Share

Kenyataan

“Mas, hari ini aku nggak kerja dulu. Kamu juga, ya? Aku mau, Mas anterin aku ke dokter buat konsultasi ini,” tunjuk Almira pada sesuatu di balik rok yang ia kenakan.

“Kamu ‘kan bisa pergi sendiri. Kenapa aku harus ikut?” tanya Zidan malas. Ia tetap melanjutkan aktivitas sarapannya tanpa memperhatikan wajah Almira yang kian memucat.

“Tapi, aku lemas. Tak kuat bawa sepeda motor sendiri,” lirih Almira dengan nada sedikit memohon.

“Nggak usah cengeng. Kayak yang nggak biasanya pergi ke mana-mana sendiri.”

“Tapi, Mas ….”

Bisa saja Almira memesan ojek online, tetapi ia hanya ingin diperhatikan suaminya. Sejak kejadian marah karena hasratnya tak terpuaskan, sejak itu juga Zidan berubah dingin.

“Berisik, kamu! Jadi nggak berselera makan jadinya!” bentak Zidan lalu berlalu pergi. Menyambar kunci dan meninggalkan Almira seperti biasanya.

“Ma, kita jadi ke rumah sakit?” tanya Nadine yang sengaja Almira minta untuk menunggu di kamar.

“Jadi,” jawab Almira sambil menyeka air matanya agar tak diketahui anak sulungnya.

“Kita nggak sekolah?”

“Libur dulu ya? Mama dah minta izin kok untuk Nadine,” jawab Mira sambil tersenyum. “Nadine tunggu di depan, ya? Mama mau ganti baju sama ambil tas.”

“Oke, Mam.”

Dengan wajah riangnya, Nadine berjalan ke depan menunggu Almira yang bersiap ke rumah sakit.

Almira sengaja memesan taksi online, agar badannya terasa nyaman. Beberapa kali ia merasakan rasa nyeri yang hilang timbul kala sedang tak melakukan apapun hingga ia sibuk dalam bekerja. Sehingga, Almira tidak bisa konsen melakukan aktivitasnya.

“Kita sudah sampai ya, Ma?”

“Iya, Sayang. Ayo! Kita harus turun sekarang,” ajak Almira menggandeng tangan Nadine turun dari taksi.

Setelah mendaftar dan mendapat nomor antrian, keduanya menunggu untuk dipanggil.

“Hai, Almira,” sapa seseorang yang duduk di belakang Almira.

“Hai, Mey. Apa kabar?” sambut Almira hangat. Keduanya saling berpelukan karena rindu lama tak bertemu.

“Baik, Ra. Ini anak kamu?”

“Iya, namanya Nadine.”

Nadine mengulurkan tangannya tanpa diminta untuk bersalaman dengan Meysila, membuatnya tersentuh.

“Anakmu pinter banget si, Ra. Suami kamu mana?” tanya Meysila menengok ke segala arah mencari keberadaan Zidan.

“Mas Zidan lagi kerja. Eh, kamu ada apa ke rumah sakit? Kamu sakit?” tanya Almira mengalihkan pembicaraan.

“Bukan aku, tapi tante aku. Tadi aku antar ke ruang periksa, di sana sama Om aja. Aku cuma temani,” jawab Meysila.

“Kalau sudah ada Om kamu, kenapa kamu ikut?”

“Ya biar bisa lihat dokter yang bening-bening. Kamu nggak tahu, ya? Kalau Suaka kerja di rumah sakit ini?” tanya Meysila antusias.

“Nggak, kamu tahu dari mana?”

Belum juga menjawab, nama Almira dipanggil untuk masuk ke ruang periksa.

“Eh, namaku dah dipanggil. Aku masuk dulu, ya?” pamit Almira.

“Anakmu sini aja sama aku. Daripada masuk, takutnya rewel.”

“Boleh, kalau kamu nggak direpotkan.”

“Heleh, kayak sama siapa aja. Udah sana, keburu dilewati nomor antriannya.”

Setelah mengatakan pada Nadine untuk bersama Meysila, Almira gegas masuk ke dalam periksa.

“Silahkan duduk dahulu. Dokternya sedang ke wc sebentar,” ucap Suster yang ada di dalam.

Saat Dokter keluar, Amira terkejut karena dokter yang akan memeriksanya adalah sahabatnya–Suaka Chandrama.

“Almira?!” panggilnya tak percaya.

“Bang Suaka?” jawab Almira tak kalah terkejutnya.

Keduanya duduk berhadapan dan dalam hati yang sama rindu. Persahabatan antara Suaka, Almira dan Meysila terjalin sejak SMA Ketiganya bahkan sering menghabiskan waktu bersama untuk melakukan aktivitas anak mudanya. Suaka yang memang terkenal lelaki dingin dan pendiam, hanya bertanya kabar dan juga kabar orang tua Almira.

“Orangtuaku sudah meninggal saat aku lulus SMK, tepatnya satu minggu setelah kamu terbang ke Jerman.”

“Maaf, aku turut berduka cita. Suami Tidak mengantar?”

“Sepertinya aku tak jadi periksa, aku tak bisa diperiksa dokter lelaki. Kenapa coba kamu pilih jadi dokter spesialis anak dan Ibu?” tanya Almira tanpa menjawab pertanyaan Suaka.

“Itu sudah jadi jurusan yang aku ambil, ALmira. Anggap aku dokter yang tak kamu kenal saja. Mari kita cek langsung saja kondisimu,” jawab Suaka sambil tertawa kecil.

“Maaf, tapi aku tak bisa diperiksa oleh dokter lelaki. Ini ….”

“Iya, aku tahu. Nanti akan didampingi suster yang bertugas denganku. Keluhan kewanitaan itu jika tidak diperiksa, bahaya. Jadi, harus segera ditangani,” ucap Suaka.

“Tapi aku malu lah. Lain kali saja kalau ada dokter wanita,” tolak ALmira.

“Baiklah. Tunggu! Aku akan menelpon rekanku yang mungkin saja belum pulang.”

Suaka menelpon seseorang dan Almira merasa tak enak sudah merepotkan.

“Sebentar, orangnya sedang di sini,” ucap Suaka.

Pintu terbuka. Dokter dengan pakaian kemejanya, datang dengan wajah kesalnya.

“Kamu itu, Ka. Baru saja hendak jalan sama Arif, dah ganggu aja,” omel Dokter Iriana.

“Dah, nitip pasien yang satu ini. Dia gak mau diperiksa cowok laki, ya? Buruan kalau mau ngedate,” perintah Suaka.

Almira yang melihatnya menjadi tak enak. “Maaf,Dok, kalau merepotkan,” ucap ALmira.

“Santai aja. Suaka ini sepupu saya. Jadi, kita memang sering ngomel gaje gini. Mari kita ke ruang periksa,” ajak Iriana.

Almira melangkah menuju ruang periksa. Gorden penutup ditarik agar menutup sempurna. Almira diminta berbaring untuk diperiksa lebih lanjut mengenai masalah kewanitaannya.

“Keluhannya apa?” tanya Iriana sambil memeriksa Almira.

“Saya sering mengalami nyeri di bagian kewanitaan saya, Dok. Kalau lagi kumat, sakitnya luar biasa.”

“Baiklah. Kita akan diperiksa lebih lanjut, tadi sudah cek sampel darah di lab?”

“Belum.”

“Nanti ke lab, hasilnya bisa kamu berikan ke dokter Suaka. Sementara ini, saya melihat ada penyakit serius yang harus ditangani lebih lanjut. Jelasnya, nanti akan dijelaskan dokter Suaka,” jawab Iriana.

“Baik, Dok.”

Selepas diperiksa, Almira menuju ruang lab untuk memeriksa sample darahnya. Meski hatinya kacau, tapi keingintahuan mengenai penyakitnya harus cepat ia ketahui.

“Mir … Mir,” panggil Meysila.

Almira mendekat sebelum kembali ke ruangan Suaka untuk melihat hasil labnya.

“Belum selesai?” tanya Meysila.

“Belum. Kamu sudah mau pulang, ya? Biar Nadine sama aku aja kalau gitu,” ucap Almira tak enak.

“Justru kamu masih lama. Aku mau ajak Nadin ke rumahku. Eh, minta nomor teleponmu. Nanti aku telepon kamu sekalian kirim alamat rumahku ke kamu,” ucap Meysila.

“Terimakasih banyak. Tapi, Nadine biar sama aku aja. Aku nggak mau ngerepotin kamu,” tolak Almira.

“Nggak, kok. Anakmu ini anteng sama aku. Boleh, ya?”

“Boleh, ya, Ma?” rengek Nadine yang membuat Almira akhirnya mengiyakan permintaan Nadina pergi bersama Meysila.

“Baiklah. Kabari kalau sudah sampai. Ini nomerku.” Almira memberikan nomor ponselnya dan keduanya pergi ke rumah Meylani. Tinggalah Almira dengan rasa penasarannya menunggu hasil lab.

“Almira.” Panggilan suster membuat Almira kembali masuk ke dalam ruangan Suaka.

“Duduk, Ra.”

Wajah Suaka terlihat serius memandangi hasil yang didapatkan dari lab.

“Bagaimana, Dok?” tanya Almira yang juga ikut serius dengan memanggil Suaka, dokter.

“Sejak kapan kamu mengeluhkan sakit ini?”

“Sejak dua bulan yang lalu. Awalnya tak begitu sakit, hanya semakin ke sini bukan hanya sakit dan nyeri tapi lebih ke ….”

“Bau?”

Almira mengangguk. Ia sungguh malu mengatakannya, tapi ia harus tahu apa yang terjadi padanya.

“Maaf jika aku tanya hal agak sensitif, Almira. Apa kamu atau suami kamu suka bergonta ganti pasangan?”

“Apa maksud Dokter?” tanya Almira kaget.

“Ini adalah penyakit yang menjurus ke sana. Jadi penyakit ini disebabkan bakteri yang menyerang alat kel amin baik pria maupun wanita.”

“Jadi, aku sakit apa?” tanya Almira sendu.

“Kamu terkena ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status