Part 9
"Maaf, apa anda melihat orang ini?" tanya lelaki berbadan tegap, seraya menyodorkan selembar foto. Foto perempuan yang menabrakku tadi.
"Emm, nggak!" jawabku tetap berusaha terlihat santai. Agar ia tak curiga.
"Maaf mengganggu. Kalau melihat orang ini, tolong segera hubungi nomor ini, karena akan mendapatkan imbalan!" ucap lelaki itu, seraya menyodorkan kartu nama. Segera aku menerimanya.
"Imbalannya apa?" tanyaku polos.
"Uang." jawabnya.
"Berapa?"
" Yang jelas banyak!" jawabnya.
"Owhh ... baiklah!" balasku. Lelaki berbadan tegap itu kemudian berlalu, aku lihat ia terus bertanya-tanya dan melakukan hal yang sama kepada semua orang yang ia lihat. Hemm ... siapa sebenarnya perempuan tadi?
"Terimakasih," ucap perempuan itu mendekatiku. Tadi ia bersembunyi di antara bangunan kosong. Aku mengedarkan pandang.
"Semua orang mencarimu, karena ada imbalan yang besar jika berhasil menemukanmu!" ucapku. Perempuan lusuh itu terlihat mengangguk.
Aku segera melepas cardigan yang aku pakai. Memberikan kepada perempuan itu.
"Pakai ini untuk menutupi wajahmu!" pintaku. Ia segera menerima dan mengangguk. Entahlah walau baru pertama kali ketemu, tapi aku merasa percaya dan kasihan melihatnya. Dalam hati ini merasa iba dan ingin membantunya. Karena raut wajah itu terlihat sangat ketakutan dan memang membutubkan pertolongan. Semoga aku tak salah menilai.
Aku melihat, perempuan itu munutupi wajahnya dengan cardigan yang aku berikan dengan tangan gemetar.
"Mau kemana?" tanyaku. Ia menggeleng, "Nggak tahu."
Kuhela napas panjang. Hidupku ini susah, tapi ada yang lebih susah lagi ternyata. Kuamati sekujur badannya. Badannya terlihat kurus, lusuh tak terawat.
"Mau ikut aku pulang?" tanyaku. Ia terlihat sedikit mengulas senyum, seolah senyum lega dan penuh harapan.
"Boleh?" tanyanya memastikan.
"Boleh aja. Tapi aku ikut tinggal bersama orang tuaku. Tapi rumahnya jelek," jelasku.
"Nggak apa-apa. Yang penting aku aman," ucapnya.
"Baiklah! Yok!" ajakku, ia terlihat mengangguk. Kami segera melangkah untuk pulang. Walau keadaanku ini susah, karena ulah Mas Bima, tapi tak ada salahnya menolong orang. Karena sifat manusia adalah saling membutuhkan dan saling tolong menolong. Tak akan bisa hidup sendiri-sendiri.
*********************
"Mak, Bah, bolehkan Ibu ini tinggal bersama kita?" tanyaku. Kami sudah sampai rumah Abah. Kebetulan Abah dan Emak sudah ada di rumah.
"Namamu siapa, Nak?" tanya Emak.
"Putri," jawabnya singkat.
"Kamu sudah menikah?" tanya Emak lagi. Ia terlihat mengangguk.
"Sudah, Bu. Tapi ...." perempuan itu terlihat menggantungkan ucapannya. Kemudian menunduk dan meneteskan air mata.
"Emm ... kalau susah jawabnya, tak usah di jawab," ucap Emak halus. Perempuan itu terlihat menunduk.
"Piye, Pak, boleh?" tanya Emak. Abah terlihat menghela napas panjang.
"Boleh aja. Tapi, kalau ada apa-apa, jangan libatkan kami. Kami hanya sekedar membantumu. Layaknya manusia, harus saling tolong menolong," jawab Abah.
"Saya janji, saya tak akan melibatkan kalian dalam masalah saya. Kalian sudah menolong saya saja, saya sudah bersyukur," ucap Perempuan bernama Putri itu.
"Kalau boleh kami tahu, kamu ada masalah apa?" tanya Abah. Perempuan itu terdiam dan menundukan pandang. Air matanya berjatuhan lagi.
"Kalau tak mau jawab juga tak apa-apa," ucap Abah. Mungkin tak enak hati dengan perempuan itu.
"Maaf, saya belum bisa bercerita," ucap perempuan itu.
"Yaudah, mandilah! Ukuran badanmu, hampir sama dengan Ratih. Kamu bisa ganti baju dengan baju anak saya!" titah Abah. Perempuan itu mengangguk.
"Tih, tunjukan kamar mandinya, dan siapkan baju ganti juga!" titah Emak.
"Iya, Mak!" balasku.
"Emak akan menyiapkan makanan!" ucap Emak dan aku mengangguk.
"Mari, Bu!" ajakku. Perempuan itu terlihat beranjak dan mengikuti langkahku.
"Ini handuknya dan itu kamar mandinya!" ucapku memberitahu.
"Makasih, ya, sudah menolongku!" ucapnya seraya menerima handuk yang aku berikan. Tangannya sudah tenang. Tak bergetar seperti tadi.
"Sama-sama," balasku seraya melempar senyum, yang mana senyun ini juga ia balas.
"Mandilah! Aku siapkan baju ganti di dalam kamar itu, ya! Habis mandi tanpa aku suruh, segeralah masuk ke kamar itu, bajunya aku letakan di ranjang!" ucapku. Ia terlihat mengangguk.
"Iya," balasnya. Segera ia beranjak ke kamar mandi, dan aku segera masuk ke kamar, untuk menyiapkan baju gantinya.
***************
"Nduk Putri, makan dulu!" titah Emak.
"Iya," balasnya. Nada suaranya terdengar sangat segan.
"Nggak usah malu-malu, anggap saja rumah sendiri! Makan lauk seadanyanya, ya!" ucap Emak.
"Iya, Bu! Makan saja, Ibu pasti laparkan?" tanyaku. Ia terlihat menyeringai. Setelah selesai mandi, badannya terlihat bersih, wajah cantiknya seketika terpancar.
"Temani makan, Tih! Mungkin malu!" bisik Emak. Aku segera mengangguk.
"Bu, yok kita makan barengan!" ajakku, segera duduk di kursi makan. Perempuan dengan sorot mata mencekung, terlihat sangat pucat itu mengangguk.
Ibu Putri terlihat mengikuti jejak langkahku. Ikut duduk di kursi makan. Dengan lauk seadanya. Ia segera aku ambilkan piring. Karena aku lihat ia masih segan.
"Mari makan!" ajakku seraya dengan nada suara lega, seolah tak ada masalah yang menimpa. Padahal masih nyesek perihal prahara rumah tanggaku.
Perempuan itu terlihat mengulas senyum, kemudian segera mengambil piring yang aku suguhkan dan mengisi makanan.
Ya Allah ... aku tak tahu siapa perempuan ini. Tapi aku yakin, perempuan ini adalah perempuan baik-baik, yang memang di percaya Allah, untuk sedikit membantu masalahnya.
Bismillah, semoga tak salah pilih orang. Karena aku yakin, berbuat baik kelak akan menuai kebaikan juga.
**************
Kami telah selesai makan. Perempuan itu masih diam. Raut wajahnya memancarkan kalau masalahnya cukuplah besar.
"Bu," sapaku. Perempuan itu menoleh ke arahku, kemudian melempar senyum tipis.
"Masalah Ibu nampaknya berat sekali?" tanyaku. Ia mengangguk pelan.
"Aku hanya memikirkan nasib anakku," jawabnya lirih. Air mata terlihat bergulir. Setiap ia mengatakan beban hidupnya, air mata seketika tak bisa berkompromi. Langsung jatuh.
"Anak Ibu di mana?" tanyaku.
"Bersama mereka," jawabnya berat.
Hati ini ikut merasakan sesak. Kalau bersangkutan dengan anak, hati ibu mana yang tak sakit?
Mereka siapa, aku tak berani mengkuliti lebih dalam.
"Ratih!" telinga ini mendengar suara memanggil namaku. Suara yang tak asing di telinga. Suara Mas kandungku. Mas Budi.
"Iya?" balasku.
Plaaakk ....
Tiba-tiba lelaki ini menamparku begitu saja. Tanpa aku tahu, di mana letak kesalahanku.
"AOWWW" Teriakku kesakitan.
"Budi!" teriak Emak, bergegas mendekat. Mungkin suara tamparan itu terdengar di telinga Emak.
"Mulutmu itu bisa di jaga nggak? Ngomong apa kamu sama Luna? Pulang-pulang ia nangis, karena sakit hati dengan ucapanmu!" sungut Mas Budi. Kutatap wajahnya, bola matanya terlihat merah dan mendelik.
"Budi! Abah tak pernah mengajarkanmu kasar dengan siapapun! Apalagi dengan adikmu!" sungut Abah. Kupegangi pipi ini, terasa panas.
"Budi Hartanto?" lirih Bu Putri. Seketika Mas Budi menoleh ke arah Bu Putri.
"Putri Marendra?" lirih Mas Budi dengan mata menyipit.
***************
PART 10"Kamu itu kesurupan apa gimana? Datang-datang main tampar adikmu!" sungut Emak. Mas Budi dan Bu Putri yang masih saling beradu pandang akhirnya saling melepas pandangan. Bu Putri berlalu menuju ke kamarku begitu saja. Tanpa pamit. Entahlah, ada hubungan apa mereka.Mas Budi kembali menatapku. Dengan memegangi pipiku yang masih terasa panas, kubalas tatapan itu. Rasanya sakit hati sekali."Luna nangis-nangis pulang dari sini! Karena ucapan Ratih!" jelas Mas Budi."Emang kapan Luna ke sini?" tanya Emak."Tadi pagi," jawab Mas Budi."Benar Ratih? Mbakmu ke sini tadi pagi?" tanya Emak dan aku mengangguk."Emang kamu ngomong apa?" tanya Emak."Mbak Luna duluan, Mak, yang nyindir-nyindir! Kayak biasanya gitulah," jawabku."Halaah ... alasan! Pinter banget ngomong. Mau aku gampar lagi mulutmu itu? Biar bisa sopan dengan kakak iparmu!" sungut Mas Budi. Ya Allah ... segitunya dia membela istrinya."Ya, silahkan kalau mau nampar! Silahkan! Ni ... ayok tampar lagi!" balasku seraya menyod
KEKACAUANPART 11"Mbak cukup!" teriakku lantang. Karena semakin ke sini, aku semakin geram dan muak dengan tingkah Mbak Luna yang semakin tak berwibawa dan menurutku semakin ke kanak-kanakan.Mbak Luna seketika diam, menghentikan aksinya menarik-narik Bu Putri. Menoleh ke arahku dengan mata mendelik. Seolah tak suka aku berteriak lantang.Kalau biasanya aku segan dan tak enak hati dengan Mas Budi, karena membentak istrinya yang sok cantik ini, tidak untuk kali ini. Karena Mas Budi juga sama saja kayak Mbak Luna. Sama-sama semakin membuatku muak."Heh ... nggak sopan teriak-teriak sama orang yang lebih tua!" sungut Mbak Luna. Kuhela panjang napas ini."Emang, Mbak pikir, Mbak itu udah paling sopan? Ngaca! Intropeksi diri!" balasku. Makin mendelik saja matanya itu."Jelas lebih sopan aku dari pada kamu! Kamu yang harusnya ngaca! Dan kamu juga yang harusnya istropeksi diri!" sungut Mbak Luna semakin menjadi."Iyakah? Teriak-teriak di rumah Mertua malam kayak gini, apakah itu sopan?" tan
PENJELASANPART 12"Sebaiknya jangan cerita di sini, Bah! Karena menurut Ratih sudah tak aman!" ucapku, kemudian kuedarkan pandang, untuk memastikan semua masih baik-baik saja. Karena hati semakin tak enak."Benar kata Ratih!" sahut Emak yang juga ikutan mengedarkan pandang. Mungkin juga merasakan perasaan yang sama.Abah terlihat menghela napas sejenak, kemudian mengangguk pelan."Tapi, kalau rumah kosong total, mencurigakan. Jadi tetap harus ada yang tinggal," ucap Abah. Aku mengangguk."Biar Emak aja yang tinggal. Nanti Emak bisa Abah ceritakan," ucap Emak. Abah mengangguk."Gimana menurutmu, Nduk?" tanya Abah dengan tatapan, mengarah ke Bu Putri."Saya nurut saja. Karena saya sendiri bingung mengambil keputusan," jawab Bu Putri. Memang kalau yang mengalami masalah, pasti akan susah mengambil keputusan. Jadi menurutku memang lebih nurut, selama masih masuk logika."Ok, kalau gitu kita segera bersiap. Ratih, pinjamkan baju-bajumu untuk ganti Putri. Kita segera berangkat ke rumah alm
PART 13Bu Putri menggantungkan ucapannya di udara. Aku dan Abah saling beradu pandang, saling penasaran juga tentunya."Segitu beratnya ingin bercerita?" tanya Abah. Bu Putri dengan cepat menggeleng."Nggak Bah. Cuma masih menata hati saja, terlalu berat ganjalan di dalam sini," jawab Bu Putri.Aku masih bersabar untuk menunggu. Karena aku sendiri jika berada di posisi Bu Putri juga belum tentu setegar dia."Emm ... aku mulai dari masalah aku jadi buronan mereka dulu saja," ucap Bu Putri mengambil keputusan. Abah terlihat mengangguk pelan."Silahkan!" balas Abah. Yang mana aku lihat sedang membenahi jaketnya. Hawa dingin semakin menusuk."Nama saya Putri Marendra. Anak tunggal Putra Aksa Marendra," jelasnya terlebih dahulu. Abah terlihat melipat kening."Astaga ... kamu anaknya Pak Putra Aksa Marendra?" tanya Abah seolah memastikan. Bu Putri mengangguk pelan."Iya, Abah ... Abah kenal dengan Papa saya?" tanya balik Bu Putri. Abah masih terlihat tercengang."Siapa yang tak kenal denga
IDE UNTUK MASALAHPART 14"Emm, waktu sudah semakin larut. Kalian istirahat dulu. Pembahasan dilanjutkan besok saja. Tetap harus jaga kesehatan, karena kesehatan lebih penting dari pada apapun," titah Abah. Padahal aku sudah penasaran sekali dengan rencana Bu Putri."Benar juga kata Abah, Bu. Lebih baik kita istirahat dulu, kesehatan dan stamina harus terjaga dan stabil," ucapku. Bu Putri mengangguk pelan."Iya. Kita memang harus menjaga kesehatan," balas Bu Putri. Gantian aku yang mengangguk."Kalian istirahat di kamar! Abah di sini saja," ucap Abah."Baik, Bah!" balasku kemudian beranjak. Pun Bu Putri juga ikut beranjak.Aku melangkahkan kaki menuju ke kamar. Bu Putri mengekor di belakangku. Segera aku nyalakan lampu dan aku keluarkan kasur lipat yang ditaruh di dalam lemari. Menggelarnya di atas ranjang.Karena sudah lama tak di tempati, maka ruangan terlihat kotor berdebu."Besok saja kita bersihin, ya, Bu. Penting sekarang istirahat dulu!" ucapku. Bu Putri terlihat tersenyum."Iy
MENEMUI ORANG KEPERCAYAAN.PART 15Dengan mengendarai motor, aku segera meluncur ke alamat yang di berikan Bu Putri. Jujur saja rasa cemas dan khawatir menggelayut di dalam sini, karena meninggalkan Bu Putri seorang diri. Karena dia sedang dalam pencarian ketat.Aku memang baru mengenal Bu Putri, tapi aku sangat mencemaskan dia. Bahkan lebih cemas dibanding dengan masalahku sendiri.Aku sudah berhenti di parkiran kantor milik keluarga Marendra. Bahkan nama kantor tersebut langsung memakai nama Marendra. Luar biasa memang. Tapi siapa sangka, jika di dalam keluarga Marendra saling berebut harta dan kekuasaan.Kuedarkan pandang. Bangunan itu terlihat menjulang tinggi. Mobil berjejer dengan rapi. Mobil kelas menengah ke atas semua.Motor juga berjejer dengan rapi. Mungkin kalau motor untuk yang bekerja sebagai OB di perusahaan Marendra ini.Bismillah, segera aku turun dari motor setelah melepas helm tentunya. Merapikan baju sejenak.Kuamati bajuku. Haduh ... terasa tak pantas masuk ke dal
Menyampaikan SuratPART 16"Jangan bicara di sini! Terlalu berbahaya, karena ada musuh dalam selimut!" ucap Pak Maftuh. Aku mengangguk pertanda menyetujui. "Iya, Pak.""Emm, Dek, maaf, kamu di sini dulu, ya!" pintaku. Karena aku tak mau dia ikut dan tahu semua masalah ini. Karena juga baru kenal."Tapi, Mbak! Daftar OB nya gimana?" tanya balik perempuan muda itu. Pak Maftuh memandang ke arah perempuan muda itu."Temui Pak Hasan di lantai bawah! Kalau mau daftar OB!" saran Pak Maftuh."Owh ... baik, Pak. Terimakasih!" sahut perempuan itu dengan bibir melebar. Kemudian dia segera berlalu masuk ke dalam lift."Ikut saya!" pinta Pak Maftuh dan aku segera mengangguk. Untung tadi aku mendengar percakapan mereka. Jadi aku tahu mana yang benar-benar tulus dan mana yang tidak. Jadi aku tak salah orang, untuk menyampaikan surat itu.Kasihan juga Bu Putri, dalam kondisi terpuruk, salah satu orang kepercayaannya, ada yang menikungnya. Tak bisa membayangkan, jika rekaman ini sampai ke tangan Bu Pu
RINTANGAN DAN TINDAKANPART 17"Ratih!" teriak Mas Bima. Seketika aku menghentikan langkah. Kuurungkan untuk masuk mobil. Kubalikan badan ini perlahan."Ada apa?" tanyaku. Ia terlihat mendekat. Mata ini masih melihat sosok Pak Maftuh berdiri tegap ditempatnya."Pisah denganku, miris sekali nasibmu. Menjadi babu di rumah orang!" maki Mas Bima. Seketika hati ini semakin membuncah. Kuterus mencoba menahan gejolak di dalam sini. Agar tak terpancing.Kusunggingkan senyum tipis di bibir. Berusaha santai, seolah tak merasa sakit hati."Miris? Itukan hanya penilaianmu. Tapi hati ini sangat bahagia bisa terlepas dari lelaki sepertimu!" jawabku santai. Mas Bima terlihat menyeringai, seolah hendak menjatuhkan."Iyakah? Tapi, aku tak percaya! Mana ada orang bahagia kerja jadi babu!" ucapnya."Percaya atau tidak, itu urusanmu, bukan urusanku!" balasku masih terus berusaha santai. Bahkan tetap aku usahakan dengan nada suara tenang."Kamu pasti menyesal memilih pisah dariku!" ucapnya penuh dengan pe