Kejadian tadi siang masih menyisakan rasa penasaran di dalam hatiku. Kenapa dia seolah sengaja melakukan itu? Apa ada yang salah denganku? Lagi, hatiku bertanya, pasalnya wajahnya seperti pernah kutemui, namun entah dimana. Apa aku dejavu?
***
"Selamat sore mbak Clara, saya Agnes bagian personalia Love FM. Besok mbak ada waktu untuk interview?"
"Selamat sore, mbak. Ada mbak, kira-kira jam berapa ya mbak?" Tanyaku
"Jam 9 pagi mbak, langsung bertemu dengan pak Hisyam Prayuda selaku HRD ya, mbak." imbuhnya
"Baik, terima kasih." perbincangan pun berakhir dengan sebuah informasi bahwa besok aku akan langsung di interview dengan seorang HRD, itu artinya ini selangkah lebih maju. Tak kusangka, secepat ini progres map cokelat yang baru tadi siang kuberikan
***
Berbekal sedikit informasi dari internet seputar apa saja pertanyaan yang biasanya ditanyakan saat interview. Aku siap untuk menjawab semua pertanyaan dari mereka. Ini adalah kali pertama aku di interview sebuah perusahaan, karena jangankan di interview, berfikir untuk melamar ke sebuah perusahaan pun tak pernah terlintas dalam benakku. Masa mudaku kuhabiskan untuk berkeliling dunia, menikmati apa yang papa kerjakan untuk keluarga, kegiatanku tak pernah jauh dari sekolah, foya-foya dan menikmati dunia. Jujur, saat ini adalah saat paling menegangkan dalam perjalanan hidupku. Takut akan kegagalan dan akhirnya harus melamar lagi ke perusahaan lain pun menjadi rencana selanjutnya. Bukan hal mudah mencari pekerjaan di masa seperti ini, Negaraku baru saja bangkit setelah hampir tiga tahun melawan pandemi dan segala krisis ekonomi, banyak perusahaan yang terpaksa harus merumahkan karyawannya karena tak mampu lagi membayar upah mereka di tengah masa pandemi yang tak kunjung berhenti. Aku harus bersyukur, Love FM mau menerima lamaranku dan hari ini aku harus memberikan penampilan dan jawaban terbaik, tak mau aku sia-siakan kesempatan emas ini.
"Anak papa mana nih?" suara papa terdengar hingga ke kamarku, maklum, rumah ini hanya memiliki 2 kamar, dengan luas yang tidak begitu besar, suara papa dan mama yang sedang ngobrol di dapur bisa terdengar sampai ke kamarku. Gegas aku keluar menghampiri mereka.
"Cantik pisan euy anak mama." Goda mama saat melihatku keluar dari kamar. Hari ini aku mengenakan dress selutuh dengan warna mint blue dipadukan beberapa pita di bagian bawah dada hampir ke perut serta beberapa sentuhan renda bewarna putih di sekeliling tangan baju kanan dan kiriku, menambah kesan anggun yang luar biasa.
"Ehem... anak siapa dulu nih ma?" Sahut papa tak mau kalah.
Bisa dikatakan, tujuh puluh persen yang ada dalam diriku mengikut gen papa, bola mata cokelat, rambut bewarna cokelat dengan kesan keriting di ujungnya, ditambah kulit putih dan tinggi 168cm. Rasanya aku lebih cocok menjadi seorang bintang iklan daripada penyiar radio.. hehe
Belum lagi, semua perawatan terbaik dunia pernah singgah di kulit putihku, menjadikan kulitku nampak bercahaya, terawat dan pastinya sedap dipandang mata, apalagi kaum adam seperti Hamish yang semalam sengaja menggodaku dengan caranya.
"Ayuk ah pa, cepar antar Clara, Clara takut terlambat nih!" Bukan menjawab segala pujian yang lebih mirip godaan dari mama dan papa, aku justru bersungut-sungut membalas godaan mereka. Ini adalah kesempatan terbaikku. Kedisplinan merupakan hal penting yang selalu aku pelajari dari papa. Papa selalu tepat waktu dalam setiap acara. Papa selalu berpesan, bahwa kesuksesan seseorang tercermin dari kedisplinan yang ia terapkan.
***
"Silakan masuk mbak Clara, Anda sudah ditunggu oleh pak Hisyam Prayuda selaku ketua HRD PT. Love Cipta Musik Indonesia." Ajakan Agnes menuntunku menuju sebuah ruangan yang tidak begitu besar, namun tersusun apik dengan nuansa modern minimalis.
tok..tok..tok..
"Silakan masuk!" terdengar suara lelaki di dalam ruangan, yang kuyakin adalah Hisyam Prayuda.
"Permisi pak Hisyam, ini mbak Clara sudah hadir". Agnes masuk seraya aku yang masih mengikutinya sejak tadi.
"Oh ya. Silakan duduk. Kamu Agnes boleh kembali ke ruangan kamu. Ada kah pelamar lain yang hari ini akan aku interview? Tanyanya.
"Tidak pak."
"Baik, silakan keluar dan kembali bekerja."
Seketika sekujur tubuhku merasa dingin, Aku gugup. Aku tak terbiasa dengan keadaan seperti ini, semua pertanyaan serta jawaban yang aku hapal dari hasil berselancar di dunia maya seolah berputar di kepalaku, membuatku sedikit pusing, ruangan ini tidak begitu besar, dan suhu pendingin ruangan juga masih terbilang normal, namun seluruh ujung jariku terasa dingin. Sungguh, tak pernah aku membayangkan akan sampai di titik ini. Seorang Clara Putri Aditya, putri pengusaha terkaya di kota Padang akan melamar sebuah pekerjaan.
"Clara Putri Aditya, Apa yang membuat Anda ingin bekerja di radio ini, menjadi seorang penyiar? Kelihatannya Anda bukan gadis biasa." pertanyaan pertama sudah membuatku berkidik. Bagaimana pertanyaan berikutnya??
***
Jam menunjukkan hampir pukul 12 siang. Kurang lebih ada 15 pertanyaan yang ditanyakan olehnya, semua pertanyaan itu mengisyaratkan sebuah keraguan dalam diri Hisyam Prayuda. Melihat latar belakang pendidikanku, dimana aku dilahirkan dan melihat nama papa, tak jarang ia mengernyitkan dahi, seperti ada sesuatu yang ia ketahui tentangku. Tapi apakah mungkin ia kenal keluargaku? kenal dengan papa dan tau apa pekerjaan sebelumnya? Sialnya. Aku begitu polos menuliskan semua latar belakang pendidikanku tanpa pernah terfikir bahwa ini semua akan menimbulkan kecurigaan.
"Baiklah Clara, kamu saya terima. Saya senang dengan jawaban kamu. Selamat bekerja, semoga kamu nyaman bekerja disini. Semua hal tentang pekerjaan bisa kamu tanyakan pada Agnes."
"Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih telah memberikan kesempatan pada saya. Saya akan bekerja sebaik mungkin."
***
Senja menjelang, sudah sejak setengah jam lalu aku duduk di teras ini, menikmati angin sore menyapu wajahku, sesekali aku melihat anak anak bermain kelereng, meski hanya sebatas suara riuh yang aku dengar dari mereka, ku pastikan betapa bahagia dan seru permainan mereka. Aku menghabiskan masa kecilku bak tuan putri, dilayani, dimanja, jangankan bermain kelereng seperti mereka. Berkomunikasi dengan teman sebaya hanya bisa aku lalukan saat papa dan mama kumpul dengan kolega, itu pun jika diantara mereka ada yang membawa serta anaknya, tak pernah aku melewati masa kecilku sebahagia mereka, terlihat sederhana, tapi tawa riang mereka berhasil membuka memori masa kecilku yang ingin sekali ku ulang.
"Anak cantik kenapa melamun?" Mama datang membuyarkan lamunanku. Wangi susu cokelat dan pisang goreng menyeruak ke seluruh teras ini, tak terkecuali indra penciumanku.
"Eh.. mama, tau aja Clara lagi laper." Aku pun menyambut kedatangan mama dengan gerakan cepat mencomot satu pisang goreng yang sedari tadi mengganggu penciumanku.
"Mikirin apa, Sayang?"
"Enggak ada, Ma." Aku menjawab pertanyaan mama sambil terus menikmati pisang goreng ini. sesekali menyeruput susu cokelat panas yang berangsur dingin, mama memang tau apa isi hatiku saat ini.
"Clara lagi mikir, Ma. Kalau nanti Clara sudah mulai kerja, Clara naik apa ya, Ma? Naik angkot?"
"Oh itu toh yang buat anak mama melamun, tenang aja, mama dan papa udah memikirkan itu semua dengan matang. Besok kamu naik sepeda motor aja ya, kalau naik angkot takut kamu telat." Lagi, jawaban mama selalu tenang, dan ketenangan itu membuatku penasaran.
"Sepeda motor kita cuma satu, Ma. Kalau Clara naik sepeda motor, nanti papa gimana?"
"Tenang sayang..lupa ya kamu punya papa yang hebat!"
Ya. Aku harus akui, papa selalu berfikir jauh ke depan. Bahkan untuk hal-hal sepele yang jarang orang fikirkan. Papa dan mama telah membeli sepeda motor bekas untukku, agar aku lebih mudah menuju tempat kerja yang baru.
***
"Selamat pagi cantik, sudah siap untuk training hari ini?" Sapaan yang aku anggap godaan. Lagi, dari dia yang dua hari lalu sengaja menyenggolku.
"Siap Inshaa Allah"
"Good, gitu dong. Udah cantik, religius lagi"
Ternyata pagi ini jadwalku training bersama pria ini, pria berjambang tipis, yang kutemui dua hari lalu. Kegiatanku selama sebulan ialah mendampingi semua penyiar sembari aku mempelajari SOP apa saja, serta bagaimana teknis menggunakan segala alat yang ada di ruang studio, mulai dari microphone, layar untuk streaming, mixer dan tentunya aplikasi yang digunakan untuk memutar lagu permintaan pendengar.
"Kamu bidadari atau manusia sih? Cantik banget, biasanya nih ya, cewek cewek kayak kamu dikenal sebagai anak pengusaha atau anak dari orang terkaya, jarang sih ada cewek secantik kamu yang melamar disini, baru kamu deh!" Celoteh Hamish.
Namanya Hamish Angga Prayuda. Aku lihat nama itu di tanda pengenal yang ia pakai hari ini. Gawat nih, kalau aku terus-terusan barengan sama dia. Bisa bisa semua informasi tentangku dibongkarnya. Dari hasil pengamatannya tak ada yang salah. Semua benar, hanya saja keadaan tak seperti dulu. Kali ini aku harus banyak bungkam daripada harus menjawabi semua pertanyaan sumbangnya.
"Eh, cantik cantik kok budek sih? atau kamu sakit gigi ya? makanya gak jawab pertanyaan aku?" Dia masih berusaha mengorek data diriku.
"Enggak apa apa, masih grogi sedikit."
"Kenalin aku Hamish Angga Prayuda, panggil aja Yuda. Aku lebih suka dipanggil itu, kalau dipanggil Hamish kesannya ganteng banget, hahahaha." Kini celotehnya dibarengi tawa lebar.
"Ini anak, geer banget ya, sok kegantengan, siapa juga yang mau panggil dia Hamish, kalau bisa dipanggil kucing garong aja sekalian, habisnya genit banget dari kemarin." Jawabku dalam hati, sembari mengulas senyum padanya. Ih, kalau boleh menghilang, mending menghilang aja deh dari nih anak..tingkat geernya overload." gumamku dalam hati.
Dengan langkah gontai, aku keluar menemui Mama, Papa dan juga Hamish. Jantungku berdegup kencang, tapak kakiku seperti tidak menyentuh tanah. Sejauh ini Mama dan Papa sepertinya belum melihat foto itu, tapi ah ... bisa saja mereka sudah melihatnya karena Hamish yang memberitahu. Apapun itu, hatiku remuk, foto mesra Hamish dengan wanita lain melintas kembali dalam ingatanku. "Clara, selesaikan masalah kalian berdua, ya. Mama dan Papa keluar sebentar. Ini lah ujian pertama kalian, kalian harus ingat, yang namanya membina rumah tangga itu tidak segampang dan semanis yang kamu tonton di drakor-drakor kamu. Dua kepala, dua kebiasaan juga masa lalu kalian harus dapat diatasi bersama, bukan malah kabur-kaburan begini. Tidak akan selesai masalah jika kamu kabur." Nasehat Papa yang kali ini terasa menusuk hatiku, menyadarkan aku bahwa aku dan Hamish bukan lagi sedang pacaran, tetapi menikah. Pernikahan tidak bisa dibuat main-main. Pernikahan itu sakral! Hanya anggukan yang aku berikan dengan
Dengan langkah tergesa, Hamish melesat maju menuju area parkir rumah mereka. Bisa gila Hamish jika kesalahpahaman ini membuat rencana pernikahan mereka batal begitu saja. "Mau kemana Hamish?" tanya Melati pada anak kesayangannya yang terlihat tergesa. "Ada urusan sebentar, Ma." balas Danish dengan lambaian tangan tanda pamit dari Hamish yang Melati lihat dari kejauhan. tidak biasanya Hamish berlaku seperti ini. Apa ada sesuatu yang terjadi pada anak bungsunya itu? Dalam diam Melati melantunkan doa-doa kebaikan untuk sang putra. Semoga Tuhan senantiasa menjaganya. *** Hamish kini sudah berada di depan rumah Clara dan orang tuanya. Terlihat dengan jelas segala persiapan jelang pernikahan mereka telah banyak terjadi di rumah sang mempelai wanita. Hati Hamish teriris, ia meremas ponsel miliknya dalam genggaman. Bagaimana mungkin sudah sejauh ini persiapan pernikahannya dengan Calara harus kandas karena beberapa orang yang sengaja ingin menggagalkan. Hamish berjalan tergesa memasu
"Kamu mikirin apa, Clara?" Suara Mama terdengar mendekat ke arahku. Kini, wanita paling kucinta itu telah duduk di sampingku. "Enggak ada kok, Ma," jawabku memelas. Mana mungkin aku bisa berbohong dari Mama. Mataku kosong menatap lurus. Aku masih bertanya-tanya perihal ketidaktahuan Hisyam akan rencana pernikahanku dan Hamish, terlebih dengan rencana kepulangan orangtuanya hari ini. "Ma, apakah tidak aneh jika salah seorang anggota keluarga tidak mengetahui ada agenda besar yang akan dilakukan oleh keluarganya sendiri?" tanyaku memulai pembicaraan. "Sudah Mama duga, kamu pasti memikirkan hal itu. Mama paham kenapa kamu kepikiran, apalagi melihat kedekatan Hisyam ke kamu beberapa bulan lalu." Aku mengangguk setuju. Mama paling paham apa yang aku rasakan. Dengan lembut Mama membelai kepala dan rambutku, "Jodoh, maut dan rejeki sudah Allah atur sedemikian rupa, Clara. Keluarga Yudha juga tahu kok kalau Hisyam memiliki rasa padamu. Namun, yang terpenting saat ini adalah kesembuhan H
POV : Hisyam dan Amel"Aku enggak akan ngebiarin Clara dan Hamish bersatu," seru Hisyam dengan tangannya yang mengepal, memandang ke arah luar dari balik jendela kaca."Kamu gila ya, Syam?" tanya Amel yang siang ini datang ke ruangan Hisyam atas permintaan Hisyam. "Aku serius, Mel. Kalau dulu rencana kita sempat gagal menjauhkan Clara dan Hamish, kali ini aku gak mau gagal lagi. Segala cara harus kita coba!" "Aku enggak ikut-ikutan ya, Syam. Kamu enggak mikir gimana keadaan Hamish? Keadaan Hamish lah yang terpenting.""Aku enggak peduli, sejak Ibuku meninggal, Mama dan Ayah tidak pernah menuruti apa yang Aku mau, tapi kalau Hamish? ha! semua yang diinginkan anak itu langsung dikabulkan. Ini enggak adil, Mel. Enggak adil!" bentaknya."Ini artinya kamu enggak benar-benar mencintai Clara, Syam. Kamu hanya dendam pada Hamish. Lagi pula bukan salah Hamish kalau Mama dan Ayah kamu menuruti semua maunya, kamu ada di posisi enak seperti sekarang juga pasti setelah melewati banyak pertimbang
Kabar pernikahan Hamish dengan Clara terdengar santer hingga ke Medan dan seluruh karyawan, penyiar LOVE FM. Tidak terkecuali Hisyam. Beberapa teman sesama penyiar di LOVE FM memberikan ucapan kepadaku, salah satunya kak Amel. Meski ia sudah tidak lagi bekerja di LOVE FM. Banyak teman-teman yang tetap saling bertukar kabar guna tetap terjalin silaturahim. "Selamat ya Clara. Akhirnya cinta kalian bersatu. Aku senang sekali mendengarnya. Semoga apa yang kalian citakan dapat terwujud." Pesan singkat itu mendarat ke ponselku pagi ini juga ucapan selamat dari teman-teman lainnya, memenuhi aplikasi berlogo hijau besutan Kanada ini. Diantara semua pesan yang masuk, ada sebuah pesan yang mengusik pikiranku. "Clara. Aku tahu keputusan kamu atas permintaan Papa dan Mama. Bagaimanapun juga, aku akan tetap menunggumu. Mengharapkanmu." Pesan dari nomor Hisyam tertera jelas. Apa yang sebenarnya ingin dia dapatkan? bukankah lebih penting kesehatan adiknya sendiri? ***"Clara, Mama senang sekal
Makan siang kami berjalan dalam kebisuan, aku lebih memilih menuntaskan makan siangku dengan segera tanpa banyak bicara. Sebuah pesan masuk, terlihat nama Mama tertera sebagai pengirimnya. Gegas aku membacanya, mungkin ada kaitannya dengan kabar Hamish, semoga."Hamish sudah siuman, dia ingin bertemu denganmu."Sebuah kalimat istimewa yang kutunggu sejak tadi. "Hamish sudah siuman," ucapku pada Hisyam disambut dengan ekspresi terkejutnya. Aku melambaikan tangan tanda untuk pelayan agar membawakan bill-nya untuk kami. ***Tidak ada lagi Mama, Papa serta orangtua Hamish yang berdiri di luar ruang UGD. Mereka pasti sudah berkumpul dan bertemu Hamish. Di ruangan UGD dengan kapasitas hanya untuk tiga orang saja aku melihat Hamish tergeletak di atas dipan rumah sakit dengan wajah yang lebih segar, tidak lagi pucat seperti tadi. "Clara, Hamish sudah siuman, Alhamdulillah," ucap Tante Melati.Dengan mata berbinar, kuhampiri Hamish yang tersenyum padaku."Abang harus kuat, ya. Abang harus
Kealpaanku menatap Hamish yang sedari tadi mencoba mendekatiku ternyata mengikis rasa empatiku, aku lupa penyakit ini sangat mematikan, aku panik, gerakanku semakin tidak beraturan mengarah menuju pintu memanggil siapa saja yang bisa dimintai pertolongan. Kali ini aku tidak boleh kehilangan Hamish. Aku mencintainya."Bang, Kak! Bisa tolong panggil ambulance? tolong cepat, Kak!" titahku Hisyam terlihat panik namun tetap menjaga kewarasannya dan meminta kayu putih dariku untuk membantu Hamish agar segera sadar, setelah beberapa kali minyak beraroma eucalytups itu di usap usap pada kepala dan hidungnya namun tak kunjung membuahkan hasil, akhirnya Hisyam memintaku membantunya membawa tubuh Hamish naik ke atas sofa yang ada di ruangannya.Tidak butuh waktu lama, beberapa perawat ditambah beberapa karyawan masuk ke ruangan Hisyam membawa Hamish untuk di letakkan di atas dipan ambulance. ***Hisyam memintaku menemani Hamish selama di dalam ambulance menuju rumah sakit. Hisyam memilih untuk
[Everybody knew you're lier, everybody knew you're player, everybody knew you're never serious..]"Clara, yuk opening!" Mas Bagas menghentikan lamunanku, aku sampai tidak sadar satu lagu yang dibawakan Citra Skolastika jebolan pencarian bakat di salah satu stasiun tv swasta telah habis diperdengarkan sebagai satu tembang pembuka acaraku hari ini."104,2 Love FM, musiknya bikin kamu jatuh cinta. Balik lagi sobat Love bareng aku Clara yang akan nemenin siang harinya kamu dengan lagu - lagu cinta terbaik di Indonesia."Setelah membuka segmen acara siang ini, aku meminta Mas Bagas untuk memutarkan beberapa lagu, sebuah panggilan masuk dengan nama seseorang yang tak kusangka dia akan menghubungiku siang ini. Apakah kegelisahanku tadi malam sampai kepadanya? Aku permisi dengan Mas Bagas lalu keluar untuk menjawab panggilan ini."Assalamualaikum.." ucap Hamish di ujung sana. Aku masih diam terpaku sejenak menetralisir debaran hati, mencoba bersikap seolah tidak mengetahui apapun kebohonganny
Pertanyaan yang aku ajukan pada Hisyam tidak mendapatkan jawaban, hingga sampai di parkiran gedung Love FM Hisyam masih membisu dan beberapa kali mengalihkan pertanyaanku dengan hal lain. Aku juga tidak berusaha untuk bertanya lebih apalagi memaksa, bagiku seseorang mau menjawab atau tidak adalah hak yang tidak bisa aku paksakan meski sebenarnya aku ingin sekali mendengar fakta sebenarnya.Kulajukan sepeda motor matic ini dengan lambat, perjalanan pulang memerlukan atensi ekstra karena jarak pandang tidak sejelas siang hari, ditambah minus pada mataku sepertinya semakin parah faktor kecapean dan stres karena kini setiap Sabtu dan Minggu aku mengambil kelas karyawan di salah satu universitas swasta setelah pulang kantor. Dari kaca spion motor matic ini dapat ku lihat mobil Hisyam yang selalu menemaniku melewati jalanan yang mulai sepi, dia menepati janjinya..Aku berhenti di sebuah rumah tipe 36 dengan pagar setengah badan bewarna hitam, ku matikan motorku lalu bergerak membuka pagar n