Share

Kekacauan. 11

KEKACAUAN

PART 11

"Mbak cukup!" teriakku lantang. Karena semakin ke sini, aku semakin geram dan muak dengan tingkah Mbak Luna yang semakin tak berwibawa dan menurutku semakin ke kanak-kanakan.

Mbak Luna seketika diam, menghentikan aksinya menarik-narik Bu Putri. Menoleh ke arahku dengan mata mendelik. Seolah tak suka aku berteriak lantang.

Kalau biasanya aku segan dan tak enak hati dengan Mas Budi, karena membentak istrinya yang sok cantik ini, tidak untuk kali ini. Karena Mas Budi juga sama saja kayak Mbak Luna. Sama-sama semakin membuatku muak.

"Heh ... nggak sopan teriak-teriak sama orang yang lebih tua!" sungut Mbak Luna. Kuhela panjang napas ini.

"Emang, Mbak pikir, Mbak itu udah paling sopan? Ngaca! Intropeksi diri!" balasku. Makin mendelik saja matanya itu.

"Jelas lebih sopan aku dari pada kamu! Kamu yang harusnya ngaca! Dan kamu juga yang harusnya istropeksi diri!" sungut Mbak Luna semakin menjadi.

"Iyakah? Teriak-teriak di rumah Mertua malam kayak gini, apakah itu sopan?" tanyaku. Mbak Luna terlihat gelagapan.

"Owhhh ... jadi orang tua Mbak Luna, seperti ini mengajarkan sopan santun?! Luar biasa!" cercaku. Sengaja, karena aku semakin muak dengan karakternya yang sok kecantikan itu.

"Heh ... jangan bawa-bawa orang tua!" sungut Mbak Luna.

"Kalau gitu, jangan buat ulah juga di rumah orang tuaku!" balasku tak mau kalah. Karena semakin ngalah sama model orang Mbak Luna seperti ini, akan semakin di injak.

"Mas, kamu lihat sendiri tingkah adikmu. Berani dia sama aku. Aku merasa tak di hargai! Nggak sopan!" adu Mbak Luna kepada Mas Budi.

"Ngadu aja terus. Yang di aduin juga otaknya udah ketutup rok istri! Takut nggak dapat jatah!" sindirku. Sengaja memang. Karena memang sudah geram sampai ke ubun-ubun.

"Ratih! Jaga mulutmu!" sungut Mas Budi. Nampak tak terima dengan apa yang aku katakan.

"Mulut istrimu itu yang harusnya di jaga!" balasku. Mas Budi nampak mendelik.

"CUKUP!!!" teriak Emak. Semua mata seketika menoleh ke arah Emak.

Raut wajah kecewa yang aku lihat di raut tuanya itu. Abah terlihat duduk dengan tangan mengelus dada.

"Budi! Bawa istrimu pulang! Malam-malam datang ke sini hanya buat keributan saja! Malu harusnya! Kalian ini orang terpelajar. Dan kamu Luna! Kalau ke sini hanya buat huru hara dan panasnya hati, lebih baik nggak usah ke sini!" ucap Emak. Nada suara kecewa yang aku dengar.

"Hemm ... di mana-mana anak mantu selalu salah! Dan selalu anak kandung yang di bela!" balas Mbak Luna dengan memainkan bibirnya. Seperti itukah yang ia bilang sopan?

"Emak nggak bela siapa-siapa. Emak hanya membela yang benar menurut Emak!" balas Emak.

"Jelas anak kandunglah yang benar menurut Emak! Bukan anak mantu!" balas Mbak Luna. Semakin menjadi menurutku, sudah tak ada rasa segan sama sekali dengan mertua. Karena ia merasa, suaminya pasti membela dia. Makanya dia semena-mena.

"Kalian selalu memojokan Luna!" sahut Mas Budi. Tuh benerkan? Baru juga di bahas.

Astaga ... entah apa yang di berikan Mbak Luna, hingga Mas Budi seperti itu. Semakin ke sini, aku semakin tak mengenali karakter saudara kandungku itu.

"Budi! Kamu harusnya bisa menilai. Dan semakin ke sini, Abah semakin tak mengenalimu!" ucap Abah lirih. Tapi masih terdengar di telinga.

"Jadi Abah juga menilai aku dan Luna yang salah?" tanya balik Mas Budi.

"Karena faktanya kamu memang salah!" balas Abah seraya menatap tajam anak sulungnya itu.

Mas Budi nampak menghela napas panjang. Mbak Luna semakin menunjukan ekspresi terdzolimi. Mambuatku semakin muak.

"Kalian ini menyembunyikan buronan! Kita laporkan saja ke keluarganya. Dapat imbalan uang yang banyak. Kalian ini gimana sih! Dia ajak kaya kok susah amat! Senang banget hidup miskin!" sungut Mbak Luna.

Kuhela napas ini. Memang sudah nggak ada otak perempuan bergelar iparku ini. Sudah tak punya rasa malu juga.

"Hebat! Kelakuan seperti ini yang di bilang beretika?" ledekku lagi. Mas Budi semakin mendelik menatapku.

"Ratih!" bentak Mas Budi.

"Bentak istrimu itu! Jangan bentak aku terus! Jadi suami kok kayak gitu!" sungutku. Kulihat tangan lelaki itu mengepal. Mungkin dia menahan amarah.

"Semua ini gara-gara kamu!" sungut Mas Budi seraya menunjuk Bu Putri. Yang di tunjuk jelas terkejut.

"Nah, iya! Ngapain juga nyembunyiin orang kayak gini. Bisa-bisa malah jadi masalah. Kecuali dia mau nyogok mahal kita, untuk tutup mulut! Setidaknya setara dengan imbalan yang saudaranya berikan!" ucap Mbak Luna. Yang menurutku semakin keterlaluan.

"Mbak Luna, kamu itu dari tadi ngomong nggak nyambung. Abah dan Emak murka karena apa, eh, kamu malah kemana-mana!" sindirku.

"Ratih! Yang nggak nyambung itu kamu. Jelas-jelas nemu Emas, bukannya cepat-cepat di jual, malah disembunyikan! Keburu ilang ntar!" sahut Mbak Luna.

"Bu Putri bukan Emas. Dia orang biasa. Dan dia memang membutuhkan pertolongan!" balasku. Entahlah, hati ini lebih percaya ke Bu Putri dari pada ke Mbak Iparku itu.

"Halaah ... di tolong juga belum tentu ada balas budinya!" sungut Mbak Luna. Lagi, dengan memainkan bibirnya.

"Itukan kamu Mbak! Jangan samakan dirimu dengan orang lain!" balasku.

"Apa maksudmu ngomong kayak gitu?" tanya Mbak Luna.

"Pikir aja ndiri!" balasku.

"Ratih!" bentak Mas Budi lagi. Kuusap kasar telinga.

"Bisa nggak, sih, kamu itu nggak usah teriak-teriak? Panas telingaku. Putus pita suaramu baru tahu rasa!" sungutku.

"Kamu ...."

"CUKUP!!" teriak Bu Putri seraya menangkap tangan Mas Budi, yang hampir saja mendarat di pipiku.

"Asragfirullah ...." lirib Abah. Kemudian memejamkan sejenak kelopak matanya.

"Ya Allah ... Emak merasa salah mendidik kalian!" desah Emak dengan nada kecewa. Sedangkan tangan Bu Putri masih memegang tangan Mas Budi.

"Udah, nggak usah lama-lama megang tangan suami orang! Dasar gatel!" sungut Mbak Luna, seraya mendorong Bu Putri. Membuat Bu Putri mundur beberapa langkah. Tapi bola mata Bu Putri dan Mas Budi masih saling beradu pandang.

"Hebat!" ucap Bu Putri. Sorot mata kebencian yang aku lihat. Pun Mas Budi.

Hebat? Entah apa maksudnya, aku tak faham.

"Awas saja kalau kamu sampai macam-macam di sini!" ucap Mas Budi. Bu Putri terlihat menyeringai.

"Bukannya kamu dan istrimu ini, yang macam-macam di sini?" sekak Bu Putri. Mas Budi terlihat memainkan bibirnya, tanda tak suka.

Kulihat Bu Putri memandang ke arah Mbak Luna. Sorot mata tajam yang ia pancarkan.

"Dan kamu! Kalau ingin lapor, silahkan! Tapi aku pastikan, kamu akan menyesal dan menangis darah telah melakukan itu!" ancam Bu Putri.

"Eh ... kamu ngancam? Kamu pikir aku takut dengan ancamanmu? Nggak sama sekali!" sungut Mbak Luna.

"Kalian kalau belum puas bertengkar, silahkan pergi ke lapangan. Abah sama Emak mau istirahat!" ucap Emak. Mungkin sudah kesal melihat keributan kami yang tak ada habisnya.

"Astagfirullah! Abah dan Emak kalian masih hidup, kalian sudah tengkar seperti ini. Abah nggak bayangin kalau kami telah tiada nanti. Anak laki-laki satu-satunya, yang Abah harapkan bisa mengayomi keluarga, nampaknya tak bisa di andalkan!" ucap Abah. Lagi, telinga ini mendengar nada kekecewaan.

Kami semua terdiam.

"Ayok Mas kita pulang. Stres aku lama-lama kumpul keluargamu. Diajak kaya secara instan kok susah banget. Memang cocoknya miskin terus sampai mati!" ucap Mbak Luna.

Kalau tak ingat ada Emak dan Abah, ingin rasanya aku tampol itu mulut.

"Ya, sana pulang! Nggak usah ke sini-sini lagi!" sungutku.

"Kalau mereka tak mau melaporkan perempuan buron ini, kita aja yang lapor. Malah enak duitnya nggak bagi-bagi!" ucap Mbak Luna.

Astagfirullah, di otaknya hanya uang dan uang. Tak ada yang lainnya lagi.

"Iya, kamu benar. Susah memang ngomong sama mereka. Dan kamu memang sudah harusnya pulang kekeluargamu! Karena tempatmu bukan di sini!" ucap Mas Budi, seraya menunjuk ke arah wajah Bu Putri.

"Dia tamu Abah! Kamu tak ada hak ngomong seperti itu!" balas Abah. Membuat Mas Budi menyeringai.

"Hebat kamu! Orang tuaku sudah berhasil kamu cuci otaknya!" sindir Mas Budi.

"Sudahlah! Mual perutku lama-lama di sini! Ayok kita pulang!" ucap Mbak Luna seraya menyeret suaminya. Yang di seret juga nurut dan pasrah saja.

Bu Putri terlihat menghela napas panjang. Kemudian mendekat ke arah Abah dan Emak. Setelah memastikan Mas Budi dan istrinya telah berlalu.

"Maafkan saya! Jika kehadiran saya membuat keributan!" ucapnya. Abah terlihat diam dan meneguk ludah.

"Nggak usah di pikir, ya! Tapi posisimu sekarang sudah tak aman. Kamu harus pergi dari sini!" ucap Abah.

"Abah ngusir saya?" tanya Bu Putri.

"Bukan. Bukan seperti itu. Justru saya nggak mau, Ibu di laporkan menantu saya. Karena Luna orangnya nekad. Saya sebagai mertuanya, tak bisa bertindak apa-apa," jawab Abah.

"Bah, tapi malam-malam gini, Bu Putri harus pergi ke mana?" tanyaku. Karena aku tak tega melihat keadaan Bu Putri.

"Akan Abah antar ke rumah Almarhum buyutmu! Rumah kosong lama. Abah yakin di sana aman. Tapi, Abah minta satu syarat!" ucap Abah.

"Syarat apa, Bah?" tanya Bu Putri. Abah terlihat menghela napas panjang. Kemudian saling beradu pandang dengan Emak.

"Emm ... Abah ingin tahu, apa masalahmu, hingga menjadi burunan keluargamu? Bahkan merela berani bayar uang mahal, bagi yang menemukan. Bisa kamu menceritakan semuanya?" jawab dan tanya Abah.

Aku segera menatap ke arah Bu Putri. Dia terlihat mengangguk pelan.

"Sekalian, ada hubungan apa kamu sama Budi. Kok nampaknya kalian juga sudah kenal lama dan ada masalah berat juga?" tanya Emak.

"Baiklah, akan saya ceritakan semuanya, termasuk saya juga kenal dengan menantu kalian, Bima," ucap Bu Putri. Abah dan Emak nampak sedikit terkejut. Dan kemudian mengangguk. siap mendengarkan penjelasan dari Bu Putri.

Nah, iya, aku juga penasaran sama hubungan dia dan Mas Bima. Ada ikatan apa mereka?

**********

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmi
malasnya baca di platron ini pakai koin, dan menguras duit kita ..jadi maaf ga baca lagi di tempat ini.
goodnovel comment avatar
Arlin
gemes sama mulut si luna, pengen cubitnpakr tang deh, biat diem
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status