“Kita masuk ke dalam saja.”Meysila tahu jika Almira sedang tak baik-baik saja. Ia meminta agar sahabatnya itu berbicara semuanya di dalam rumah.“Rumah sepi, Mey?”“Iya. Kakak lagi di rumah Om, tadi aku yang nganterin. Nyokap lagi arisan kayaknya. Kalau bokap, kerja pulang malam biasanya. Eh, mau minum apa?” tawar Almira.“Nggak usah. Aku nggak haus,” tolak Almira.“Kalau gitu, kita bicara di kamar ya? Sekalian kamu istirahat di sana.”“Makasih banyak ya, Mey,” ucap Almira dengan mata berkaca-kaca.Almira dan Nadine naik ke kamar Meysila yang ada di lantai atas. Meysila sengaja membiarkan sahabatnya itu tenang terlebih dahulu agar bisa menceritakan segalanya dengan baik.“Nadine mandi dulu, ya? Mau mandi sama Mama atau Tante?” tawar Meysila.“Tapi aku nggak bawa baju ganti Nadine, Mey,” cegah Almira.“Tenang. Ada baju ponakanku yang biasa main di sini. Kayaknya sih ukurannya sama. Masa iya nggak mandi dan ganti baju. Kamu juga nanti, mandi sama ganti baju punyaku aja. Oke?”Almira te
Malam ini Almira tidur di kamar yang sama dengan Meysila. Sebenarnya ada kamar tamu. Namun, Meysila sengaja mengajak Almira untuk menanyakan kenapa ia tiba-tiba meminta menginap.“Ra, Nadine dah tidur?” tanya Meysila yang baru saja masuk kamar.“Sudah. Tadi minta dibacakan dongeng, langsung merem dia. Anakku itu gampang kalau tidur. Didongengin bentar, langsung lelap.”Almira duduk di sofa. Dan Meysila menyusulnya ikut duduk si sana.“Pasti kamu ingin menanyakan kenapa aku menginap, kan?” tanya Almira sambil tersenyum.“Ternyata keahlianmu jadi cenayang gak berubah, Ra. Jadi, kenapa?” tanya Meysila serius.Almira menarik sudut bibirnya. Tersenyum di saat hatinya tak baik-baik saja, sungguh berat. Ditariknya nafas perlahan lalu dikeluarkan dengan teratur.“Aku diceraikan Mas Zidan.”“What?! Seriusan? Gila itu si Zidan. Masalahnya apa?” tanya Meysila kaget.Almira beranjak dan mengambil hasil tes tadi. Memberikannya pada Meysila agar dia membacanya sendiri.“Gonore? Ra … suamimu?”“Buka
“Kok lama, Ma?” tanya Nadine.“Iya. Kita berangkat sekarang saja ya?”“Tapi kenapa Mama bawa koper? Kita mau piknik?”Ada rasa sedih saat Nadine menanyakan hal ini. Tapi mau gimana lagi, semuanya sudah tidak seperti awalnya. Sesuatu yang retak tidak mungkin akan utuh kembali.“Setelah ini, kita akan tinggal berdua. Menjalani hidup berdua dan harus terbiasa tanpa Papa. Nadine, kamu harus bisa terbiasa tanpa Papa,” batin Almira tanpa bisa mengatakan apapun pada Nadin. Lidahnya kelu untuk menjelaskan. Hatinya masih sakit akan cercaan yang Zidan katakan padanya. Bahkan seorang pel acur saja, tidak pantas mendapat sebutan sampah karena hanya Tuhan yang bisa memberikan gelar baik buruknya manusia. Terlebih Almira tak melakukan apapunMobil sampai di TK Kasih Ibu. Nadin dan Almira turun setelah mengganti baju di toilet umum tadi. Almira mencoba bersikap biasa saja agar tidak terlihat begitu menyedihkan.“Pagi, Bu Almira. Sudah sembuh?” tanya Tika–salah satu rekan guru.“Pagi, Bu Tika. Alh
“Seharusnya dia jangan bekerja dulu. Dia harus istirahat total dan jangan stres. Kamu tahu tentang sakitnya?” tanya Suaka pada Meysila yang ikut mendampingi Almira.“Ya. Aku tahu semuanya dan malangnya dia sedang tak baik-baik saja.” Almira menjauh dan mengajak Suaka keluar dari kamar Almira agar sahabatnya itu bisa beristirahat.“Maksudnya?”“Ya, nasibnya sedang buruk. Terkena penyakit yang sebegitu parah tapi suaminya justru menceraikannya. Kalau aku jadi dia, belum tentu aku kuat,” ucap Meysila.“Kenapa bisa begitu?” tanya Suaka kaget.“Makanya aku bilang, dia sedang tak baik-baik saja. Suaminya menganggap jika penyakitya itu datang dari dirinya sendiri dan menyalahkan Almira atas segala yang terjadi. Entahlah, aku tak tahu bagaimana pasti ceritanya. Yang jelas, dia butuh support kita.”“Aku tahu itu. Tapi aku cuti beberapa minggu untuk menyiapkan pernikahanku. Akan ada kemungkinan aku tidak stay di Bogor dalam waktu dekat ini karena calon istriku ada di Surabaya.”“Lalu, bagaimana
Habis sudah kesabaran Almira. Sia-sia ia memanggil penghuni rumah di depannya itu. Sama sekali tak ada tanda-tanda ada manusia hidup dan sama seperti rumah Zidan, rumah itu juga kosong.“Kamu bawa Nadine ke mana, Mas?” isak Almira.Badannya bergetar. Antara sakit dan juga tak tahan dengan apa yang terjadi. Pertahanannya runtuh dan ia merasa dunianya gelap. Berjalan tak tentu arah, entah kemana lagi ia harus mencari Nadine. Yang ia tahu hanya ibu mertua saja yang dimiliki Zidan. Paman, Bibi bahkan saudara, sejauh ini kenal tapi tak tahu di mana mereka tinggal.Cahaya lampu mobil lalu lalang menyoroti malam kelabu Almira. Begitu juga dengan Almira yang akhirnya terduduk di pinggir jalan raya. Tak ada lagi kekuatan untuknya berjalan. Kakinya kram dan perutnya kembali merasakan nyeri hebat.“Mama … Tolong Almira,” lirih Almira menyebut orangtuanya yang sudah tiada.*****“Kamu bagaimana, Dan? Kenapa kamu biarkan Almira membawa Nadin? Untung Ibu mengajak kamu ke pesta anak teman Ibu i
...Almira melihat ke sekeliling. Ruangan serba putih dan aroma khas obat-obatan membuat ia yakin, dirinya sedang ada di rumah sakit. Entah siapa yang membawanya ke rumah sakit, yang jelas ia sangat bersyukur masih ada orang baik yang mau menolongnya.Almira melihat Meysila yang tertidur di sofa, sedangkan Raffi sang kekasih Meysila ada di sampingnya. Almira menitikkan air matanya, teringat akan kehilangan Nadine yang terasa sangat menyakitkan baginya.Jam di dinding menunjukan pukul 4 dini hari. Entah kenapa perasaannya mendadak tak enak, memikirkan tentang Nadine yang mungkin saja akan menangis karena mencarinya. Hati ibu mana yang tak sedih dan terluka, anak yang selama ini selalu ada dan hadir di sampingnya, tiba-tiba dibawa pergi oleh keluarga mantan suaminya.Hingga adzan subuh berkumandang, Almira tak bisa memejamkan matanya. Bayangan Nadine yang menangis mencarinya, sungguh terngiang selalu di telinganya.Meysila menggeliat dan melirik ke arah Almira yang sudah terduduk sambil
"Sebaiknya kamu diam dan jangan bergerak. Itu akan membuatmu lebih sakit," ucap Lyan mengingatkan. Lelaki yang berbicara tanpa menatap Almira, namun diam-diam memperhatikan."Saya ingin ke kamar mandi," lirih Almira.Lyan menoleh dan akhirnya beranjak hendak membantu Almira turun dari brankar. "Saya bisa sendiri!" kata Almira.Lyan mundur satu langkah dan membiarkan Almira dengan keras kepalanya ingin ke kamar mandi seorang diri.Badan sedikit terhuyung karena masih begitu lemah, membuat Lyan sigap menopang badan Almira."Jadi orang keras kepala itu nggak enak. Masih mau jalan sendiri? Silahkan!"Lyan hendak melepaskan pegangan Almira, namun sepertinya Almira tak bisa sampai kamar mandi karena badannya yang masih sangat lemah."Maaf, kali ini saya salah."Lyan tersenyum miring dan membantu Almira ke kamar mandi. "Anda jangan masuk!" cegah Almira."Masuk? Tidak terpikirkan sedikitpun akan masuk dan melihat punyamu itu," cicit Lyan. Lyan meletakkan cairan infus di paku tembok dan memb
"Dan, nanti ke club nggak?" Zaskia mengirim pesan pada Zidan yang hari ini hendak meeting di luar kantor. "Akan aku usahakan," balas Zidan."Oke. Apa mau booking kamar? Nanti aku siapkan yang spesial.""Terserah kamu saja. Pagi ini aku sibuk, nanti aku hubungi kamu kalau sudah selesai meeting.""Oke."Zidan tersenyum membaca pesan Zaskia. Dari kebanyakan wanita yang sudah ia coba, Zaskia terasa berbeda. Di samping dia adalah mantannya, Zidan juga merasa Zaskia pandai membuatnya bahagia. Termasuk nafkah batin yang selama ini Almira tak bisa berikan.Zidan bekerja dengan penuh semangat. Sudah tiga hari ini ia terbebas dari panggilan Almira karena sengaja ia mengganti nomornya yang baru. Zidan tak ingin mengambil resiko, meski bisa saja sewaktu-waktu Almira datang dan menanyakannya. Namun, sampai saat ini Zidan bahkan seperti menjadi bujang kembali setelah 7 tahun menikah dengan Almira."Tumben wanita sampah itu tak datang? Apakah dia pasrah aku ceraikan?" batin Zidan memikirkan Almi