"Ekhem! Maaf, kau siapanya sahabat ku ya?" Tanya Jenni di tengah-tengah perdebatan Rayn dan Aiden. Savana mengerjapkan matanya, spechless dengan yang Jenni pertanyakan. Sebegitu susah kah untuk diam dan tidak mencampuri urusannya. Jujur saja Savana benar-benar sudah muak dengan wajah tak berdosanya. "Aku bertanya!" Sentak Jenni karena orang-orang di depannya hanya diam. "Diam! Dan tak usah banyak tingkah." Desis Arka yang tengah menahan diri untuk tidak emosi. Ia kesal dengan Jenni yang banyak tanya, dia juga kesal dengan pria yang terus menempel terhadap Savana. Savana tak menghiraukannya ia lebih tertarik terhadap makanan yang ada di meja. "Ekhem! Ekhem! Kakak ipar, dia bertanya!!" Seru Irene tepat di sebrang Savana. Sebenarnya ia juga sama penasarannya ah bukan dia saja, semuanya penasaran tentang status mereka. "Boleh aku kasih tau?" Savana mengangkat alisnya bingung saat Aiden bertanya seperti itu. Aiden terus menatap dalam Savana, ia berharap wanita di depannya ini mau bek
"Dasar budak cinta gila!" Umpat Digo sepelan mungkin. Beberapa menit yang lalu Jet pribadi milik paman Digo mendarat di roftop hotel yang menaungi pesta Aren's Corp. Dengan tidak manusiawinya Aiden menyuruhnya gantian baju di dalam Jet milik pamannya. Jas miliki Aiden sudah tak layak pakai menurutnya begitu pun dengan kemeja dan celana bahannya. Sedangkan milik Digo masih terlihat rapih karena pria itu baru memakainya hari ini. Saat di pulau waktu itu Digo jelas memakai pakaian rumahan, tidak seperti Aiden yang terus memakai Jas rapih, dimana dan kapanpun itu."Aku mendengarnya bodoh." Sahut Aiden santai. Sedangkan Digo memutar bola matanya malas.Tau alesan Aiden memaksa Digo untuk bertukar baju? Itu semua karen Ben yang menelponnya dan meminta bantuan. Ben bilang Savana tengah di rundung oleh mantan sahabat dan mantan tunangannya malah nambah satu member lagi yaitu Rivalnya saat kuliah. Jelas Aiden kelabakan dan tidak bisa santai. Ia harus berada di sisi wanitanya."Terimakasih pam
Untuk kedua kalinya Savana masuk ke dalam apartemen milik Aiden. Semuanya masih sama seperti pertama kali ia datang. Tak ada yang menarik, Savana memilih duduk di sofa ruang tamu, masih dengan kebungkamannya.Aiden kembali dari dapur dengan segelas minuman di tangannya. Tanpa mengatakan apapun pria itu menyodorkan minumannya tepat di depan wajah Savana."Mau meracun ku heh?" Tanya Savana sinis.Aiden memilih menyimpan minuman itu di meja. Lalu ia duduk di samping Savana. "Apa yang ingin kau tanyakan?" Aiden benar-benar memfokuskan dirinya hanya untuk Savana, ia ingin mengurus habis permasalahannya.30 detik lewat. Savana masih diam dengan hanya memandangi wajah Aiden yang tengah serius menatapnya. Pria di hadapnnya ini gencar sekali memberikan harapan kepadanya. "Tidak ada." Jawab Savana pada akhirnya, meskipun di kepalanya banyak sekali pertanyaan. Dari yang terakhir kali mereka bertemu saat di kantor pria itu, dan tentang perempuan yang memeluknya tiba-tiba, Savana ingin menanyaka
Matahari sudah naik sedari tadi, tapi kedua manusia yang berlawan jenis ini sama sekali tidak beranjak dari kasur dan selimut.Savana sudah bangun sejak tadi, ia sibuk memandangi wajah Aiden yang terlelap di dekapannya. Bibirnya terus di tarik ke atas tanpa pegal, jika orang lain melihatnya pasti akan mengatai Savana gila.Jari-jari lentiknya terus bermain-main di wajah pahatan tuhan yang nyaris sempurna, "Kau tidak bekerja?" Savana tau Aiden sudah bangun, tapi pria itu malas membuka matanya.Bukannya menjawab Aiden malah menarik tubuhnya lebih dekat dengannya, mendekap erat seperti bantal guling dengan wajah menyeruak di leher milik Savana. "Aku ingin membolos hari ini." Sahutnya dengan posisi yang tak berubah. Savana sedikit merinding saat nafas pria itu menari-nari di permukaan kulit lehernya."Tapi aku harus bekerja.""Aku tak peduli." Jawab Aiden sekenanya.Savana mencoba melepaskan tangan pria itu yang melilitti pinggang rampingnya. "Ck! Aku ingin ke kamar mandi!" Kesalnya.Aide
"Anak itu! Di kasih kebebasan malah seenaknya!" Gerutu pria paruh baya yang usianya hampir 50 tahun itu."Sudahlah Delio, jangan menjadi ayah yang kolot." Sang istri dengan lembut mencoba menenangkan suaminya.Mereka adalah orang tua Savana. Wanita yang sekarang bersanding dengan Delio adalah ibu tirinya, Anggun.Delio menghela nafas kasar, "dia putri ku satu-satunya, meskipun sangat menyebalkan dan membangkang tapi dia tetap putri ku." Lirih Delio dengan raut wajah Sendu.Sudah lama sekali putrinya tidak pulang ke rumah, bertemu juga jarang, meskipun berpapasan putrinya akan pura-pura tak mengenalinya. Mungkin ia salah mendidik putrinya dengan segala aturannya. Tidak-tidak, Delio bukan tipe ayah yang putrinya harus dapat nilai sempurna.Ia hanya ingin putrinya menurut dan terus bergantung kepadanya. Dan Savana bertolak belakang dengan semua kemauannya, hingga sekarang putrinya itu masih setia berperang dingin dengannya."Aku bukannya berfikir kolot, aku hanya tak ingin putri ku di ca
Tok! Tok! Tok!"Masuk!"Digo memasuki ruangan Aiden dengan satu amplop coklat besar di tangannya. Melihat siapa yang masuk, Aiden beranjak dari kursi kebanggaannya. Lewat 2 hari selepas membicarakan tentang Delio Acrekama, Digo hilang entah kemana, tidak menghubunginya atau pun muncul di kantor."Bagaimana?" Digo menampilkan senyum lebarnya, "porsche warna biru tua, yang kemarin baru saja launching." Ucap Digo dengan mengedipkan sebelah matanya ke arah Aiden, kemudian ia meletakkan amplop coklat itu di meja kerja Aiden."Lupakan so'al traktir makannya, ah ya... isi dalam dokumen itu sangat lengkap, bahkan dari awal Delio mengembangkan bisnisnya hingga akhirnya menikah dengan mendiang ibunya Savana." Digo menjelaskannya dengan bangga, ia tak sabar bertemu dengan porsche718 impiannya.Aiden mengambil amplop coklat itu, lalu melihat isinya, "sepertinya kali ini kau tidak mengecewakan," Digo sedikit kaget dengan sanjungan dari Aiden yang sangat jarang sekali keluar dari mulut temannya it
"10 menit, cepat bicara!" Meskipun tidak di sambut dengan baik oleh Savana, Arka tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang di kasih oleh Savana."Jenni menjebak ku, sengaja. Dia menyuruh orang untuk mencampuri obat itu dengan minuman yang aku pesan. Begitu kejadiannya, jadi... " Arka menggantung ucapannya, bukannya menyia-nyiakan waktu, tapi ia bingung harus memulainya darimana."5 menit lagi." Sargah Savana cepat. Rasanya memuakkan mendengar penjelasan Arka."Aku ingin bersama mu lagi, menikah dan menghabiskan seluruh hidup ku dengan mu." Dengan lantang Arka mengucapkan isi hatinya yang sedari tadi bungkam.Rasanya Savana ingin tertawa dengan penjelasan Arka kali ini, "really? Anda sedang tak bercanda kan?" Sungguh dengan sikap sok keren dengan datang ke apartemennya seperti sekarang ini, sama sekali tidak membuat Savana tersentuh.Arka menatap sendu Savana, wanita yang dulu selalu bersikap santai kepadanya dan berkeluh kesah kepadanya, sekarang seolah tengah berbicara dengan orang asi
Setelah kepergian Arka, punggung Savana merosot ke bawah, terduduk di lantai yang dingin. Dengan kasar ia menghapus air matanya. Ia benci kepada pria pengecut dan egois. Ia benci pria yang bernama Arka, mungkin itu terjadi sejak hari ini saat pria itu datang ke apartemennya.Meskipun Savana membenci Jenni dan Arka. Tapi tidak dengan anak yang di kandung oleh Jenni, meskipun ia tak ada niatan untuk memiliki seorang anak dalam jangka waktu dekat, tapi jika tuhan memberinya maka ia akan menerimanya. Makanya Savana marah saat Arka membicarakan bayi tak bersalah itu seolah pria itu tak peduli."Argh!! Arka sialan!" ****Dengan tatapan kosong dan sebelah tangan menahan perut bagian bawah, Jenni terus melangkah kan kakinya yang entah mau kemana.Rencananya tidak begini, semuanya terjadi karena dia! pria gila dengan seribu kelicikannya. Jenni seperti boneka yang hanya menjadi pion pria itu. Jenni lelah, ia ingin berhenti dan menjalani hidup seperti biasanya."Hah... maafkan ibu sayang...."