Share

Bab 10

PART 10

"Kamu itu kesurupan apa gimana? Datang-datang main tampar adikmu!" sungut Emak. Mas Budi dan Bu Putri yang masih saling beradu pandang akhirnya saling melepas pandangan. Bu Putri berlalu menuju ke kamarku begitu saja. Tanpa pamit. Entahlah, ada hubungan apa mereka.

Mas Budi kembali menatapku. Dengan memegangi pipiku yang masih terasa panas, kubalas tatapan itu. Rasanya sakit hati sekali.

"Luna nangis-nangis pulang dari sini! Karena ucapan Ratih!" jelas Mas Budi.

"Emang kapan Luna ke sini?" tanya Emak.

"Tadi pagi," jawab Mas Budi.

"Benar Ratih? Mbakmu ke sini tadi pagi?" tanya Emak dan aku mengangguk.

"Emang kamu ngomong apa?" tanya Emak.

"Mbak Luna duluan, Mak, yang nyindir-nyindir! Kayak biasanya gitulah," jawabku.

"Halaah ... alasan! Pinter banget ngomong. Mau aku gampar lagi mulutmu itu? Biar bisa sopan dengan kakak iparmu!" sungut Mas Budi. Ya Allah ... segitunya dia membela istrinya.

"Ya, silahkan kalau mau nampar! Silahkan! Ni ... ayok tampar lagi!" balasku seraya menyodorkan pipiku. Kulihat tangannya mengepal. Mungkin menahan amarah.

"Budi! Kamu sama Ratih itu kakak adik. Kenal dari kecil, harusnya tahu karakter adikmu! Kalian ini saudara," ucap Abah.

"Justru karena aku tahu karakter dia, Bah! Makanya aku marah. Memang Ratih itu minta di tabok mulutnya. Biar ngerti sopan santun!" sungut Mas Budi. Abah terlihat mengusap pelan wajahnya.

"Emang istrimu itu, ngerti sopan santun?" tanya Abah balik. Mas Budi terlihat terkejut saat Abah tanya seperti itu.

"Apa maksud Abah tanya seperti itu?" tanya balik Mas Budi. Abah terlihat menghela napas panjang.

"Kamu nggak nyadar kalau istrimu itu, nggak punya sopan santun? Bagimu dia sempurna dan terbaik. Tapi, kamu nyalahin adikmu!" ucap Abah. Mas Budi terlihat melipat kening.

"Ya Allah ... Bud ... jangan langsung percaya gitu saja! Kebiasaan kamu itu, selalu menelan mentah-mentah! tanpa mencari tahu dulu kebenaranya," ucap Emak.

"Emak dan Abah, pasti sudah di pengaruhi sama Ratih. Makanya kalian selalu menganggap sebelah mata, apalagi tentang istriku!" tuduh Mas Budi. "Benar kata Ratih, kalian sebagai orang tua nggak bisa adil."

"Kamu yang sudah dipengaruhi buruk sama Luna. Makanya kamu sekaku itu sekarang! Tak percaya dengan adikmu! Dan sekarang juga tak percaya dengan orang tuamu sendiri!" balas Emak.

"Susah ngomong sama kalian! Apapun yang aku ucapkan nggak akan ada benarnya! selalu salah di mata kalian! Selalu Ratih yang benar!" sungut Mas Budi.

"Yasudah kalau kamu menilai kami seperti itu. Yang ada kami juga merasakan hal yang sama denganmu. Kamu yang selalu dan terlalu percaya dengan semua ucapan Luna!" balas Emak.

"Terserah kalian mau ngomong apa! Suatu hari nanti, kalian akan menyesal telah berbuat seperti ini denganku dan Luna!" ucap Mas Budi kemudian segera berlalu. Kemudian dia menghentikan langkahnya. Membalikan badan sejenak.

"Hati-hati kalian dengan Putri Marendra!" pesan Mas Budi, kemudian dia segera berlalu begitu saja tanpa memberikan penjelasan lagi. Aku, Abah dan Emak, saling beradu pandangan bergantian.

Hah? Kenapa Mas Budi pesan seperti itu. Siapa sebenarnya Putri Marendra itu? Sungguh membuat semakin penasaran dengan ini semua.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Emak seraya memegang pundakku. Aku menghela napas panjang.

"Panasnya pipi sudah mendingan, Mak!" jawabku.

"Memang keterlaluan masmu itu," ucap Emak, Abah aku lihat menghela napas panjang.

Ya, bagiku Mas Budi hari ini sangat keterlaluan, dan Mbak Luna, dia memang pintar sekali bermuka dua. Membolak balikan keadaan.

Sialnya, Mas Budi percaya begitu saja. Aku yakin jelas Mbak Luna melebih-lebihkan fakta sebenarnya. Atau malah memang tak sesuai fakta saat ia ngadu ke suaminya.

Hemm ... bisa jadi seperti itu. Karena Mas Budi nampak murka sekali. Entah seperti apa aduan dari Mbak Luna.

*****************

"Bu," sapaku. Bu Putri menoleh. Dia masih diam, kalau tak di tanya duluan, ia tak akan tanya. Menikmati diamnya itu. Entah apa yang ia pikirkan.

"Iya?" balasnya singkat. Aku segera duduk di sebelahnya. Malam semakin larut. Emak dan Abah sudah masuk ke kamarnya. Dan Azkia sudah tidur nyenyak.

"Belum ngantuk?" tanyaku basa basi. Ia menggeleng.

"Nggak bisa tidur! Keinget anak," lirihnya. Hati ini terasa nano nano. Ya Allah ... nggak bisa bayangin kalau aku ada di posisi dia. Terpisah oleh anak, adalah hal yang sangat menyakitkan dari pada apapun.

Berkali-kali aku amati wajah cantik Bu Putri. Dia nampaknya orang baik. Tapi kenapa Mas Budi berpesan seperti tadi?

"Bu, kalau Ibu percaya dengan saya, Ibu bisa berbagi masalah Ibu dengan saya," ucapku. Ia memandangku sejenak. Kemudian menghela napas.

"Hidupku sangatlah berliku," lirihnya. Aku mengangguk pelan.

"Saya siap mendengarkan, itu pun kalau Ibu percaya," balasku.

"Bukannya tak percaya. Tapi saya belum bisa menceritakan. Jika bercerita, hati ini terasa sangat sakit," ucapnya, kali ini dengan mata berkaca-kaca.

"Jangan di paksakan kalau gitu, Bu!" balasku akhirnya.

"Maaf, ya! Kalau hati dan pikiranku sudah tenang, aku pasti ceritakan semuanya. Karena aku percaya denganmu," balasnya. Aku mengangguk dengan melempar senyum tipis.

"Ini sudah malam, suamimu tak pulang?" tanya Bu Putri. Gantian aku yang merasa sesak. Hemmm ... masalahku cuma seperti ini aja sesak jika di bahas. Apalagi masalah Bu Putri. Yang mana sampai menyebarkan info, akan mendapatkan uang jika menemukannya.

"Saya dan suami sudah berpisah," balasku pelan.

"Owh, maaf," ucapnya. Aku mengulas senyum.

"Biasa saja, Bu! Ibu nggak salah, tak perlu minta maaf," balasku.

"Ratih, sekali lagi terimakasih telah membantuku. Mungkin kalau bukan kamu, aku sudah di adukan ke mereka. Karena ada imbalan uang," ucap Bu Putri.

"Nggak semua orang bisa melakukan apa saja demi uang, Bu!" balasku.

"Iya dan saya bersyukur sekali bertemu kamu!" ucapnya. Kemudian meraih tanganku dan sedikit meremasnya.

Bu Putri kemudian mendongakan kepalanya. Seolah menahan air mata yang akan terjatuh.

"Saya seperti ini, karena keteledoran salah satu karyawan saya, dan dia orang terpercaya saya yang menusuk saya dari belakang," ucapnya. Aku melipat kening. Mencerna semua ucapannya.

Kalau dia bilang seperti itu, berarti dia bukan orang sembarangan. Dan nampaknya dia mulai mau membuka sedikit masalahnya.

"Ibu bekerja sebagai apa?" tanyaku.

Dreet dreet dreet ....

Tiba-tiba gawaiku bergetar. Pertanda ada panggilan masuk. 'Mas Bima,' ia dia yang menelponku. Tapi, aku enggan mengangkatnya. Sedangkan pertanyaanku, lenyap gitu saja tanpa ada tanggapan.

"Kok nggak di angkat?" tanya Bu Putri.

"Mas Bima yang nelpon. Ayahnya Azkia," balasku.

"Suamimu?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Sekarang masih suamiku, bentar lagi akan jadi mantan suami," balasku.

"Nama suamimu sama dengan nama karyawan yang mengkhianatiku. Hingga membuatku seperti ini," ucap Bu Putri. Aku melipat kening.

Segera aku meraih hape dan mencari foto Mas Bima.

"Ini wajah suami saya!" ucapku seraya menyodorkan gawaiku padanya. Bu Putri segera menerima gawaiku itu.

"Bima Akbar?" ucap Bu Putri dengan mata mendelik.

"Pokoknya aku ingin menampar sendiri mulut Ratih! Aku nggak terima. Dasar adikmu itu nggak punya sopan santun!" tiba-tiba telinga ini, mendengar suara nyerocos Mbak Luna.

Hah? Ngapain malam-malam dia ke sini?

"Tapi, Dek, ini udah malam," telinga ini juga mendengar suara Mas Budi.

Aku dan Bu Putri langsung diam. Tak melanjutkan obrolan.

"Aku tak peduli. Sakit hati sekali sama tingkahnya! Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain!" balas Mbak Luna.

Kreekk ....

Pintu kamar Abah terbuka.

"Ada apa ini malam-malam ribut!" ucap Abah. Aku dan Bu Putri mendekat.

"Maaf, Bah. Ganggu ...."

"Halah ... nggak perlu minta maaf. Ratih yang salah. Ratih yang harusnya minta maaf! Bukan kamu, Mas. Apalagi aku," potong Mbak Luna.

"Salah saya apa?" tanyaku, seketika Mbak Luna mengarah kepadaku. Wajahnya terlihat terkejut, saat melihat Bu Putri.

"Loh ... kamu kok mirip sama poster-poster yang di tempelin di jalanan, ya. Yang bisa menemukanmu, dapat imbalan uang. Waahhh ... rejeki nomplok!" ucap Mbak Luna, yang raut wajahnya berubah drastis. Yang tadi marah-marah, sekarang nampak girang. Kemudian mendekat ke arah kami, tanpa merasa berdosa.

"Untung tadi aku nyimpan nomor dan alamat di poster itu. Ayok aku antar pulang! Biar aku dapat uang itu! Ha ha ha, rejeki istri sholikhah!" ucap Mbak Luna yang membuat Bu Putri nampak kebingungan.

***********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status