Share

Bab 10

Penulis: Naimatun Niqmah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-09 20:02:57

PART 10

"Kamu itu kesurupan apa gimana? Datang-datang main tampar adikmu!" sungut Emak. Mas Budi dan Bu Putri yang masih saling beradu pandang akhirnya saling melepas pandangan. Bu Putri berlalu menuju ke kamarku begitu saja. Tanpa pamit. Entahlah, ada hubungan apa mereka.

Mas Budi kembali menatapku. Dengan memegangi pipiku yang masih terasa panas, kubalas tatapan itu. Rasanya sakit hati sekali.

"Luna nangis-nangis pulang dari sini! Karena ucapan Ratih!" jelas Mas Budi.

"Emang kapan Luna ke sini?" tanya Emak.

"Tadi pagi," jawab Mas Budi.

"Benar Ratih? Mbakmu ke sini tadi pagi?" tanya Emak dan aku mengangguk.

"Emang kamu ngomong apa?" tanya Emak.

"Mbak Luna duluan, Mak, yang nyindir-nyindir! Kayak biasanya gitulah," jawabku.

"Halaah ... alasan! Pinter banget ngomong. Mau aku gampar lagi mulutmu itu? Biar bisa sopan dengan kakak iparmu!" sungut Mas Budi. Ya Allah ... segitunya dia membela istrinya.

"Ya, silahkan kalau mau nampar! Silahkan! Ni ... ayok tampar lagi!" balasku seraya menyodorkan pipiku. Kulihat tangannya mengepal. Mungkin menahan amarah.

"Budi! Kamu sama Ratih itu kakak adik. Kenal dari kecil, harusnya tahu karakter adikmu! Kalian ini saudara," ucap Abah.

"Justru karena aku tahu karakter dia, Bah! Makanya aku marah. Memang Ratih itu minta di tabok mulutnya. Biar ngerti sopan santun!" sungut Mas Budi. Abah terlihat mengusap pelan wajahnya.

"Emang istrimu itu, ngerti sopan santun?" tanya Abah balik. Mas Budi terlihat terkejut saat Abah tanya seperti itu.

"Apa maksud Abah tanya seperti itu?" tanya balik Mas Budi. Abah terlihat menghela napas panjang.

"Kamu nggak nyadar kalau istrimu itu, nggak punya sopan santun? Bagimu dia sempurna dan terbaik. Tapi, kamu nyalahin adikmu!" ucap Abah. Mas Budi terlihat melipat kening.

"Ya Allah ... Bud ... jangan langsung percaya gitu saja! Kebiasaan kamu itu, selalu menelan mentah-mentah! tanpa mencari tahu dulu kebenaranya," ucap Emak.

"Emak dan Abah, pasti sudah di pengaruhi sama Ratih. Makanya kalian selalu menganggap sebelah mata, apalagi tentang istriku!" tuduh Mas Budi. "Benar kata Ratih, kalian sebagai orang tua nggak bisa adil."

"Kamu yang sudah dipengaruhi buruk sama Luna. Makanya kamu sekaku itu sekarang! Tak percaya dengan adikmu! Dan sekarang juga tak percaya dengan orang tuamu sendiri!" balas Emak.

"Susah ngomong sama kalian! Apapun yang aku ucapkan nggak akan ada benarnya! selalu salah di mata kalian! Selalu Ratih yang benar!" sungut Mas Budi.

"Yasudah kalau kamu menilai kami seperti itu. Yang ada kami juga merasakan hal yang sama denganmu. Kamu yang selalu dan terlalu percaya dengan semua ucapan Luna!" balas Emak.

"Terserah kalian mau ngomong apa! Suatu hari nanti, kalian akan menyesal telah berbuat seperti ini denganku dan Luna!" ucap Mas Budi kemudian segera berlalu. Kemudian dia menghentikan langkahnya. Membalikan badan sejenak.

"Hati-hati kalian dengan Putri Marendra!" pesan Mas Budi, kemudian dia segera berlalu begitu saja tanpa memberikan penjelasan lagi. Aku, Abah dan Emak, saling beradu pandangan bergantian.

Hah? Kenapa Mas Budi pesan seperti itu. Siapa sebenarnya Putri Marendra itu? Sungguh membuat semakin penasaran dengan ini semua.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Emak seraya memegang pundakku. Aku menghela napas panjang.

"Panasnya pipi sudah mendingan, Mak!" jawabku.

"Memang keterlaluan masmu itu," ucap Emak, Abah aku lihat menghela napas panjang.

Ya, bagiku Mas Budi hari ini sangat keterlaluan, dan Mbak Luna, dia memang pintar sekali bermuka dua. Membolak balikan keadaan.

Sialnya, Mas Budi percaya begitu saja. Aku yakin jelas Mbak Luna melebih-lebihkan fakta sebenarnya. Atau malah memang tak sesuai fakta saat ia ngadu ke suaminya.

Hemm ... bisa jadi seperti itu. Karena Mas Budi nampak murka sekali. Entah seperti apa aduan dari Mbak Luna.

*****************

"Bu," sapaku. Bu Putri menoleh. Dia masih diam, kalau tak di tanya duluan, ia tak akan tanya. Menikmati diamnya itu. Entah apa yang ia pikirkan.

"Iya?" balasnya singkat. Aku segera duduk di sebelahnya. Malam semakin larut. Emak dan Abah sudah masuk ke kamarnya. Dan Azkia sudah tidur nyenyak.

"Belum ngantuk?" tanyaku basa basi. Ia menggeleng.

"Nggak bisa tidur! Keinget anak," lirihnya. Hati ini terasa nano nano. Ya Allah ... nggak bisa bayangin kalau aku ada di posisi dia. Terpisah oleh anak, adalah hal yang sangat menyakitkan dari pada apapun.

Berkali-kali aku amati wajah cantik Bu Putri. Dia nampaknya orang baik. Tapi kenapa Mas Budi berpesan seperti tadi?

"Bu, kalau Ibu percaya dengan saya, Ibu bisa berbagi masalah Ibu dengan saya," ucapku. Ia memandangku sejenak. Kemudian menghela napas.

"Hidupku sangatlah berliku," lirihnya. Aku mengangguk pelan.

"Saya siap mendengarkan, itu pun kalau Ibu percaya," balasku.

"Bukannya tak percaya. Tapi saya belum bisa menceritakan. Jika bercerita, hati ini terasa sangat sakit," ucapnya, kali ini dengan mata berkaca-kaca.

"Jangan di paksakan kalau gitu, Bu!" balasku akhirnya.

"Maaf, ya! Kalau hati dan pikiranku sudah tenang, aku pasti ceritakan semuanya. Karena aku percaya denganmu," balasnya. Aku mengangguk dengan melempar senyum tipis.

"Ini sudah malam, suamimu tak pulang?" tanya Bu Putri. Gantian aku yang merasa sesak. Hemmm ... masalahku cuma seperti ini aja sesak jika di bahas. Apalagi masalah Bu Putri. Yang mana sampai menyebarkan info, akan mendapatkan uang jika menemukannya.

"Saya dan suami sudah berpisah," balasku pelan.

"Owh, maaf," ucapnya. Aku mengulas senyum.

"Biasa saja, Bu! Ibu nggak salah, tak perlu minta maaf," balasku.

"Ratih, sekali lagi terimakasih telah membantuku. Mungkin kalau bukan kamu, aku sudah di adukan ke mereka. Karena ada imbalan uang," ucap Bu Putri.

"Nggak semua orang bisa melakukan apa saja demi uang, Bu!" balasku.

"Iya dan saya bersyukur sekali bertemu kamu!" ucapnya. Kemudian meraih tanganku dan sedikit meremasnya.

Bu Putri kemudian mendongakan kepalanya. Seolah menahan air mata yang akan terjatuh.

"Saya seperti ini, karena keteledoran salah satu karyawan saya, dan dia orang terpercaya saya yang menusuk saya dari belakang," ucapnya. Aku melipat kening. Mencerna semua ucapannya.

Kalau dia bilang seperti itu, berarti dia bukan orang sembarangan. Dan nampaknya dia mulai mau membuka sedikit masalahnya.

"Ibu bekerja sebagai apa?" tanyaku.

Dreet dreet dreet ....

Tiba-tiba gawaiku bergetar. Pertanda ada panggilan masuk. 'Mas Bima,' ia dia yang menelponku. Tapi, aku enggan mengangkatnya. Sedangkan pertanyaanku, lenyap gitu saja tanpa ada tanggapan.

"Kok nggak di angkat?" tanya Bu Putri.

"Mas Bima yang nelpon. Ayahnya Azkia," balasku.

"Suamimu?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Sekarang masih suamiku, bentar lagi akan jadi mantan suami," balasku.

"Nama suamimu sama dengan nama karyawan yang mengkhianatiku. Hingga membuatku seperti ini," ucap Bu Putri. Aku melipat kening.

Segera aku meraih hape dan mencari foto Mas Bima.

"Ini wajah suami saya!" ucapku seraya menyodorkan gawaiku padanya. Bu Putri segera menerima gawaiku itu.

"Bima Akbar?" ucap Bu Putri dengan mata mendelik.

"Pokoknya aku ingin menampar sendiri mulut Ratih! Aku nggak terima. Dasar adikmu itu nggak punya sopan santun!" tiba-tiba telinga ini, mendengar suara nyerocos Mbak Luna.

Hah? Ngapain malam-malam dia ke sini?

"Tapi, Dek, ini udah malam," telinga ini juga mendengar suara Mas Budi.

Aku dan Bu Putri langsung diam. Tak melanjutkan obrolan.

"Aku tak peduli. Sakit hati sekali sama tingkahnya! Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain!" balas Mbak Luna.

Kreekk ....

Pintu kamar Abah terbuka.

"Ada apa ini malam-malam ribut!" ucap Abah. Aku dan Bu Putri mendekat.

"Maaf, Bah. Ganggu ...."

"Halah ... nggak perlu minta maaf. Ratih yang salah. Ratih yang harusnya minta maaf! Bukan kamu, Mas. Apalagi aku," potong Mbak Luna.

"Salah saya apa?" tanyaku, seketika Mbak Luna mengarah kepadaku. Wajahnya terlihat terkejut, saat melihat Bu Putri.

"Loh ... kamu kok mirip sama poster-poster yang di tempelin di jalanan, ya. Yang bisa menemukanmu, dapat imbalan uang. Waahhh ... rejeki nomplok!" ucap Mbak Luna, yang raut wajahnya berubah drastis. Yang tadi marah-marah, sekarang nampak girang. Kemudian mendekat ke arah kami, tanpa merasa berdosa.

"Untung tadi aku nyimpan nomor dan alamat di poster itu. Ayok aku antar pulang! Biar aku dapat uang itu! Ha ha ha, rejeki istri sholikhah!" ucap Mbak Luna yang membuat Bu Putri nampak kebingungan.

***********

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status