Clara, seorang anak pengusaha yang harus memulai hidup baru menjadi seorang penyiar radio di Radio Cinta usai sang Papa mengalami kebangkrutan. Siapa yang menyangka, kebangkrutan itu menjadi kilas balik bagi keluarga Clara untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, juga mempertemukannya dengan Hisyam dan Hamish, dua bersaudara yang memiliki kepribadian berbeda. Pertemuan Hisyam dan Hamish dengan Clara ternyata bukanlah pertemuan cinta biasa, ada banyak konflik dan rahasia di dalamnya. Bagaimana kelanjutannya? Apakah rahasia ini berkaitan dengan kisah romansa yang tercipta? Baca yuk "Kamu dan Aku di Radio Cinta"
View More"Jika hidupmu tidak semulus yang kamu inginkan, mungkin Tuhan ingin kamu berjuang lebih dari ini."
***
"Apa? Tidak mungkin ini bisa terjadi, coba cek kembali semua berkas yang ada!" titah Aditya Kesuma Agung, ayah Clara.
Kebangkrutan yang terjadi di perusahaan membuat hidup seolah berbalik 360 derajat. Bagaimana bisa perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 2000an itu harus kandas dalam waktu singkat. Papa tertipu oleh salah seorang investor asing, tergiur dengan nominal keuntungan, papa tidak berfikir panjang untuk mengambil tawaran kerjasama. Alhasil, untung tak dapat diraih, buntung tak dapat ditolak. Investor asing telah bekerjasama dengan aparat dalam negeri setempat, dan ini bukanlah aksinya yang pertama, pantas papa mudah terperangkap jeratan muslihatnya.
"Clara, terpaksa Mama dan Papa tidak bisa melanjutkan studimu, bahkan rumah ini juga akan tergadai, Nak. Kita harus pindah dari sini." Ucapan Mama kali ini berhasil membuatku terperangah. Bagaimana bisa semua aset hingga tabungan Papa juga habis tak tersisa. Ternyata investor asing yang menipu papa dan perusahaanya tidak hanya satu. Mereka bersekongkol terlihat seperti dua investor yang berbeda. Dan kali ini semua benar-benar tidak dapat diselamatkan.
"Kita mau kemana setelah ini, Ma, Pa?" sebisa mungkin aku bersikap tenang, karena apapun yang terjadi pasti memiliki jalan keluarnya sendiri.
"Kita akan ngontrak di sebuah kota yang jauh, Papa gak sanggup menahan malu saat ditanya oleh keluarga besar. Dengan kita pergi jauh dari sini, tidak ada yang mengenal kita, kita bisa hidup normal memulai semuanya dari nol lagi." Papa menjawab pertanyaanku sambil tertunduk menahan malu. Wajah menyesal papa terlihat jelas di depan mata, sambil terus mengacak rambut serta membongkar semua file yang ada, memastikan masih ada sisa harta yang kami punya.
***
"Silakan masuk, Pak, Bu. Inilah kondisi kontrakan saya, semoga Bapak dan Ibu betah ya." Sambutan hangat pemilik kontrakan baru mengubah sedikit suasana hati yang sudah seminggu dilanda kekeringan.
"Terima Kasih banyak, Mbak." Jawaban mama dengan sedikit senyuman terukir di ujung bibir.
Aku akui, meski Mama lahir dari keluarga terpandang, menikah dengan pengusaha besar, tidak membuat mama angkuh dan tinggi hati. Darinya aku belajar bagaimana tetap membumi, meski seperempat isi dunia telah ku jelajahi. Mama tampaknya tidak begitu frustasi menghadapi keadaan ini. Aku akui itulah sikap yang tepat untuk keadaan kami saat ini. Terlebih mama harus selalu menguatkan papa. Keadaan kami sungguh memprihatinkan, kedewasaan memaknai dan menjalani hidup menjadi poin penting, tak jarang di luar sana, dengan keadaan yang sama namun berakhir berbeda. Ada yang mengakhiri hidup sia-sia karena tak kuasa menahan malu, menatap dunia pun tak mampu.
" Clara, bantu mama beres-beres ya, Habis ini kita masak untuk makan siang."
"Iya, Ma."
Tatapan papa masih kosong, duduk di teras rumah dengan ukuran 6x6 ini. Menatap jalan sepi yang memang tak banyak lalu lalang di sini. Nampaknya perumahan ini tidak begitu ramai, bahkan ada beberapa unit rumah kosong tak berpenghuni, meski bangunan perumahaan ini terlihat masih baru, dengan sapuan cat yang masih cerah, tetap saja sebuah rumah tak berpenghuni menyisakan kesan sunyi. Akhirnya kami sekeluarga memilih tinggal di sebuah kecamatan kecil di Sumatera Utara. letaknya di pinggir kota besar. Akses menuju kota butuh waktu tiga puluh hingga empat puluh lima menit. Transportasi tidak begitu banyak melintasi daerah ini, menambah kesan sunyi namun damai karena suasana hijau dengan pepohonan rimbun masih berjejer di sekitar perumahan ini.
"Papa jangan sedih, Clara disini temani Papa dan Mama selalu, Clara akan cari kerjaan tambahan untuk kita." ku rengkuh punggung tangan papa, sesekali ku sapu air bening yang jatuh dari sudut matanya. Tak bisa aku pungkiri, seminggu ini papa sangat terpukul, pelukan hangat mama, kedewasaan mama serta kerelaan hatinya lah yang menopang hati papa yang rapuh.
"Papa mau minum apa? Clara buatin minum ya?" Ku peluk dengan hangat tubuh yang selama ini menemaniku, memberikan apapun yang aku mau, memanjakanku dengan seisi dunia. Kini aku lah yang harus memanjakannya.
"Papa mau minum teh manis dingin aja." Jawaban papa berhasil membuat sudut bibir ku merekah, kini wajahku tak henti memandanginya. "Tuhan, berilah kekuatan untuk kami. Kami yakin, semua tak lepas dari kuasaMU" Doaku lirih di dalam hati.
***
Dua pekan telah berlalu, Aku dan Mama membuka kios kecil di depan kontrakan sepetak ini, bermodalkan sisa tabungan yang ada, sekedar menyambung hidup sampai aku menemukan pekerjaan yang lebih baik. selama itu pula aku tak pernah mendengar mama mengeluh, kesabarannya berbuah manis, kini papa jauh lebih bersemangat. Setiap dua hari sekali papa akan pergi ke pasar untuk membeli barang apa saja yang sudah habis di kedai kecil kami. Kami menjual aneka jajanan, minuman ringan, sembako dan kebutuhan kering lainnya, Alhamdulillah semua berjalan lancar. semangat papa sudah kembali, bahkan papa sudah memiliki rencana apa saja kedepannya jika kami memiliki modal lebih besar lagi.
"Ma, ada lowongan kerja nih!" Jemariku lihai menunjuk ke salah satu kotak iklan di surat kabar yang aku beli tadi pagi, nampaknya aku sudah terbiasa mencari informasi lowongan kerja di semua surat kabar, hingga ketika melihat iklan lowongan kerja, mataku langsung tertuju kesana.
"Jadi penyiar radio? Apa kamu bisa, Nak?" Mama terlihat meragukanku, bukannya aku seorang mahasiswi semester lima jurusan Ilmu Komunikasi? Hal berat yang kami lalui nampaknya membuat mama melupakan itu.
"Ma, Clara kan mahasiswa ilmu komunikasi, apa mama lupa?" sahutku dengan tertawa lebar sontak membuat mama sadar ternyata gadis kecilnya sudah dewasa, sudah pintar menjawab kegundahan mama.
"Oh iya, Astagfirullah.. Mama lupa sayang. yaudah, kapan kamu mau antar lamarannya?"
"Besok, Ma. Inshaa Allah."
"Diantar papa ya besok. Anak papa harus dikawal nih, Ma." Suara papa terdengar dari depan pagar, papa baru selesai berbelanja kebutuhan kedai, sepertinya sedari tadi sudah di sana, menyimak obrolan dua wanita penting dalam hidupnya.
"iya dong. harus dikawal, entar kalau diculik gimana?" Tak mau kalah, seketika jawabanku mencairkan suasana kami bertiga. Ya, justru entah mengapa, keadaan kami yang baru membuat keluarga ini semakin hangat. Tidak seperti dulu, intensitas bertemu bisa di hitung hanya dengan sepuluh jari.
***
"Cantik banget sih anak gadis papa, pengusaha mana nih yang akan mempersuntingnya?" goda papa seketika membuat wajahku merona.
"Hahaha... papa ini bisa aja, belum mau nikah ah, masih muda gini."
"Kalau nanti ada yang godain kamu di tempat kerja, lapor papa ya, Clara." Ternyata godaan papa disambut baik oleh mama. Ah senang rasanya melihat keluarga ini. Ya Tuhan.. terima kasih Engkau masih berbaik hati pada kami. Terima kasih untuk pelajaran berharganya.
***
Setelah menempuh waktu perjalanan selama satu setengah jam, kini aku dan papa tiba di sebuah radio yang cukup ternama di kota ini.
"Selamat pagi, ada yang bisa di bantu pak?" sapaan petugas keamanan membuyarkan lamunanku tentang gedung berlantai empat ini.
"Mau antar surat lamaran pekerjaan, pak. Antar kemana ya?" Jawabku.
"Silakan mbak dan bapak masuk ya, lalu di dalam setelah pintu masuk, ada yang standby di sana, bagian personalia."
"Terima kasih, Pak"
Gegas aku dan papa masuk ke dalam gedung berlantai empat tempat di mana aku menaruh harapan besar di dalamnya. Bermodal instruksi petugas keamanaan, aku langsung menuju meja resepsionis untuk menyerahkan map cokelat yang kubawa.
"Eh maaf, sorry..sorry.. gak lihat ada cewek cantik duduk di sini." Permohonan maaf lelaki yang aku tau dia sengaja menyenggol kakiku yang sejak tadi diam saja. Setelah memberikan map cokelat ke bagian personalia yang berjaga di meja resepsionis, aku dan papa duduk di kursi tunggu.
Menggunakan blouse tangan panjang bewarna peach dengan bawahan rok plisket bewarna gradasi hitam dan abu, sepertinya dandananku menarik perhatian semua orang di sini sedari tadi. Salah satunya dia. Pria tinggi berkulit putih dengan jambang tipis di kanan dan kiri pipinya. Tampilannya sederhana, dengan jeans biru kaos abu. Sempurna untuknya karena kulit putihnya. Tapi.. kok attitudenya gak banget ya??
Dengan langkah gontai, aku keluar menemui Mama, Papa dan juga Hamish. Jantungku berdegup kencang, tapak kakiku seperti tidak menyentuh tanah. Sejauh ini Mama dan Papa sepertinya belum melihat foto itu, tapi ah ... bisa saja mereka sudah melihatnya karena Hamish yang memberitahu. Apapun itu, hatiku remuk, foto mesra Hamish dengan wanita lain melintas kembali dalam ingatanku. "Clara, selesaikan masalah kalian berdua, ya. Mama dan Papa keluar sebentar. Ini lah ujian pertama kalian, kalian harus ingat, yang namanya membina rumah tangga itu tidak segampang dan semanis yang kamu tonton di drakor-drakor kamu. Dua kepala, dua kebiasaan juga masa lalu kalian harus dapat diatasi bersama, bukan malah kabur-kaburan begini. Tidak akan selesai masalah jika kamu kabur." Nasehat Papa yang kali ini terasa menusuk hatiku, menyadarkan aku bahwa aku dan Hamish bukan lagi sedang pacaran, tetapi menikah. Pernikahan tidak bisa dibuat main-main. Pernikahan itu sakral! Hanya anggukan yang aku berikan dengan
Dengan langkah tergesa, Hamish melesat maju menuju area parkir rumah mereka. Bisa gila Hamish jika kesalahpahaman ini membuat rencana pernikahan mereka batal begitu saja. "Mau kemana Hamish?" tanya Melati pada anak kesayangannya yang terlihat tergesa. "Ada urusan sebentar, Ma." balas Danish dengan lambaian tangan tanda pamit dari Hamish yang Melati lihat dari kejauhan. tidak biasanya Hamish berlaku seperti ini. Apa ada sesuatu yang terjadi pada anak bungsunya itu? Dalam diam Melati melantunkan doa-doa kebaikan untuk sang putra. Semoga Tuhan senantiasa menjaganya. *** Hamish kini sudah berada di depan rumah Clara dan orang tuanya. Terlihat dengan jelas segala persiapan jelang pernikahan mereka telah banyak terjadi di rumah sang mempelai wanita. Hati Hamish teriris, ia meremas ponsel miliknya dalam genggaman. Bagaimana mungkin sudah sejauh ini persiapan pernikahannya dengan Calara harus kandas karena beberapa orang yang sengaja ingin menggagalkan. Hamish berjalan tergesa memasu
"Kamu mikirin apa, Clara?" Suara Mama terdengar mendekat ke arahku. Kini, wanita paling kucinta itu telah duduk di sampingku. "Enggak ada kok, Ma," jawabku memelas. Mana mungkin aku bisa berbohong dari Mama. Mataku kosong menatap lurus. Aku masih bertanya-tanya perihal ketidaktahuan Hisyam akan rencana pernikahanku dan Hamish, terlebih dengan rencana kepulangan orangtuanya hari ini. "Ma, apakah tidak aneh jika salah seorang anggota keluarga tidak mengetahui ada agenda besar yang akan dilakukan oleh keluarganya sendiri?" tanyaku memulai pembicaraan. "Sudah Mama duga, kamu pasti memikirkan hal itu. Mama paham kenapa kamu kepikiran, apalagi melihat kedekatan Hisyam ke kamu beberapa bulan lalu." Aku mengangguk setuju. Mama paling paham apa yang aku rasakan. Dengan lembut Mama membelai kepala dan rambutku, "Jodoh, maut dan rejeki sudah Allah atur sedemikian rupa, Clara. Keluarga Yudha juga tahu kok kalau Hisyam memiliki rasa padamu. Namun, yang terpenting saat ini adalah kesembuhan H
POV : Hisyam dan Amel"Aku enggak akan ngebiarin Clara dan Hamish bersatu," seru Hisyam dengan tangannya yang mengepal, memandang ke arah luar dari balik jendela kaca."Kamu gila ya, Syam?" tanya Amel yang siang ini datang ke ruangan Hisyam atas permintaan Hisyam. "Aku serius, Mel. Kalau dulu rencana kita sempat gagal menjauhkan Clara dan Hamish, kali ini aku gak mau gagal lagi. Segala cara harus kita coba!" "Aku enggak ikut-ikutan ya, Syam. Kamu enggak mikir gimana keadaan Hamish? Keadaan Hamish lah yang terpenting.""Aku enggak peduli, sejak Ibuku meninggal, Mama dan Ayah tidak pernah menuruti apa yang Aku mau, tapi kalau Hamish? ha! semua yang diinginkan anak itu langsung dikabulkan. Ini enggak adil, Mel. Enggak adil!" bentaknya."Ini artinya kamu enggak benar-benar mencintai Clara, Syam. Kamu hanya dendam pada Hamish. Lagi pula bukan salah Hamish kalau Mama dan Ayah kamu menuruti semua maunya, kamu ada di posisi enak seperti sekarang juga pasti setelah melewati banyak pertimbang
Kabar pernikahan Hamish dengan Clara terdengar santer hingga ke Medan dan seluruh karyawan, penyiar LOVE FM. Tidak terkecuali Hisyam. Beberapa teman sesama penyiar di LOVE FM memberikan ucapan kepadaku, salah satunya kak Amel. Meski ia sudah tidak lagi bekerja di LOVE FM. Banyak teman-teman yang tetap saling bertukar kabar guna tetap terjalin silaturahim. "Selamat ya Clara. Akhirnya cinta kalian bersatu. Aku senang sekali mendengarnya. Semoga apa yang kalian citakan dapat terwujud." Pesan singkat itu mendarat ke ponselku pagi ini juga ucapan selamat dari teman-teman lainnya, memenuhi aplikasi berlogo hijau besutan Kanada ini. Diantara semua pesan yang masuk, ada sebuah pesan yang mengusik pikiranku. "Clara. Aku tahu keputusan kamu atas permintaan Papa dan Mama. Bagaimanapun juga, aku akan tetap menunggumu. Mengharapkanmu." Pesan dari nomor Hisyam tertera jelas. Apa yang sebenarnya ingin dia dapatkan? bukankah lebih penting kesehatan adiknya sendiri? ***"Clara, Mama senang sekal
Makan siang kami berjalan dalam kebisuan, aku lebih memilih menuntaskan makan siangku dengan segera tanpa banyak bicara. Sebuah pesan masuk, terlihat nama Mama tertera sebagai pengirimnya. Gegas aku membacanya, mungkin ada kaitannya dengan kabar Hamish, semoga."Hamish sudah siuman, dia ingin bertemu denganmu."Sebuah kalimat istimewa yang kutunggu sejak tadi. "Hamish sudah siuman," ucapku pada Hisyam disambut dengan ekspresi terkejutnya. Aku melambaikan tangan tanda untuk pelayan agar membawakan bill-nya untuk kami. ***Tidak ada lagi Mama, Papa serta orangtua Hamish yang berdiri di luar ruang UGD. Mereka pasti sudah berkumpul dan bertemu Hamish. Di ruangan UGD dengan kapasitas hanya untuk tiga orang saja aku melihat Hamish tergeletak di atas dipan rumah sakit dengan wajah yang lebih segar, tidak lagi pucat seperti tadi. "Clara, Hamish sudah siuman, Alhamdulillah," ucap Tante Melati.Dengan mata berbinar, kuhampiri Hamish yang tersenyum padaku."Abang harus kuat, ya. Abang harus
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments