Kota pahlawan benar-benar menjadi pahlawan untuk Sila. Tiga tahun tinggal di Surabaya mengobati Sila sepenuhnya. Rasa sakit akan kehilangan, dikhianati, tak di hargai dan tak pernah di anggap ada, kini hilang sepenuhnya.
Banyak hal baru yang Ia temukan disini, mulai dari teman, makanan hingga transportasi seperti bentor yang sangat Sila sukai.
Tempat ini menjadi ajang healing terbaik sepanjang hidupnya.
Lapar? Sila bisa memesan tahu campur yang dibawakan kang Maman di gerobaknya setiap sore.
Mau jalan-jalan? Sila bisa naik bentor kemanapun dirinya ingin pergi. Ngomong-ngomong soal bentor, bentuknya seperti becak hanya saja memakai mesin motor untuk berjalan.
Cuaca Surabaya yang panas menjadi sejuk saat hembusan angin menyapu lembut wajahnya yang duduk di bentor.
Bukan hanya itu, Sila juga menyukai bahasa mereka yang terkesan sopan. Kerap kali dirinya di panggil nduk oleh beberapa ibu-ibu tua disini. Tak jarang juga mereka menyapa Sila dan bercengkrama seakan Sila adalah keluarga mereka sendiri.
Ramah, baik, tidak mudah tersinggung dan sangat mudah bergaul. Itulah yang bisa Sila definisikan dari orang-orang yang tinggal di kota pahlawan ini. Lebih tepatnya mereka yang bermukim disekitar tempat kosnya.
Sederhana memang, namun membuat Sila bahagia.
Berbicara soal tempat tinggal. Sudah tiga tahun ini Sila tinggal di tempat kos khusus wanita yang tidak jauh dari kampus.
Satu bangunan yang berisi sembilan kamar itu telah penuh terisi, dan penghuninya pun memiliki sifat yang beragam.
Seperti kali ini, Puspita penghuni kamar sebelah yang se tembok dengan Sila memainkan musik sangat keras mengundang kaca kamarnya bergetar.
Sila terpaksa bangun dari tidurnya, memijat pelipis, memakai alas kaki dan bergegas keluar kamar.
"HEH, PUS!" Sila menggedor pintu sekuat tenaga, "WOY PUSPITA!!"
Sila berkacak pinggang, "tetangga yang satu ini emang ga ada akhlak," gumamnya kesal, "Lo ga keluar gue abisin selai kacang lo!"
Sontak saja, pintu terbuka menampakkan seorang gadis putih berbadan gempal dengan kedua mata sipit nya sedang tersenyum kala mendapati tetangganya naik pitam, "Kenapa toh, Sil. Marah-marah terus," gadis asal Surakarta ini nyengir tanpa dosa.
"Kuping gue budeg!" Geram Sila.
"Oh. Mau di anter ke THT?" Puspita dengan watadosnya.
Sila mengeratkan rahang, "hadoohh puspitaaaaa! Gue harus bilang berapa kali sih, hah?! Jangan kenceng-kenceng mainin musiknya. Kecilin nggak?!"
"Apanya?" Polos gadis itu.
YA TUHAAAANNN!!! "Musik lo! Kecilin!"
"Gabisa," katanya dengan menggaruk tengkuk polos. "Musik gabisa di kecilin, yang bisa di kecilin itu volume."
"Gue makan juga lu!" Sila menerobos masuk mematikan speaker hajatan yang dimiliki Puspita di kamarnya.
Meredanya suara itu mereda pula amarah Sila.
"Kenapa di matiin?" Kilat sedih tersirat dari netranya.
"Puspitaku tersayang," Sila berusaha lembut, pasalnya tetangganya yang satu ini berhati kapas, salah sentuh sedikit pasti nangis, "Musik lo bikin gue gabisa tidur, terlalu kenceng."
"Kan aku mau menjiwai, menyelamkan diri dalam musik."
Hoeek! Sila mau muntah dengernya, " iya, terserah lo mau nyelem ke musik kek, apa kek, tapi jangan keras-keras volume nya. Ya?" Ujarnya sehalus mungkin, "earphone yang kemarin gue beliin mana?"
"Putus."
"HAH?!?!" Sila ternganga. Sudah tujuh kali Sila membelikan earphone untuk Puspita namun semuanya berakhir dengan putus! Sila berusaha tersenyum lembut walaupun kesal setengah mati, "Puspitaku yang cantik, gue beliin lo earphone buat dengerin lagu, bukan buat di cemilin."
"Aku ga nyemil earphone," tuturnya lugu.
Ini mah lugu-lugu bangsat!
Sabar, Sil. Sabar, "Kenapa tiap gue kasih earphone selalu putus?"
"Ga sengaja ketarik," katanya.
Sila menekan pangkal hidung, "yaudah ntar lo minta tuan putri beliin lo earphone bluetooth."
"Emang Queena mau?" Netra kecilnya membulat antusias.
"Harus mau!" Baru saja Sila menyelesaikan ucapannya, yang di sebut Tuan Putri itu lewat di depan kamar Puspita, "Woy, Na!"
Namanya Queena, anak kos yang sama dengan mereka. Bedanya, Queena ini anak konglomerat. Sila tidak tahu kenapa anak orang kaya bisa nyasar ke kos-kosan jelek, tanpa AC, kamar sempit dan kasur lapuk seperti ini. Namun keberadaan Queena ini seringkali membantu mereka.
Sifat Queena yang baik, suka berbagi dan murah senyum tentu saja membuat semua orang suka kepadanya. Queena juga tidak pernah menolak permintaan teman-teman kosnya. Bahkan tak jarang Queena menanggung tunggakan kos Sila karena gadis itu masih belum memiliki uang untuk membayar.
Tapi bagi Sila, walaupun Queena baik dan suka menolong mereka, bukan berarti Sila menjadi sungkan atau tidak enak pada gadis itu. Sila biasa saja.
Pasalnya, selama ini Sila tidak pernah meminta apapun pada Queena, gadis itu sendiri yang selalu berinisiatif membantu Sila.
Terimakasih, iya. Tapi Sila tidak mau mem-budak dan meratu-ratukan Queena seperti yang lain.
Anggap saja rejeki anak sholehah.
Selain itu, Sila menyebut Queena sebagai tuan Putri bukan tanpa alasan. Gadis itu sangat bergantung kepada kaum adam. Seperti Ia tidak bisa hidup tanpa laki-laki. Apapun keputusan yang akan diambil, Queena selalu rundingan dengan ayahnya, tak cukup sampai disitu Queena juga berunding dengan dua kakak laki-laki nya, satu adik laki-laki, tiga sepupu laki-laki dan beberapa teman dekat laki-lakinya.
Sungguh menyusahkan. Namun, jika hal itu tidak di lakukan, maka Queena akan resah dengan keputusan yang diambilnya.
Semacam Sindrom Cinderella complex. Seperti itu.
"Ada apa Sil?" Queena mendekat. Wangi surainya yang tergerai menandakan bahwa gadis itu baru pulang dari salon. Sila mengetahui hal ini karena sejak seminggu yang lalu Queena sibuk telpon, berunding dengan para lelakinya untuk sekedar bertanya 'harusnya aku kesalon nggak ya?'
Queena menatap Sila dan Puspita bergantian, "kalian pasti berantem gara-gara suara musik lagi ya?" Kekeh Queena dengan menutupi sebagian mulutnya.
Gadis cantik itu menyerahkan earphone bluetooth pada Puspita, "nih buat kamu," Ujarnya, "tadi dari salon aku sekalian ke mall beliin itu buat kamu. Semoga kamu suka ya."
Netra Puspita berkilat senang, "Aah Queenaaa, terimakasihh yaaa," gadis itu menghambur ke pelukan tuan putri.
Sila mengendus nafas lega dengan kedua tangan terlipat di dada, "baguslah," gumamnya dan berlalu keluar.
*
*
*
Mahasiswi kuda-kuda, kuliah-dagang-kuliah-dagang. Itulah kata yang pantas untuk menggambarkan seorang Prisila Ananta. Bahkan Sila terkenal sebagai 'mbak-mbak yang kalau dagang suka maksa'
Gadis itu tidak peduli dengan julukan dari mereka, toh memang benar, Sila suka sedikit memaksa. Maklum, Sila bukan seperti kebanyakan mahasiswa yang mendapatkan uang jajan dari orang tua.
Sejak kedatangannya ke Surabaya hingga kini, Sila menghidupi dirinya sendiri. Ayah tidak pernah mengiriminya uang.
Kadang Raka masih suka chat Sila dan bertanya, kak Sila ada uang nggak? Raka ada rejeki lebih nih. Bagi nomor rekening dong.
Tapi tentu saja, Sila menolak niat baik Raka secara halus. Walaupun keadaan memang membutuhkan namun Sila enggan meminta uang pada adiknya sendiri. Bahkan sampai detik ini Raka tidak tahu berapa nomor rekening kakaknya.
Gengsi. Sila yang sulung, seharusnya Ia menghidupi adiknya yang bungsu.
Sabar, semua hanya soal waktu. Kelak Sila akan sukses dan bisa memberi nafkah pada adik serta keluarganya.
Bicara soal keluarga, selama tiga tahun ini Sila tidak pernah pulang. Sesekali Ia menelpon ibunya. Saat dirinya hendak bicara dengan ayah, lelaki itu selalu saja menolak dengan berbagai alasan.
Ayah juga tidak pernah tanya bagaimana kabar Sila, walaupun Sila selalu mengkhawatirkan lelaki itu.
Ayah juga tidak pernah peduli, Sila tinggal dimana dan apakah ada makanan untuk dimakan hari ini, padahal Sila ada di kampus untuk menuntut ilmu agar bisa membanggakan dan menafkahi mereka kelak.
Mungkin luka yang Sila berikan pada Ayah cukup dalam. Tak salah, jika beliau memperlakukan Sila seperti ini.
Kali ini Sila hanya ingin membuktikan, bahwa dirinya bisa hidup dengan kaki dan tangannya sendiri, dirinya juga bisa berjuang sendiri untuk membahagiakan keluarganya.
Ya, Sila yakin, dirinya pasti mampu.
Gadis itu menekan ujung mata yang hendak mengeluarkan air. Mengingat tentang keluarga membuat hatinya perih .
Mereka yang seharusnya menjadi support system justru membuang Sila seakan tak peduli dengannya.
Sila hidup atau mati, siapa yang peduli?
Siang ini, di taman kampus, Sila mengerjakan tugas dengan laptop keberuntungan yang Ia punya.
Sila menamakannya laptop keberuntungan karena dirinya mendapatkan doorprize saat acara gerak jalan ulang tahun kampus yang diadakan waktu ia masih menjadi mahasiswa baru.
Saat tengah asik dengan tugasnya, atensi Sila teralih pada seseorang yang duduk di depannya.
"Kenapa, Wan?" Sila merespon adik tingkatnya sekilas dan kembali menatap laptop.
"Mbak Sila tau aja lagi diliatin," ujar Wanda, "basreng yang aku pesen kemarin, ada nggak mbak?"
Nah, duit. Sila mendongak penuh, "ya ada lah. Lo pesen lima kan?" Ujarnya sembari meraih tas jinjing berisi dagangan yang Ia letakkan disamping.
Wanda mengangguk.
"Gue ada tujuh," Sila mengeluarkan semua basreng yang Ia punya, "ambil semua aja lah. Besok belum tentu ready loh." Jurus dagang Sila keluar.
Gadis itu tampak berpikir.
"Nih, makaroni pedes nya juga ada. Ada bakso Aci juga, beeuh ini enak banget. Buatnya cuma lima menit doang." Sila mulai mengeluarkan semua jualannya.
"Ada bakso Aci, mbak?" Wanda antusias, "Dita!! ada bakso Aci!" Teriaknya pada temannya yang duduk di area kolam.
Sontak saja dagangan Sila diserbu adik tingkatnya yang mendengarkan seruan tadi. Dalam waktu lima menit, semua dagangan Sila yang serba pedas itu ludes tak tersisa. Bahkan beberapa dari mereka memesan lagi untuk besok, Sila tak segan untuk mencatat semua pesanan mereka.
Setelah para gadis-gadis itu pergi. Sila melipat tas jinjing kainnya dan memasukannya kedalam ransel dengan senyum mengembang.
Di kota pahlawan ini, Sila juga belajar, bahwa sekecil apapun nominal uang yang kita dapatkan dari kerja keras sendiri ternyata sangat membanggakan.
* * *
Aroma daging berpadu dengan lada hitam menggugah penciuman Sila. Langkahnya menuruni tangga langsung tertuju ke dapur.
Alisnya mengerut kala menemukan Puspita yang sibuk di depan kompor, "tumben masak," Sila berdiri di samping Puspita.
"Ada abangnya Queena dateng, aku siapin makan malam," ujarnya sembari mengaduk isi panci.
Sila menyadar tembok, "jadi ceritanya berusaha ngerayu, nih?"
Puspita senyum-senyum.
"Emang lo masakin apa aja?" Sila penasaran.
"Tumis kangkung, daging lada hitam, sambal matah, orek tempe, tahu bacem, balado telur, ayam..."
Sila baru menyadari meja makan yang penuh makanan, "Lo mau buka warteg? Banyak banget."
"Kata Queena, mas Abraham suka sama cewek yang bisa masak. Jadi aku sengaja masak banyak." Puspita sangat optimis.
Dari penampilan, masakan Puspita cukup menggoda, tapi entah dengan rasanya, "Good luck." Sila menepuk pundak Puspita sekali lantas keluar dari dapur dan melanjutkan niat awalnya untuk mencari makanan di luar.
Nasi goreng abang-abang yang pedes kayaknya mantep, tuh.
Ngomong-ngomong soal Abraham, dia adalah salah satu kakak Queena yang paling sering berkunjung ke kosan. Tampan, mapan, rupawan dan dewasa, empat kata itu cukup menggambarkan lelaki berdarah Italia itu.
Wajahnya sebelas dua belas dengan Queena, hanya saja hidung Abraham lebih runcing dan rambutnya yang kecoklatan.
Banyak cewek-cewek kos yang menyukai Abraham, Puspita salah satunya.
Kalau sudah mendengar Abraham akan datang, kos yang awalnya berantakan jadi rapih. Cewek-cewek yang jarang mandi jadi wangi, dan kamar yang jarang dibersihkan pun jadi kinclong.
The power of Abraham.
Sila akui ketampanan Abraham dapat memikat semua kaum hawa. Tapi, mengingat Sila yang sudah tidak percaya lagi dengan kaum Adam dan segala bualannya membuat gadis itu menjadi salah satu penghuni kos yang tidak peduli dengan Abraham.
Di kosan ini, selain Sila ada juga yang tidak tertarik dengan Abraham, yaitu Nisa dan Syelma.
Walaupun waktu telah berganti, namun Sila tetap sama. Dia gadis cuek yang tidak peduli sekitar, tidak pandang bulu dalam berteman, dan selalu humble pada semua orang yang baik padanya.
Sederhananya, jika dirinya diperlakukan baik, maka Ia akan memperlakukan baik orang tersebut. Namun jika dirinya ditendang, Sila tidak segan-segan untuk menendangnya balik.
Begitulah Prisila Ananta.
Langkahnya terhenti di ruang tamu saat Abraham menyapanya.
"Hai, Sila. Apa kabar?" Suaranya saja cukup menggetarkan jiwa, apalagi wajahnya.
Tidak tersenyum, Sila hanya mengangguk, "seperti yang lo lihat, gue baik." Tak perlu basa-basi pakai aku-kamu. Karena Queena dan keluarganya berasal dari ibukota.
"Mau kemana malem-malem begini?" Sila yang hendak melangkah terhenti lagi.
"Keluar bentar."
"Gue anter ya?" Tawar lelaki itu.
Sila mengedarkan pandangan pada beberapa gadis yang memandangnya menusuk, namun Sila tidak peduli, "gausah, makasih."
Gadis itu merapatkan jaketnya sembari menyusuri jalanan.
Sila suka melihat Surabaya saat malam. Gedung pencakar langit, mobil dan sepeda berlalu lalang, jalanan yang ramai, dan yang paling penting banyak sekali orang jualan makanan di trotoar.
Mereka siap memanjakan lidah dan mengisi perut Sila.
Gadis itu memutuskan untuk berhenti di salah satu gerobak nasi goreng yang terletak tak jauh dari dirinya berdiri. Antreannya tidak terlalu ramai, jadi Sila tidak perlu menunggu lama untuk memesan.
Ia berdiri di dekat gerobak, bau telur yang bercampur dengan minyak panas membuat Sila meneguk salivanya bulat-bulat.
"Dia cakep banget. Aku ga nyesel milih sekolah yang samaan sama dia," Sila mendengar percakapan dua remaja yang berada di sampingnya. Mereka sama seperti Sila, menunggu pesanan nasi goreng.
"Dari SMP udah banyak banget yang suka sama dia," gadis sebelahnya menimpali dengan wajah malas.
"Ya jelas lah, wajahnya cakep, rambutnya rapi, senyumnya manis, terus yang paling penting, bau parfum nya itu bau parfum mahal," gadis itu menekankan ucapan di akhir kalimat.
Gadis di sebelahnya tidak menanggapi curhatan temannya. Tangannya terulur menerima kantung plastik bungkusan nasi goreng dari sang penjual.
"Makasih pak," ujarnya saat menerima kembalian. Dua gadis itupun pergi.
Sang Abang penjual nasi goreng hanya geleng-geleng kepala, "anak jaman sekarang. Yang dipikirin itu masalah pacar aja. Emang ga punya masa depan apa?" Ujarnya medok Jawa.
Sila terkekeh menanggapi, "biasa pak, masih anak-anak. Belum tau kerasnya jadi dewasa."
Abang itu mencebik, "heran saya, nduk. Lagian bau parfum mahal itu kayak gimana sih?"
"Bau pertalite." Jawab Sila asal. Dirinya juga tidak tau bau parfum mahal. Parfum yang Sila beli berharga duapuluh ribu. Banyak dijual di minimarket.
Abang itu terkekeh kecil. Baginya ucapan Sila tidak salah, memang pertalite mahal.
Setelah berbincang dan nasi gorengnya matang, Sila kembali menyusuri jalan pulang.
Tiba di kosan, netra nya menemukan Abraham yang tengah menikmati masakan Puspita.
"Rasanya gimana, kak?" Puspita mengerling cantik.
Abraham tersenyum tipis, "enak. Terimakasih, ya udah repot-repot masak sebanyak ini."
"Ga repot kok, kak. Udah biasa."
Sila mau jungkir balik mendengar jawaban Puspita. Sudah biasa? Iya, biasa masak Mie instan.
Cara cewek dapetin cowok emang macem-macem, ya. Ujung-ujung nya kalau putus pasti nangis-nangis.
Ya. Cinta itu pembodohan bagi kaum wanita. Pem-bo-do-han.
"Sil, makan bareng yuk. Masakan Puspita enak lho," Queena menyapa Sila.
Gadis itu mengangkat kantung plastik di tangannya sembari tersenyum kecil, "gue udah ada ini. Kalian makan aja."
Dengan langkah lebar gadis itu berlalu ke kamar, tepat saat menutup pintu, ponsel di sakunya bergetar panjang.
Senyumnya tersungging saat membaca nama sang penelepon. Sila segera mengangkat panggilan.
"Selamat malam, orang paling sibuk sedunia," sapa Sila lebih dulu.
Diseberang sana lelaki itu tersenyum tipis, "nungguin ya?"
"Nggak," jawab Sila santai.
"Selalu ga mau ngechat duluan, nunggu gue yang ngechat lo dulu, ya kan?" Tebakannya benar, namun Sila tetap mengelak, "gengsi di gede in. Heran."
"Saldo rekening di gedein, tapi ga pernah jalan-jalan," balas Sila, "mau heran tapi ini Brandon. Motto idupnya kerja lembur bagai kuda."
Brandon terkekeh, "kangen kan?"
"Idih. Kangen? Sama lo? Gue masih waras, jadi ga mungkin," ucapnya sinis, namun bibirnya menyunggingkan senyum.
"Jahat banget," Brandon membuat lirih suaranya.
"Gapapa jahat, jaman sekarang udah ga musim orang baik,"
"Gimana kuliah lo?" Brandon mengalihkan topik.
"Sejauh ini baik, doain gue bisa lulus dengan IPK sempurna."
"Giat belajar ya, jangan dagang mulu. Kalau lo butuh uang dengan senang hati bakal gue transfer. Gue seneng banget kalau bisa bantu sahabat sendiri," tapi masalahnya, sampai detik ini Sila tidak pernah memberi nomor rekeningnya pada Brandon.
"Brandon, lo itu udah baik banget sama gue. Please jangan terlalu manjain gue. Nanti kalau akhirnya gue ketergantungan sama lo, gimana?" Ucapnya halus.
Brandon justru senang jika Sila bergantung padanya, meski beberapa tahun ini mereka berjarak, namun rasa Brandon pada Sila masih tetap sama. Ia mencintai gadis itu, "Lo itu gadis independen. Gue yakin seberapa banyak gue manjain lo, lo gabakal ketergantungan ke gue."
Sila menghembuskan nafasnya, "kerjaan lo gimana?"
Di sana, Brandon memijat pelipisnya, "ini gue masih di kantor."
"Lembur lagi?"
"Hmm."
"Lo ga pengen mecat si manager keuangan lo itu? Jabatan lo tinggi, tapi kenapa kerjaan lo makin pusing begini?"
"Gue gabisa mecat tanpa bukti, Sil," kata Brandon.
"Tapi kan udah jelas banget, disitu ada pungli. Buktinya anggaran yang masuk dan anggaran yang keluar ga pernah sama. Selalu beda. Gue yakin ada manipulasi data disitu," Sila sudah tau tentang perusahaan Brandon yang tengah dilanda masalah. Manager keuangan dan administrasi yang Brandon pekerjakan rupanya tidak beres, beberapa uang raib entah kemana, setiap di tanya, mereka selalu memberikan bukti yang seakan nyata namun setelah di cek di lapangan ternyata ada korupsi disana.
"Lagian bagian keuangan ga cuma satu dua orang, Sil. Tapi tujuh. Gue harus buktiin dulu, yang mana yang korup. Baru bisa gue pecat terus cari orang lain," Brandon menjelaskan.
"Jadi untuk sementara ini lo sendiri yang kelola keuangan?" Jujur, Sila tidak tega membayangkan Brandon yang harus menghabiskan waktunya dengan kerja.
"Iya, daripada kantor rugi sampai 250 juta."
Sedikit kecewa, itu yang Sila rasakan. Jika Brandon sibuk, itu artinya Brandon tidak memiliki waktu untuk ke surabaya menjenguk dirinya sekedar dua hari setiap dua Minggu sekali, seperti biasanya.
"Semoga aja lo bisa cepet nemuin bukti, dan bisa mecat orang yang bersalah. Jadi lo ga perlu montang manting kayak gini." Ucapnya tulus
"Makasih, ya, Sil."
Kening Sila mengerut, "For what?"
"Walaupun lo gabisa nyelesain masalah gue, tapi lo selalu bisa nenangin gue."
Sila diam.
"Andai lo ada disini, mungkin gue ga akan se frustasi ini, Sil."
"Lo bisa telpon gue kapanpun. Mau call atau video call, pasti gue angkat. Ga ada kata sibuk buat lo." Setidaknya Sila harus selalu ada untuk Brandon sebagaimana lelaki itu yang selalu ada dalam keadaan Sila yang terpuruk sekalipun, "Ga pengen kesini? Nyamperin gue gitu."
"Banget! Gue udah kangen sama Surabaya." Lebih tepatnya, Ia rindu Sila.
"Semoga masalah di kantor cepet selesai. Gue janji, kalau lo kesini, gue ajak lo makan enak sampe puas."
Brandon terkekeh singkat, "Lo emang paling tau selera gue."
"Bukankah itu salah satu gunanya sahabat?"
Ah iya, sahabat. Brandon hampir lupa batasan itu.
* * *
bisa berikan dukungan agar cepat up.