sudah berdiri di ambang pintu unit milik Hans. Beberapa saat lalu, lelaki dengan wajah yang terpahat nyaris sempurna itu telah menghububgi Hans. Namun, ternyata pemilik unit apartemen tersebut belum sampai. Selang beberapa menit kemudian, Hans ke luar dari dalam lift dengan langkah lebar-lebar. Mendengar langkah kaki yang berirama, membuat Allard segera menoleh. “Tuan,” sapanya. “Allard, maaf aku terlambat. Ayo, masuklah.” Hans menekan beberapa tombol untuk dapat masuk dalam hunian mewahnya. “Bagaimana? Apa kau sudah menemukan orang yang menculik Nona Nala?” Allard mengeluarka sebuah map bersampul hijau dari dalam tas ransel hitam mikik
“Bagaimana, apa Tuanmu masih mencari keberadaan putrinya?” tanya Nyonya Amira pada salah satu penghuni rumah Sutra. Benar kata Kama, jika dalam rumah itu adalah salah sayu penyusup masuk yang menyamar menjadi salah satu pelayan atau pengawal. Bisa jadi seseorang itu bukan penyusup, melainkan pengkhianat yang mungkin saja telah diiming-imingi sejumlah uang. “Masih, Nyonya. Bahkan … Nyonya Sutra hampir gila karena memikirkan Nona Nala,” ujarnya menerangkan keadaan dalam rumah tersebut. Nyonya Amira tampak terbahak saat mendengar kekacauan yang telah terjadi. Setidaknya, dendamnya sedikit berjalan dengan lancar. Itu semua belum seberapa, wanita itu pasti akan membuat Kama dan Sutra hancur sehancur-hancurnya. “Kau awasi terus perkembangannya. Hubungi aku jika ada sesuatu.” “Baik, Nyonya.” Setelah mematikan panggilannya, Nyonya Amira kembali melihat siaran televisi, di mana berita dalam negeri masih menggemakan berita hilangnya seorang bayi kecil karena diculik. “Kau bar







