Share

tega

Malam ini Almira tidur di kamar yang sama dengan Meysila. Sebenarnya ada kamar tamu. Namun, Meysila sengaja mengajak Almira untuk menanyakan kenapa ia tiba-tiba meminta menginap.

“Ra, Nadine dah tidur?” tanya Meysila yang baru saja masuk kamar.

“Sudah. Tadi minta dibacakan dongeng, langsung merem dia. Anakku itu gampang kalau tidur. Didongengin bentar, langsung lelap.”

Almira duduk di sofa. Dan Meysila menyusulnya ikut duduk si sana.

“Pasti kamu ingin menanyakan kenapa aku menginap, kan?” tanya Almira sambil tersenyum.

“Ternyata keahlianmu jadi cenayang gak berubah, Ra. Jadi, kenapa?” tanya Meysila serius.

Almira menarik sudut bibirnya. Tersenyum di saat hatinya tak baik-baik saja, sungguh berat. Ditariknya nafas perlahan lalu dikeluarkan dengan teratur.

“Aku diceraikan Mas Zidan.”

“What?! Seriusan? Gila itu si Zidan. Masalahnya apa?” tanya Meysila kaget.

Almira beranjak dan mengambil hasil tes tadi. Memberikannya pada Meysila agar dia membacanya sendiri.

“Gonore? Ra … suamimu?”

“Bukan. Tapi aku yang mengidap penyakit menjijikan itu. Sayangnya, aku korban tapi aku yang dituduh melakukannya. Bukankah benar-benar menyedihkan, Mey?” tanya Almira sambil tersenyum getir.

“Kenapa bisa? Ini maksudnya gimana? Aku nggak ngerti,” tanya Meysila dengan rasa penasaran sekaligus bingung dengan ucapan sahabatnya itu.

“Beberapa bulan belakangan, Mas Zidan sering mengeluhkan tentang hubungan in tim kami yang … menurutnya kurang memuaskan. Aku juga sering mengalami sakit di bagian bawah sana dan juga badan yang selalu terasa kayak orang sakit setiap harinya. Pagi tadi, aku memaksakan diri periksa ke dokter spesialis dan itu hasilnya. Ya … aku mengidap penyakit menjijikan padahal aku sama sekali tidak pernah melakukan sesuatu hal selain dengan suamiku sendiri. Suaka mengatakan, jika kemungkinan aku tertular oleh suamiku dan aku tidak tahu jika dia yang membawa virus bakteri itu.”

“Kamu nggak tahu suamimu suka jajan di luar?”

Almira menggeleng.

“Parah ini mah. Kalau kamu sih aku yakin 100% setia. Kalau lakimu itu, hm … kagak yakin. APa perlu kita selidiki?” tanya Meysila.

“Untuk sekarang aku fokus kesehatan. Suaka bilang, aku cukup kontrol rutin dan mengkonsumsi obat yang dia resepkan.”

“Suaka? Dokternya Suaka?” tanya Meysila kaget.

“Iya. Bukan dia yang periksa barang milikku. Tapi saudaranya yang juga dokter di rumah sakit itu. Cewek sih, ya kali aku diubek-ubek barangnya sama Suaka si kutu kupret.”

“Inget aja kalau dia si kutu kupret. Tapi dia dah mau nikah kayaknya yang aku denger dari Raffi.”

“Nikah sama siapa? Ya, emang seharusnya angkatan kita udah pada nikah. Kamu kapan?” ejek Almira.

“Aa Raffi lama ngajak nikahnya. Katanya nunggu mbaknya yang di Ausy nikah. Hadewh, ternyata digantung itu tak enak ya. Tapi mau gimana lagi, cintaku sama Aa Raffi sudah kepalang tanggung.”

“Udah begituan?”

“Ish, ya enggak lah.Kami ini pasangan bersih dan nggak aneh-aneh. Paling nyicip dikit doang,” kelakar Meysila.

“Hm, awas kebablasan. Dah, minta buruan halalin aja. Nggak baik nunda lama-lama.”

“Emang diskon apa? Pake acara buru-buru.Aa Raffi suka sewot kalau diburu-buru nikah. Bunda juga udah bilang kalau mau serius jangan lama-lama. Ya, aku sih manut takdir aja. Jodoh tak akan lari ke mana. Ya ‘kan?”

“Hm. Iya-in aja deh. Tidur yuk! Ngantuk ini. Besok niatnya aku mau pulang ke rumah dan ngajar lagi di sekolah. Dah libur tiga hari nggak berangkat, takut di DO.”

“DO macam kuliah saja. Ya dah, markidur. Mari kita tidur, demi hari esok yang lebih baik.”

Almira menggelar kasur lantai agar membiarkan Meysila dan Nadine tidur di atas ranjang. Meski awalnya tidur bersama di atas, ia berpindah saat Meysila sudah terlelap.

****

“Pake mobilku saja, ya?” ucap Meysila saat Almira hendak pulang ke rumahnya.

“Iya, Ra. Mobil Om Gemal nggak dipakai kok yang hitam. Om Gemal tadi pakai yang putih ke kantor,” imbuh Vivian.

“Ayah sudah berangkat, Bun? Pagi bener?”

“Ya begitulah ayahmu kalau lagi sibuk. Pergi pagi pulang pagi demi kita semua.”

"Itu namanya lelaki," seloroh Maeylani.

Akhirnya Almira pulang dengan menaiki mobil pajero sport hitam milik Gemal.

“Ma, hari ini kita sekolah, ya?” tanya Nadine.

“Iya, Sayang. Nadine seneng?”

“Seneng, Ma. Pasti temen-temen sudah nungguin kita.”

Almira tersenyum. Anaknya itu sangatlah polos hingga masalah berat orangtuanya itu, jangan sampai membuat tawanya memudar. Nadine semangat Almira kini. Tujuannya adalah sehat. Perihal masalah Zidan, ia akan memikirkan pelan-pelan nanti.

Mobil sampai di depan pintu gerbang. Almira yang kebetulan melihat mobil Zidan, gegas turun.

“Assalamualaikum,” salam Nadine.

Zidan yang baru saja bangun tidur karena kesiangan, merasa marah dengan kedatangan Almira.

“Oh, bagus ya? Pergi dari pagi sampai pagi lagi. Jual diri kamu?” teriak Zidan.

Almira menutup telinga Nadine agar tak mendengar omelan Zidan.

“Nadine ke mobil dulu ya? Nanti baju gantinya Mama bawa ke mobil. Kita pakai di sekolah saja,” ucap Almira pada Nadine.

“Iya, Ma.”

Nadin gegas ke mobil dan tinggallah kini Zidan dan Almira yang saling menatap tajam.

“Bisa nggak, Mas, kalau bicara jangan kasar begitu di depan Nadine? Dia masih polos dan tak tahu apa-apa!” balas Almira kesal.

“Alah! Pandai mengalihkan pembicaraan. Dasar wanita murahan! Kamu memang pantasnya dibuang seperti sampah. Wanita menjijikan dan lebih baik kemasi semua barangmu. Tak sudi rasanya menyentuh tubuhmu lagi yang penuh dosa itu!”

Plak!

“Jaga bicaramu, Mas. Aku memang mengidap penyakit menjijikan. Tapi aku yakin, ini adalah kamu penyebabnya. Kamu tak percaya karena kamu belum melakukan pemeriksaan. Jika kamu sudah melakukannya, aku yakin kamu menyesal telah membuangku dan Nadine!”

Almira beranjak ke kamarnya dan mengambil beberapa pakaiannya dan Nadine. Tak lupa, ia membawa beberapa dokumen penting termasuk sertifikat rumah.

“Ini punyaku! Jangan harap kamu bisa memperdayaku dan membawa semua hartaku, Almira. Kamu tak punya hak sepeserpun atas apa yang aku miliki. Kamu harusnya tahu, pekerjaanmu hanyalah guru TK dan gajimu hanya cukup untuk membeli pembalut bulananmu saja!” sentak Zidan merebut kembali sertifikat yang sudah Almira masukkan dalam koper.

“Keterlaluan kamu, Mas? Kita berjuang sama-sama dari nol. Rumah ini kita beli dari hasil menabung. Setidaknya, aku akan amankan sebagai harta gono gini jika bercerai. Kenapa kamu jadi sekejam itu?” ucap Almira tak terima.

“Kejam kamu bilang? Biaya hidupmu dan Nadin saja sudah mahal dan aku harus peduli setelah ini? Jangan harap!”

Zidan keluar dari kamar Almira dengan membawa barang berharga yang hendak Almira bawa.

“Tunggu saja, Mas. Karma pasti akan berlaku untuk suami laknat sepertimu!” umpat Almira dalam hati. Walau sebenarnya ia ingin menghabiskan sisa tenaganya untuk memaki dan melawan Zidan, tapi ia teringat Nadine yang menunggunya di luar. Ia gegas meninggalkan kamar setelah mengemasi semuanya. Biarlah rumah ini jadi kenangan. Setidaknya, anaknya masih diperbolehkan ikut bersamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status